Bumi Kian Mendidih, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jika kita kerjakan mulai dari pribadi sebagai bagian dari populasi 8 miliar manusia di Bumi, efeknya tentu signifikan.
Apa yang bisa kita pelajari dari artikel ini?
1.Bukti apa yang menunjukkan Bumi telah memanas?
2.Mengapa Bumi memanas?
3.Bagaimana dampak pemanasan itu pada kehidupan Bumi?
4.Apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi Bumi yang sedang memanas ini?
Bukti apa yang menunjukkan Bumi telah memanas?
Dalam beberapa dekade terakhir, suhu Bumi telah mengalami kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data dari layanan pemantau iklim Uni Eropa, Copernicus, suhu global telah menembus ambang batas 1,5 derajat celsius sepanjang tahun.
Angka ini merupakan batas yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) 2015 untuk menghindari dampak paling merugikan dari perubahan iklim. Jika kenaikan suhu melampaui batas tersebut, laju kerusakan tidak dapat direm dan perbaikan ke kondisi semula mustahil dilakukan (irreversible).
Laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2023 menyebutkan, pemanasan global sebesar 1,1 derajat celsius telah memicu perubahan iklim yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Laporan ini juga menyoroti risiko yang semakin meningkat jika kita gagal mengurangi emisi gas rumah kaca.
Baca juga: Suhu Bumi Selama Setahun Terakhir 1,64 Derajat Celsius Lebih Panas
Peningkatan suhu ini memicu fenomena cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, curah hujan sangat tinggi, kekeringan berkepanjangan, maraknya siklon, dan memendeknya jeda perulangan fenomena cuaca El Nino dan La Nina. Hal-hal ini bisa berdampak luas dan panjang pada kehidupan manusia karena secara langsung akan memicu gagal panen, pengungsian, dan penurunan produktivitas ekonomi.
Pemanasan global juga ditunjukkan oleh pencairan es di gunung-gunung tropis di berbagai belahan dunia, termasuk Puncak Jayawijaya di Indonesia. Mencairnya ”salju abadi” ini merupakan kerugian sendiri karena punahnya ekosistem unik di daerah tropis. Kerugian lain adalah terjadi gangguan keterhubungan antara ekosistem unik tersebut dengan ekosistem di bawahnya hingga sungai, muara, dan laut.
Suhu yang terus meningkat juga telah memicu pencairan es di kutub. Gunung-gunung dan bongkahan es yang mencair ini menjadi penyebab utama kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan laut ini mengancam daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk orang-orang yang tinggal di situ.
Baca juga: Kota-kota yang Terendam di Masa Depan
Menurut laporan Badan Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, luas es laut di sekitar kutub juga terus menipis sehingga memiliki luasan terkecil kedua dalam catatan 46 tahun, yaitu 8,32 juta mil persegi. Luasan ini sekitar 1,05 juta mil persegi di bawah rata-rata 1991-2020.
Baca juga: Lapisan Es Greenland Mendekati Titik Leleh Tanpa Bisa Pulih
Suhu Bumi yang meningkat juga tampak dari suhu permukaan laut yang cenderung meningkat. Peningkatan suhu permukaan laut ini berdampak kuat pada ekosistem terumbu karang yang memiliki habitat di perairan dangkal. Suhu yang tinggi menyebabkan karang memutih (bleaching) dan mati.
Mengapa Bumi memanas?
Peningkatan suhu ini sudah banyak yang menyebutnya sebagai pendidihan Bumi dan pemanasan global. Penyebabnya adalah emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana yang memerangkap panas dalam sistem udara Bumi di atmosfer.
Emisi gas rumah kaca bisa berasal dari proses alam ataupun ditimbulkan dari aktivitas manusia. Proses vulkanologi, pelapukan kayu, serta pernapasan makhluk hidup di antaranya yang menunjukkan proses alami pelepasan CO2.
Sementara itu, aktivitas manusia, terutama pasca-Revolusi Industri 1850 yaitu sejak penemuan mesin uap, memicu pelepasan emisi gas rumah kaca secara besar-besaran. Aktivitas industri, pemenuhan kebutuhan listrik dari pembangkit listrik tenaga uap, dan transportasi yang berbasis fosil kini menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca.
Kegiatan lain, seperti penggundulan dan alih fungsi hutan, pengeringan gambut, dan perusakan ekosistem mangrove, menambah parah pelepasan emisi. Ada pula dari aktivitas pertanian/peternakan dan sampah/limbah.
Bagaimana dampaknya pada kehidupan Bumi?
