Dituntut Profesional, Dosen dan Guru Masih Berjuang Sejahtera
Amanah para pendiri bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa belum mulus. Peran guru dan dosen belum dihargai.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi amanat konstitusi yang digagas para pendiri bangsa sejak Indonesia merdeka. Dalam konstitusi juga dengan tegas dinyatakan adanya kewajiban negara menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Hal ini mencerminkan keyakinan Indonesia bahwa kemajuan peradaban bangsa di antara bangsa-bangsa dunia tergantung pada warganya yang cerdas dan berkarakter, yang dibentuk melalui pendidikan.
Sayangnya,mimpi untuk meningkatkan kecerdasan bangsa melalui pendidikan, mulai dari anak usia dini hingga tingkat pendidikan tinggi, termasuk pendidikan nonformal, masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Para pendidik, yang merupakan faktor kunci dan berada di garis depan di kelas serta kuliah, berperan dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas. Mereka berjuang dalam profesi yang memerlukan pengabdian dan panggilan sehingga sering kali dianggap wajar jika mereka menerima gaji yang tidak seberapa.
Kegelisahan untuk mengubah persepsi bahwa profesi pendidik, baik guru maupun dosen, tidak makmur kini semakin meningkat. Awalnya, tuntutan untuk kesejahteraan sering diungkapkan oleh guru. Namun, kini dosen juga mulai menyadari pentingnya berjuang untuk nasib mereka sendiri. Menjadi dosen profesional adalah tujuan, tetapi hal ini hanya dapat tercapai jika dosen juga hidup sejahtera.
Lebih dari sebulan, dimulai pada 14 Agustus 2024, petisi daring di laman www.change.org berjudul Bayarkan TUKIN Dosen Kemendikbudristek bergerak menuju 5.000 dukungan tanda tangan. Pada Senin (16/9/2024) sore, masih kurang dukungan 395 orang. Derasnya dukungan karena para dosen mulai bersatu dalam komunitas pejuang tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN Kemendikbudristek.
Petisi yang dilayangkan dosen ASN Kemendikbudristek tersebut untuk menuntut keadilan dan menolak diskriminasi yang sudah berjalan lama. Para dosen ASN Kemendikbudristek tidak mendapatkan tukin seperti ASN lain, termasuk dosen ASN di kementerian/lembaga lain.
Sebenarnya, suara dosen yang memperjuangkan tukin dosen ASN Kemendikbudristek ini juga pernah mengemuka pada tahun 2013 yang digagas Abdul Hamid, dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Para dosen lewat laman change.org menuntut pemerintah agar merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No 88 Tahun 2013 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Namun, implementasinya tidak kunjung dirasakan dosen.
Berbagai alasan pun mengemuka untuk mendukung petisi ini. Seorang dosen, Yeti, menyebut dirinya berpendidikan S-3 (doktor), tetapi gaji yang dibawa pulang atau take home pay (termasuk tunjangan keluarga) sebesar Rp 4,2 juta (gaji pokok Rp 3,3 juta) dengan beban kerja yang jauh lebih berat. Dia membandingkan, tenaga kependidikan ASN lulusan D-4 (setara S-1) mendapat tambahan tukin sehingga take home pay sebesar Rp 7 juta-Rp 8 juta per bulan.
”Dosen di PTN di bawah Kemendikbudristek tidak menerima tukin. Hanya yang tenaga kependidikan yang mendapatkan tukin. Padahal, beban kerja dosen jauh lebih berat, tetapi take home pay-nya jauh di bawah tenaga kependidikan,” tulis Yeti.
Gaji lebih kecil
Dosen lainnya menyatakan tak logis gaji dosen PNS lebih rendah dari PNS lulusan S-1 yang sama-sama di bawah Kemendikbudristek karena dosen tidak mendapat tukin. Padahal, selain menjalankan Tridharma, ada beban administrasi yang luar biasa.
”Banyak dosen yang harus mencari sampingan agar dapurnya bisa tetap ngebul. Tolong pemerintah lihat dulu kesenjangan ini, perhatikan dulu kesejahteraan dosen di Indonesia ini,” ujarnya.
