Darurat Bangunan Tahan Gempa di Indonesia
Ancaman sesungguhnya, yang membuat kita darurat bencana gempa bumi, berasal dari buruknya kualitas bangunan.
Gempa bumi berkekuatan magnitudo 4,9 yang melanda Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (18/9/2024) pukul 09.41 WIB, telah menyebabkan kerusakan 700 rumah dan puluhan fasilitas publik. Banyaknya kerusakan bangunan akibat gempa berkekuatan relatif kecil ini menunjukkan lemahnya implementasi standar bangunan tahan gempa di Indonesia.
Analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, episenter gempa bumi terletak di darat dengan koordinat 7,23 Lintang Selatan dan 107,65 Bujur Timur. Koordinat ini sekitar 25 kilometer tenggara Kabupaten Bandung dengan kedalaman 10 km.
”Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis dangkal akibat adanya aktivitas Sesar Garsela. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan geser turun (oblique normal),” kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono.
Menurut BMKG, guncangan gempa bumi paling kuat dirasakan di daerah Majalaya dengan skala intensitas III-IV MMI (Modified Mercalli Intensity). Guncangan skala IV MMI artinya jika gempa pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, gerabah bisa pecah, jendela atau pintu berderik, dan dinding berbunyi.
Dengan skala ini, guncangan gempa seharusnya tidak sampai menimbulkan kerusakan serius pada bangunan. Faktanya, banyak bangunan yang rusak sehingga menyebabkan korban luka-luka.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, sedikitnya 700 rumah terdampak gempa, sebanyak 491 di Kabupaten Bandung dan 209 di Kabupaten Garut. Dua rumah dilaporkan rusak berat. Selain rumah, gempa juga menyebabkan kerusakan pada sejumlah bangunan publik, meliputi 18 fasilitas umum, 16 fasilitas pendidikan, 32 tempat ibadah, 5 fasilitas kesehatan, 2 gedung pemerintahan, dan 1 pasar.
Beban dari struktur bangunan harus desain untuk beradaptasi atau menahan kekuatan guncangan gempa.
Kerusakan bangunan menyebabkan jatuhnya korban. Hingga Rabu sore, menurut data BNPB, total korban luka sebanyak 81 orang di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut 1 orang. Di Bandung, sebanyak 23 orang mengalami luka berat dan 58 orang lainnya luka ringan.
Kerusakan bangunan
Dari foto dan video bangunan rusak akibat gempa ini di Bandung yang dirilis BNPB semuanya merupakan bangunan tembok. Kebanyakan mengalami kerusakan pada dinding yang jebol, serta atap dan plafon yang rontok.
Bangunan tradisional dari kayu dengan sistem fondasi umpak kita sebenarnya lebih tahan gempa, tetapi bangunan tembok saat ini telah mendominasi. Bangunan tembok dari bata atau batako tergolong rentan rusak akibat gempa bumi.
Bangunan tembok juga bisa diperkuat agar tahan gempa. Ada banyak solusi teknis yang ditawarkan para ahli.
Teddy Boen, salah satu ahli bangunan tahan gempa Indonesia, telah banyak memberi petunjuk tentang bagaimana memperkuat rumah tembokan agar tahan gempa. Salah satu bukunya, yang ditulis bersama peneliti dari Pusat Studi Bencana Universitas Andalas, menunjukkan cara memperkuat bangunan tembokan ini dengan ferosemen. Ferosemen merupakan lapisan komposit dari adukan semen dengan kawat anyam, yang dipasang melapisi dinding batu bata.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sarwidi juga mengembangkan sistem Barrataga, singkatan dari bangunan rakyat tahan gempa. Prinsip dasar Barrataga adalah dengan memberi pengikat-pengikat praktis yang biasanya terbuat dari beton untuk memperkokoh bangunan, selain memberi lapisan pasir dibawah fondasi bangunan yang berfungsi sebagai bantalan yang meredam gaya gempa (Kompas, 13/7/2015).
Badan Standar Nasional (BSN) sebenarnya juga telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung. Saat ini SNI 03-1726-2002 yang terakhir direvisi menjadi SNI 1726:2019 telah diadopsi menjadi regulasi SNI yang berlaku wajib oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Peraturan Menteri PU No 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
Dalam SNI ini telah memuat persyaratan minimum yang harus dipenuhi baik menyangkut beban, tingkat bahaya, kriteria yang terkait, serta sasaran kinerja yang diperkirakan untuk bangunan gedung, struktur lain, dan komponen nonstrukturalnya yang memenuhi persyaratan peraturan bangunan. Dengan mengikuti SNI ini, beban dari struktur bangunan harus desain untuk beradaptasi atau menahan kekuatan guncangan gempa.