Perubahan iklim bukan lagi isu dan ancaman yang jauh di masa depan, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi sekarang. Bahkan, sejumlah kalangan sudah mengganti penggunaan frasa ”perubahan iklim” menjadi ”krisis iklim”.
Seperti arti harfiahnya, ”krisis iklim” menunjukkan bahwa sudah terjadi keadaan yang berbahaya dan genting. Dengan demikian, keputusan dan tindakan saat ini akan sangat menentukan kehidupan manusia dan keberlanjutan Bumi.
Baca juga: Krisis Iklim yang Mengancam Keberlangsungan Hidup Manusia
Krisis iklim telah memicu bencana hidrometeorologi dan kenaikan muka air laut. Dampaknya, selain korban jiwa serta harta benda yang hilang, bencana juga memaksa banyak orang mengungsi ke tempat yang aman. Pengungsian ini bisa memicu konflik sosial dan antarnegara yang mengganggu stabilitas hubungan antarnegara.
Perubahan iklim juga sangat memengaruhi pertanian. Akibat cuaca yang tak menentu, musim tanam dan panen menjadi terganggu. Dengan demikian, terjadi gagal panen akibat sawah terendam air dan ketersediaan air terbatas saat akan tanam.
Dampak lain adalah kemunculan penyakit-penyakit baru dan langka. Hal ini, antara lain, akibat patogen yang semula terperangkap di es terlepas dan menjadi aktif di lingkungan baru.
Baca juga: Virus Purba Terperangkap dalam Gletser Es Selama 15.000 Tahun
Pemanasan global juga membuat daerah dingin yang tidak digemari nyamuk suhunya lebih hangat. Akibatnya, nyamuk bisa hidup dan berkembang biak di daerah tersebut. Kondisi ini membuat daerah tersebut muncul penyakit dengue.
Di Indonesia, kerugian akibat perubahan iklim ditaksir bisa mencapai Rp 544 triliun atau setara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim ini termasuk kerusakan kapal, kenaikan muka air laut, menurunnya ketersediaan air dan produktivitas padi, serta peningkatan potensi penyakit seperti demam berdarah dengue.
Baca juga: Penyakit akibat Perubahan Iklim di Depan Mata
Apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi krisis iklim ini?
Oleh karena krisis iklim ini disebabkan emisi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer, kita perlu berupaya tidak menambah jenuh konsentrasi gas rumah kaca tersebut. Sebisa mungkin, konsentrasi gas rumah kaca tersebut dikurangi.
Menanam tanaman keras di halaman atau pekarangan/kebun di sekitar rumah bisa membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di lingkungan. Tanaman tersebut akan menyerap senyawa karbon dioksida dalam proses fotosintesisnya.
Upaya untuk tidak menambah jenuh konsentrasi gas rumah kaca bisa dilakukan dengan memulai perilaku ramah lingkungan. Hal itu, misalnya, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan beralih ke berbagai transportasi publik.
Memilih bahan makanan yang memiliki jejak karbon rendah juga membantu menekan emisi gas rumah kaca. Semakin jauh makanan ditransportasikan, jejak karbonnya akan semakin tinggi.
Memanfaatkan beragam teknologi komunikasi untuk pertemuan/rapat yang tidak memerlukan tatap muka pun bisa menjadi pilihan baik. Praktik sederhana lain, seperti mematikan lampu yang tak lagi digunakan serta menggunakan peralatan listrik yang rendah energi, akan menurunkan tagihan listrik serta berkontribusi mengurangi emisi yang kita hasilkan.
Baca juga: Daur Ulang Sampah Makanan demi Hindari Gas Metana yang Mengancam Bumi
Praktik sederhana lain yang bisa kita terapkan adalah mengambil makan dan mengonsumsi sesuai porsi kita alias tidak menghasilkan sampah makanan. Kebiasaan membuang-buang makanan dikaitkan dengan energi dan emisi untuk menghasilkan makanan tersebut. Belum lagi emisi dari pembusukan makanan.
Selain upaya di kehidupan nyata sehari-hari, di dunia digital, sebagai warganet kita juga bisa berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mendukung dan mendorong kebijakan, praktik baik perusahaan/komunitas masyarakat, serta kampanye yang mengarah ke situ. Hal itu, antara lain, mendorong peningkatan kualitas dan konektivitas transportasi publik, mendukung percepatan langkah transisi energi terbarukan, serta mengampanyekan perlindungan hutan tersisa dan perbaikan ekosistem hutan; gambut; serta mangrove.
Upaya-upaya kecil ini seolah tak berdampak apa-apa. Namun, apabila kita kerjakan mulai dari diri sendiri sebagai bagian dari populasi 8 miliar manusia di dunia, efeknya tentu signifikan.