Kejahatan Makin Sadis, Ruang Aman Perempuan Makin Menyempit
Kekerasan berbasis jender yang berujung pada kematian perempuan terjadi setiap saat. Perempuan makin tidak aman.
Dua peristiwa kekerasan terhadap perempuan anak dan remaja perempuan di awal September 2024 menunjukkan betapa perempuan di Tanah Air sangat rentan menjadi korban kekerasan. Tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga kehilangan nyawa. Kasus ini semakin mengingatkan masyarakat bahwa perempuan tidak aman di mana saja.
Kasus NKS (18) yang ditemukan tewas dalam kondisi terkubur tanpa busana di sebuah hutan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, setelah sebelumnya dinyatakan hilang. Kematian perempuan yang sehari-hari berjualan gorengan tersebut mengundang keprihatinan.
Kepolisian Resor Padang Pariaman menyatakan, NKS meninggal dengan tidak wajar. Seperti diberitakan, mayat NKS ditemukan terkubur, Minggu (8/9/2024) petang, di lokasi yang hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer (km) dari rumahnya di Korong Pasa Surau, Nagari Guguak, Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam. Lokasi tersebut juga hanya berjarak 1 kilometer dari tempat barang jualannya ditemukan.
Dua hari sebelum ditemukan, keluarga mencari korban. Namun, hanya menemukan hijab dan barang jualan korban. Hingga Sabtu (7/9/2024) dini hari, korban tidak juga ditemukan sehingga keluarga melaporkan kejadian ini ke polisi. Mayat korban akhirnya ditemukan pada Minggu sore oleh tim gabungan dari sejumlah instansi, termasuk warga setempat.
Seminggu sebelumnya, pada Minggu (1/9/2024), kasus pemerkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan terjadi di Kecamatan Kemuning, Kota Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (1/9/2024). Korbannya adalah anak perempuan, AA (13), penjual balon.
Korban yang merupakan siswi sebuah sekolah menengah pertama (SMP) Kelas VIII tesebut diperkosa dua kali, kemudian dibunuh. Pelakunya empat orang. Semuanya masih usia anak, yakni IS (16) teman yang baru dikenal korban selama dua minggu. IS mengajak tiga anak, lain yakni MZ (13), NS (12), AS (12).
Seusai memerkosa, keempat pelaku meninggalkan korban di kawasan pekuburan. Mayat AA ditemukan warga hari Minggu itu sekitar pukul 13.00. Hasil otopsi menunjukkan, korban mati lemas karena kekurangan oksigen. Ditemukan juga luka akibat benda tumpul di leher korban.
Kedua kasus tersebut menunjukkan betapa rentannya anak perempuan dari berbagai kekerasan di semua ruang kehidupan. Dalam kasus tersebut, korban NKS dan AA, keduanya menjadi korban ketika bekerja, yakni menjadi penjual balon dan gorengan.
Baca juga: Kisah Tragis Siswi SMP Penjual Balon, Dibunuh dan Diperkosa Empat Pencandu Pornografi
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus tersebut sebagai femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau jendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis jender sebelumnya.
Perempuan korban femisida umumnya mengalami kekerasan berlapis, seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual atau pemerkosaan, juga kekerasan verbal ketika korban melawan sebelum dibunuh.
Dugaan pemerkosaan dan penelanjangan seperti dialami NKS di Padang mengindikasikan pelucutan martabat perempuan korban. ”Ada interseksi kondisi ekonomi selain jender dan usia menunjukkan kerentanan NKS terhadap kekerasan seksual dan femisida,” ungkap Rainy Hutabarat, anggota Komnas Perempuan, pada Minggu (15/9/2024).
Karena itu, Komnas Perempuan menyatakan amat prihatin atas sadisme berlapis, yakni femisida yang diawali pemerkosaan pada anak perempuan korban. Dua kasus yang dialami NKS dan AA menunjukkan femisida berkaitan dengan penyiksaan berbasis jender sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).
Ada interseksi kondisi ekonomi selain jender dan usia menunjukkan kerentanan NKS terhadap kekerasan seksual dan femisida.