Baca juga: Gempa dan Bangunan
Namun, implementasi SNI ini di lapangan sangat lemah. Tak hanya bangunan rakyat yang kebanyakan dibangun sendiri (non-engineered), bangunan publik seperti sekolah dan fasilitas kesehatan pun terbukti banyak yang tidak mengikuti standar sehingga rusak oleh gempa-gempa kecil.
Prosedur persetujuan bangunan gedung (PBG), yang menggantikan izin mendirikan bangunan (IMB), lebih sering dijadikan alat pendapatan negara, bukan kontrol kualitas untuk memitigasi risiko dan pelindung dari bencana. Dalam beberapa kasus di negara lain, penyimpangan terhadap ketentuan bangunan aman gempa bisa dipidana, seperti terjadi di Turki saat gempa 2023 dan Taiwan dalam gempa 2016, di mana pengembang dipidana karena dianggap lalai sehingga bangunan mereka ambruk saat gempa.
Risiko lebih besar dialami bangunan lama. Padahal, kita tidak memiliki mekanisme untuk memeriksa dan memperkuat atau retrofitting bangunan lama agar tahan gempa. Di banyak negara yang rentan gempa, seperti Jepang, ada bantuan dari negara untuk memperkuat bangunan rakyat agar mengikuti standar bangunan tahan gempa terbaru.
Baca juga: Gempa dan Kelalaian Pembangunan
Selain dukungan pendanaan, literasi mengenai bangunan aman gempa juga perlu dilakukan secara masif. Selain keterbatasan ekonomi, pada umumnya, masyarakat belum menyadari pentingnya mengurangi risiko gempa dengan memperkuat bangunan.
Ancaman ke depan
Sesar Garsela yang memicu gempa kali ini merupakan kependekan dari Garut Selatan. Jalur sesar ini telah beberapa kali memicu gempa bumi dalam beberapa tahun terakhir. Gempa berkekuatan M 4 di wilayah Kabupaten Bandung pada Sabtu (28/1/2023) pukul 01.00.33 WIB, juga berasal dari jalur sesar ini.
Jalur patahan gempa ini baru dimasukkan ke dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional 2017. Sekalipun sejauh ini gempa yang dihasilkan dari jalur sesar ini relatif kecil, sumbernya relatif dangkal dan dekat permukiman sehingga dampaknya bisa merusak.
Sesar Garsela dibagi dua segmen, yaitu Rakutai dengan panjang 19 km dan segmen Kencana sepanjang 17 km. Sekalipun telah diketahui segmennya, belum ada informasi rinci mengenai potensi gempa maksimum dari sesar ini sehingga masih membutuhkan kajian lebih lanjut untuk kepentingan mitigasinya.
Tak hanya sesar Garsela, Bandung dan sekitarnya juga rentan terdampak gempa dangkal dari sumber lain. Kajian Pepen Supendi dari Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) dan tim di jurnal Geoscience Letter tahun 2018 telah mengidentifikasi 168 lokasi sumber gempa dangkal, kurang dari 30 km, di Jawa Barat dari 2009 hingga 2015. Gempa-gempa ini diduga berkaitan dengan aktivitas Sesar Cimandiri, Lembang, dan Baribis, selain juga zona sesar lokal di Garut Selatan yang diberi nama Garsela.
Dalam laporan ini juga disebutkan, aktifnya sesar-sesar di Jawa Barat berpotensi memicu bencana karena lokasinya berdekatan dengan kawasan berkepadatan penduduk tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi di Jabar mencapai 46.183.642 jiwa dan sebagian besar di antaranya tinggal di dekat jalur patahan.
Kerentanan terhadap gempa di Jawa Barat ini juga ditemui di banyak daerah lain di Indonesia. Di Pulau Jawa, yang padat penduduk, terdapat jalur sesar aktif yang sewaktu-waktu memicu gempa bumi. Belum lagi, kita juga senantiasa berada dalam ancaman gempa besar bersumber dari zona tumbukan lempeng atau megathrust yang mengepung kepulauan kita.
Namun, ancaman sesungguhnya, yang membuat kita darurat bencana gempa bumi, berasal dari buruknya kualitas bangunan. Selama tidak ada upaya untuk memperkuat bangunan, baik bangunan baru maupun lama, sesuai standar tahan gempa, maka kerusakan dan korban akan terus berjatuhan.