Dosen yang sejahtera tentunya juga mendukung keinginan pemerintah memiliki banyak dosen profesional sehingga berdampak pada peningkatan kualitas layanan pendidikan tinggi. Dosen butuh uang untuk bisa meningkatkan kompetensi keilmuan, ada untuk membiayai kuliah sampai doktor, hingga menulis publikasi di jurnal ilmiah internasional. Bahkan, untuk bisa lolos sertifikasi dosen guna mendapat tunjangan profesi (besarannya masih di bawah tukin karena hanya setara satu kali gaji pokok PNS), dosen butuh biaya untuk memenuhi berbagai persyaratan.
Koordinator pejuang tukin dosen ASN Kemendikbudristek, Fatimah, yang juga dosen PNS, mengatakan, dosen ANS Kemendikbudristek dikecualikan mendapat tukin sejak tahun 2013. Padahal, ASN Kemendikbudristek mendapat tukin. Bahkan, dosen ASN di kementerian/lembaga lain mendapat tukin yang jumlahnya lebih besar dari tunjangan profesi dosen.
Sebagai perbandingan, gaji dosen ASN Kemendikbudristek berkisar Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan pada sekitar enam tahun pertama sebagai dosen. Mereka hanya mendapatkan gaji pokok, tidak ada tambahan penghasilan seperti tukin. Setelah enam tahun bekerja, gaji dosen ASN mulai naik menjadi Rp 6 juta-Rp 7 juta karena mendapatkan tunjangan profesi dosen kalau dinyatakan lulus.
Selisih penghasilan dosen ASN K/L lain dengan Kemendikbudristek dihitung dari besaran tukin, yakni tukin kelas jabatan dikurangi dengan tunjangan profesi. Besaran tukin yang berlaku sekarang untuk kelas jabatan 11 adalah Rp 8.757.600, dikurangi tunjangan profesi sebesar Rp 3.426.000, selisihnya Rp 5.331.600.
Ada yang gaji guru honorer Rp 400.000 per bulan.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto, yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor, mengatakan, menjadi dosen di Indonesia membutuhkan keikhlasan dan passion. Jika mengandalkan gaji, dosen hanya bisa hidup pas-pasan. Padahal, ada kebutuhan hidup keluarga dan juga peningkatan diri.
”Menjadi dosen di Indonesia ini memang perlu passion. Sebab, profesi sebagai dosen di negeri ini belum menjamin kehidupan yang lebih sejahtera jika hanya mengandalkan dari gaji,” kata Ari.
Penelitian Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada kuartal I tahun 2023 menunjukkan kondisi kesejahteraan dosen Indonesia memprihatinkan. Mayoritas dosen menerima gaji kurang dari Rp 3 juta, bahkan setelah mengabdi lebih dari enam tahun.
”Ada perasaan luas di antara dosen bahwa mereka kurang dihargai dan bisa mendapatkan lebih banyak di tempat lain. Hal ini memengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas dosen. Kompensasi mereka tak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi,” tutur anggota tim penelitian SPK, Fajri Siregar.
Tagih janji politik
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, kesejahteraan pendidik, terutama guru, jadi salah satu janji kampanye yang harus ditagih. ”Begitu dilantik, kami akan langung tagih janji Presiden dan Wakil Presiden untuk menyejahterakan guru,” ucapnya pada diskusi Meninjau Realisasi Janji Kampanye Pendidikan dan Guru di Masa Pemerintahan Prabowo-Gibran bersamaan dengan Rapat Koordinasi Nasional P2G di Jakarta,
Salah satu janji politik yang populis adalah menetapkan upah minimum bagi guru. Guru akan diberi penghasilan tambahan sebesar Rp 2 juta per bulan. Tentu saja ini menggembirakan karena masih banyak guru, terutama guru honorer, yang gajinya ratusan ribu rupiah per bulan.
”Ada yang gaji guru honorer Rp 400.000 per bulan, sama dengan harga roti yang dimakan salah satu menantu presiden,” ucap Satriwan.
Satriwan juga menyoroti kebijakan rekrutmen guru ASN berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Menurut dia, ini seharusnya jadi solusi jangka pendek karena sifatnya kontrak. Pemerintah harus membuka rekrutmen PNS bagi guru untuk memastikan ketersediaan guru.
”Kami berharap pemerintahan di bawah Prabowo-Gibran nantinya membuat grand design tata kelola guru. Ini untuk memastikan guru yang sejahtera dan memiliki kompetensi yang baik karena keduanya saling berkaitan,” kata Satriwan.