Karena itu, Rainy mengingatkan semua pihak, terutama aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan, untuk tidak melihat kasus-kasus yang dialami anak perempuan dan perempuan dewasa sebagai peristiwa kriminal biasa, tetapi melihat dalam kacamata femisida secara interseksional.
Hal tersebut penting untuk menunjukkan kerentanan perempuan korban, seperti relasi kuasa yang ada. ”Pembacaan kasus femisida secara interseksional penting untuk penyusunan kebijakan pencegahan, penanganan dan pemulihan, khususnya terhadap keluarga korban terlebih yang menyaksikannya secara langsung,” tegas Rainy.
Selama ini Komnas Perempuan mencatat, diksi femisida belum dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) mengatur tindak pidana pemerkosaan. Sementara tindak pidana pembunuhan diatur dalam KUHP, dan pembunuhan terhadap istri oleh suami diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong agar aparat penegak hukum dapat menangani kasus femisida terhadap anak perempuan dengan juga memperhatikan aspek relasi jender, relasi kuasa yang lain, selain perundang-undangan yang terkait.
Perempuan korban yang terus berjatuhan, bahkan kehilangan nyawa, akibat kekerasan berbasis jender, tidak bisa diabaikan begitu saja. Maidina Rahmawati, dari Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA PKTA yang juga peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan, jatuhnya korban perempuan seharusnya menjadi cambuk bagi bangsa Indonesia.
”Sebenarnya tidak cuma ke penegakan hukum, kasus-kasus tersebut menjadi cambuk bagi kita semua bahwa kesetaraan jender dan sikap tidak permisif terhadap kekerasan seksual harus digaungkan. Karena, banyak perempuan meninggal karena ketimpangan jender tersebut,” tegas Maidina.
Perlu kajian mendalam
Direktur Eksekutif Perkumpulan JalaStoria Indonesia (komunitas yang aktif dalam menyerukan penghapusan diskriminasi dan kekerasan pada perempuan dan anak) Ninik Rahayu mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama kepolisian dan lembaga hak asasi manusia perempuan dan anak membentuk tim khusus mendalami kasus-kasus femisida.
Adapun kasus-kasus femisida dengan indikasi pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau jendernya akibat dari eskalasi kekerasan berbasis jender sebelumnya.
Selama ini ada banyak kasus pemerkosaan, lalu dilanjutkan dengan penghilangan nyawa perempuan. ”Sebenarnya femisida bukan fenomena baru ketika aparat dan komunitas sekitar korban abai, kerentanannya perempuan jadi korban lebih tinggi. Potensial peluang femisida akan terus berulang. Apalagi yang gang rape (pemerkosaan beberapa orang),” papar Ninik yang juga Ketua Dewan Pers.
Baca juga: Pendidikan Seksual Rendah, Persepsi Remaja Laki-laki soal Peran Jender Timpang
Dalam buku Perempuan dan Anak dalam Hukum dan Persidangan (Sulistyowati Irianto, Lidwina Inge Nurtjahjo, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020), Lidwina dalam bab yang menyinggung tentang mitos tentang kejahatan seksual yang umumnya menyesatkan masyarakat, bahkan aparat penegak hukum yang menangani kasusnya.
Mitosnya adalah kejahatan seksual hanya menimpa perempuan, selalu terjadi pada malam hari, korban bukanlah perempuan baik-baik, dan kejahatan terjadi semata-mata karena hasrat seksual.
Padahal, dalam kenyataan sehari-hari, kejahatan seksual bisa menimpa siapa saja, dan dapat terjadi kapan saja. Tindak kejahatan seksual juga terjadi tidak hanya karena masalah hasrat seksual saja, tetapi juga karena timpangnya relasi kuasa berdasarkan jender, umur, status sosial, etnisitas, agama, dalam ranah budaya patriarkis.
Karena itu, menghadapi kenyataan semakin tidak amannya situasi perempuan di berbagai ruang kehidupan, masyarakat seharusnya tidak berdiam diri. Selain penguatan dalam keluarga, pengawasan di lingkungan masyarakat perlu menjadi perhatian. Masyarakat tidak boleh lagi bersikap permisif jika melihat ada situasi rentan yang dihadapi anak dan perempuan di lingkungannya.