Menakar Pengaruh Kemenangan Trump bagi Perubahan Iklim
Kemenangan Donald Trump bisa menghambat upaya global mengatasi perubahan iklim.

Warga membaca koran yang menginformasikan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS, Kamis (7/11/2024), di Seoul, Korea Selatan.
Donald Trump, yang dikenal sebagai penyangkal perubahan iklim, telah terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-47. Masa jabatan kedua Trump ini tak hanya bakal memundurkan upaya AS dalam menekan emisi, tetapi juga menjadi ancaman bagi seluruh planet ini.
Selama masa jabatan pertamanya pada tahun 2017-2021, Trump telah mencabut peraturan iklim dan menarik Amerika Serikat keluar dari Persetujuan Paris (Paris Agreement), yang mewajibkan negara-negara anggota untuk membatasi emisi sehingga pemanasan global bisa ditekan 1,5-2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri. Kini, hal itu diperkirakan bakal diulanginya lagi saat dia kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025.
Meskipun ia belum merilis agenda iklim resmi, jejak rekam Trump di masa pemerintahannya sebelumnya dan berbagai pernyataannya semasa kampanye memberikan beberapa petunjuk tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak hanya membawa AS keluar dari persetujuan iklim Paris, Trump bahkan dikhawatirkan mencabut keterlibatan negara itu dari kerangka dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menangani krisis iklim.
Baca juga: Kenaikan Suhu dan Kemenangan Donald Trump Membayangi Perundingan Iklim
Trump telah berulang kali menyebut perubahan iklim sebagai ”tipuan besar”, mencemooh energi angin dan mobil listrik, serta berjanji untuk mencabut peraturan lingkungan dan ”penipuan baru yang ramah lingkungan” dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi untuk mendukung proyek energi bersih. Ia banyak menggunakan mantranya, ”bor, sayang, bor”, untuk menunjukkan dukungannya terhadap industri fosil.
Kemenangan Trump berarti peningkatan produksi bahan bakar fosil, dan ia hampir pasti akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan industri ini melalui deregulasi serta membuka lebih banyak lahan federal untuk pengeboran. Dalam kampanyenya, Trump berulang kali menyampaikan rencananya untuk memprioritaskan manfaat ekonomi dari peningkatan produksi bahan bakar fosil dalam negeri.

