Kebebasan akademik di berbagai kampus memprihatinkan, Bahkan, mahasiswa pun jadi korban karena berbeda pendapat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kampus diminta untuk tidak mengekang kebebasan akademik dan hak berekspresi guna mendukung terciptanya iklim akademik yang terbuka dan dinamis. Kebebasan akademik di perguruan tinggi dibutuhkan agar gagasan dan pengetahuan dapat berkembang dengan bebas tanpa campur tangan politik, ekonomi, atau kepentingan lain yang bisa membatasi kebebasan berpikir.
Sorotan pada kebebasan akademik di kampus yang masih memprihatinkan diserukan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Seruan ini dikemukakan terkait keputusan skors kepada puluhan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang terlibat unjuk rasa memprotes rektor. Aksi protes mahasiswa tersebut dilakukan menyusul Surat Edaran Rektor Nomor 2591/2024 yang mengatur syarat dan sanksi dalam penyampaian pendapat.
”Hingga Selasa kemarin, berdasarkan data yang dihimpun KIKA, terdapat 31 mahasiswa UIN Alauddin yang mengalami skors. Jumlah itu tersebut terus bertambah sejak skors pertama dijatuhkan pada 13 Agustus 2024 kepada sekitar 20 mahasiswa,” kata anggota KIKA, Dhoni Zustiyantoro, yang juga Dosen Universitas Negeri Semarang yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Menurut Dhoni, menjatuhkan skors kepada mahasiswa yang memprotes larangan unjuk rasa di dalam kampus dan mewajibkan izin jika mau menggelar unjuk rasa merupakan kebijakan yang mengada-ada. Skors yang ditandatangani oleh dekan setiap fakultas kepada mahasiswa itu memberikan sanksi 1-2 semester pada tahun ajaran 2024/2025 ini. Selama masa skors tersebut, mahasiswa dilarang melakukan aktivitas akademik maupun kegiatan apa pun di kampus.
Dhoni memaparkan, kebebasan akademik merupakan prinsip yang menjamin hak individu dalam lingkungan akademik, seperti dosen, peneliti, dan mahasiswa, untuk melakukan penelitian, mengajar, belajar, dan menyuarakan pandangan mereka tanpa takut pembatasan atau sanksi dari pihak otoritas. Kebebasan ini bertujuan untuk mendukung iklim akademik yang terbuka dan dinamis, di mana gagasan dan pengetahuan dapat berkembang dengan bebas tanpa campur tangan politik, ekonomi, atau kepentingan lain yang bisa membatasi kebebasan berpikir. Di samping menjadi saluran hak sivitas akademika untuk menyampaikan pendapat, unjuk rasa semestinya menjadi mekanisme korektif bagi kekuasaan di berbagai level.
Berhak protes
Namun, alih-alih memiliki cara pandang yang lebih progresif dan menyadari bahwa kampus adalah model dan tempat terbaik bagi kebebasan akademik, papar Dhoni, para pucuk pimpinan di UIN Alauddin Makassar justru menarik mundur gerbong kebebasan berpendapat yang menjadi landasan fundamental bagi negara demokrasi. Mahasiswa memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk dalam bentuk protes terhadap aturan kampus yang dirasa tidak sesuai dengan semangat kebebasan berpikir dan berpendapat.
”Sebagai lembaga pendidikan tinggi, UIN Alauddin Makassar seharusnya membuka ruang dialog yang terbuka, bukan justru memberangus hak mahasiswa untuk menyampaikan kritik,” kata Dhoni.
Seperti diberitakan Kompas.id sebelumnya, kisruh di UIN Alauddin bermula saat Rektor Hamdan Juhannis mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2591/2004 tentang Ketentuan Penyampaian Aspirasi, pada 25 Juli 2024. Sebagaimana tertuang dalam SE ini, alasan pengaturan penyampaian aspirasi ialah untuk meningkatkan kualitas dan martabat nilai-nilai demokrasi.
Surat tersebut, antara lain, memuat ketentuan pelaksanaan penyampaian aspirasi dilakukan melalui lembaga kemahasiswaan intrakampus baik tingkat universitas maupun fakultas. Hal ini berlaku untuk aksi yang dilaksanakan di dalam maupun di luar kampus. Penyampaian aspirasi mahasiswa atas nama organisasi ekstra kampus dilarang menggunakan simbol universitas/fakultas.
Para pucuk pimpinan di UIN Alauddin Makassar justru menarik mundur gerbong kebebasan berpendapat yang menjadi landasan fundamental bagi negara demokrasi.
Mahasiswa menilai surat edaran rektor melanggar Pasal 28 UUD 1945, UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 9/1998 yang mengatur kemerdekaan dan kebebasan menyampaikan pendapat.
”Keputusan skorsing sudah melalui prosedur dan peninjauan, mulai dari tingkat prodi, fakultas, rektor, hingga badan kehormatan. Keputusan tidak diambil secara tiba-tiba. Adapun SE 2591 sudah ditegaskan oleh rektor, tetap berlaku dan tak akan dicabut,” kata Kepala Biro Administrasi, Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerja Sama UIN Alauddin Kaswad Sartono.
Di webinar KIKA bertajuk Darurat Kekerasan terhadap Insan Akademik beberapa waktu lalu, M Reski dari Dewan Mahasiswa UIN Alauddin Makassar mengatakan, mahasiswa yang diskors berasal dari berbagai fakultas dan kini mereka menempuh jalur hukum. ”Kami merasa terpenjara di dalam kampus karena rektor otoriter,” katanya.