Seorang pekerja mengisi bahan bakar pada kendaraan roda empat di sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Riyadh, Arab Saudi, 16 Februari 2020.
Gautam Jain, Senior Research Scholar di Financing the Energy Transition, Columbia University, dalam artikelnya di The Conversation, mengatakan, Trump kemungkinan akan mencoba untuk membatalkan kebijakan iklim yang terkait dengan bahan bakar fosil dan emisi, yang merupakan sumber utama perubahan iklim. Hal itu seperti yang dilakukannya dengan puluhan kebijakan dalam pemerintahan pertamanya.
Itu termasuk menghilangkan biaya federal baru untuk emisi metana dari fasilitas tertentu, upaya pertama oleh Pemerintah AS untuk mengenakan biaya atau pajak atas emisi gas rumah kaca. Metana merupakan komponen utama gas alam dan gas rumah kaca yang kuat.
Trump juga berjanji untuk mendukung persetujuan terminal ekspor gas alam cair (LNG) baru, yang coba dihentikan sementara oleh pemerintahan Joe Biden dan masih terus diupayakan untuk diperlambat.
Trump dapat memberikan dampak yang lebih besar dan lebih negatif pada kemajuan iklim.
Menurut analisis Carbon Brief, lembaga yang banyak meneliti kebijakan iklim global, pemilihan Trump ini diperkirakan dapat menyebabkan tambahan emisi AS sebesar 4 miliar ton setara karbon dioksida (GtCO2e) pada tahun 2030, dibandingkan dengan rencana presiden saat ini Joe Biden.
Kemenangan Trump kemungkinan besar bakal memundurkan upaya iklim AS, yang telah lama menyangkal bahaya perubahan iklim sambil memprioritaskan manfaat ekonomi dari peningkatan produksi bahan bakar fosil dalam negeri. Meski begitu, Trump tidak mungkin menghentikan sepenuhnya transisi energi Amerika Serikat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F27%2F17303db7-8a2b-478e-ad85-101b2fca8eab_jpg.jpg)
Tongkang bermuatan batubara menunggu air pasang untuk melintasi Sungai Musi di perbatasan Kecamatan Kertapati dan Kecamatan Gandus di Kota Palembang, Sumatera Selatan, 26 Maret 2023.
Misalnya, tidak akan mudah untuk membatalkan pencapaian iklim khas Biden: Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) 2022, yang menciptakan serangkaian investasi federal, yang sekarang diperkirakan telah bernilai lebih dari 1 triliun AS, dalam iklim dan energi bersih yang dijadwalkan berlangsung hingga sekitar tahun 2032. Mencabut undang-undang tersebut akan memerlukan tindakan Kongres AS.
”Namun, bahkan jika Partai Republik akhirnya mengendalikan kedua kamar kongres, bisnis dan pemimpin di negara bagian AS konservatif yang sudah mendapat manfaat dari investasi IRA mungkin tidak ingin menghentikan aliran uang federal,” kata Joanna Lewis, yang mengepalai Science, Technology and International Affairs Program Universitas Georgetown di Washington DC, kepada Nature.
Namun, Trump dapat memberikan dampak yang lebih besar dan lebih negatif pada kemajuan iklim jika ia bergerak untuk melemahkan regulasi iklim yang diberlakukan untuk hal-hal seperti pembangkit listrik dan mobil. Demikian pula, janjinya untuk mengenakan tarif baru pada barang-barang dari negara-negara seperti China dan Meksiko sebenarnya dapat meningkatkan biaya teknologi energi bersih di AS.
Efek berantai
Tak hanya berdampak pada pemunduran upaya AS mengekang emisi, terpilihnya Trump juga dikhawatirkan akan memberi efek berantai di tingkat global. Dengan Trump, yang telah mengabaikan perubahan iklim, para pakar tersebut khawatir negara-negara lain, terutama negara dengan polusi tertinggi seperti China, dapat menggunakannya sebagai alasan untuk mengurangi upaya mereka sendiri dalam mengekang emisi karbon.
Baca juga: Suhu Bumi Makin Panas, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
”Tidak ada harapan untuk mencapai iklim yang aman tanpa tindakan substantif dari Amerika Serikat, China, dan Eropa,” kata ilmuwan iklim Universitas Stanford, Rob Jackson, yang mengepalai Global Carbon Project, sekelompok ilmuwan yang melacak emisi karbon dioksida negara-negara, yang telah meningkat secara global, seperti dilaporkan AP pada Jumat (8/11/2024).
Banyak pengamat iklim mengatakan, ketidakhadiran Amerika Serikat—penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia—dari pakta tersebut dapat mengurangi tekanan pada China dan negara-negara lain untuk meningkatkan upaya mereka dalam mengekang emisi, sementara waktu sudah semakin menipis. ”Ini adalah dekade yang sangat penting bagi aksi iklim dan empat tahun lagi pemerintahan Trump dapat menjadi bencana dalam hal memobilisasi aksi iklim,” kata Lewis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F09%2F27%2F4d0d2bfa-a062-466d-8c72-0e9312d76426_jpg.jpg)
Peserta aksi membentangkan poster dan spanduk saat long march di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (27/9/2024).
Namun, sejumlah analis lain mengatakan, dengan kemungkinan AS menarik diri dalam mitigasi iklim, China dan Uni Eropa justru bisa mengambil alih kepemimpinan global. ”Kemenangan Trump tentu saja merupakan berita buruk bagi aksi iklim AS. Kemenangan ini juga akan berdampak pada politik iklim global, yang akan membayangi COP 29. Negara-negara lain perlu melangkah maju untuk mengisi kesenjangan kepemimpinan. Uni Eropa dan China perlu menjadi mitra penting dalam upaya ini,” kata Li Shuo, Director of China Climate Hub, seperti dilaporkan Carbon Brief.
Menurut Li, kemenangan Trump tidak akan bisa mengerem transisi energi hijau global. Hal itu karena energi hijau menjadi lebih murah dan lebih kompetitif. Tren ekonomi ini, bukan politik, yang akan memimpin aksi mulai sekarang.
Baca juga: Bumi Mendidih, 2024 Menuju Tahun Pertama dengan Suhu di Atas 1,5 Derajat Celsius
”Saya berharap negara-negara, termasuk China, akan menegaskan kembali komitmen mereka terhadap Persetujuan Paris pada awal COP 29. Tekad mereka untuk mengelola perdebatan keuangan iklim di Baku (Azerbaijan) akan menjadi ujian paling awal bagi ketahanan rezim iklim. Tidak seperti tahun 2016, masyarakat global sudah (lebih) siap,” kata Li.
Laurence Tubiana, Direktur Eksekutif European Climate Foundation, termasuk yang optimistis bahwa upaya global mengatasi iklim akan terus berlanjut. ”Hasil pemilu AS merupakan kemunduran bagi aksi iklim global, tetapi Persetujuan Paris telah terbukti tangguh dan lebih kuat daripada kebijakan negara mana pun,” kata Tubiana, seperti dilaporkan The Guardian.

Demonstran mengenakan topeng wajah Presiden AS Donald Trump ambil bagian dalam unjuk rasa di depan gedung kantor PBB di Bangkok, Thailand, 8 September 2018, tempat para ahli tengah berdiskusi untuk menyelamatkan Persetujuan Paris untuk mencegah perubahan iklim. Trump menarik AS dari perjanjian tersebut.
Menurut dia, konteks saat ini sangat berbeda dengan 2016. ”Ada momentum ekonomi yang kuat di balik transisi global, yang dipimpin dan diperoleh AS, tetapi sekarang berisiko kehilangannya. Korban badai yang menghancurkan baru-baru ini merupakan pengingat suram bahwa semua orang Amerika terkena dampak perubahan iklim yang memburuk,” katanya.
Bagaimanapun, kemenangan Trump dalam pemilu telah menjadi peringatan yang sangat serius bagi mereka yang peduli dengan krisis iklim, termasuk di Indonesia. Dibandingkan sebelumnya, gerakan iklim global saat ini membutuhkan lebih banyak kekuatan dan dukungan karena krisis iklim bergerak jauh lebih cepat daripada politik kita saat ini.