Berinvestasi pada Guru, Jalan Menyiapkan Siswa Meraih Prestasi
Peran guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran diyakini tetap penting. Kualitas guru jadi kuncinya.
Pendidikan di sekolah diharapkan membangun ketangguhan siswa secara akademik sehingga sukses di masa depan. Keberhasilan siswa ini membutuhkan dukungan iklim lingkungan sekolah yang inklusif, terutama guru berkualitas, agar dapat menghasilkan para siswa yang terus termotivasi untuk belajar.
Oleh karena itu, berinvestasi pada guru terus didorong. Peningkatan profesionalisme guru juga membantu mereka mengembangkan pembelajaran mendalam dan mendorong keterlibatan interaktif siswa sehingga memampukan siswa berpikir kritis dan inovatif.
Baca juga: Investasi pada Guru untuk Pendidikan Berkualitas
Ketahanan atau resiliensi akademik dari para siswa didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk melawan kesulitan dan berprestasi di sekolah. Ketahanan ini tidak bersifat tetap, dapat ditingkatkan, dan terkait dengan apa yang terjadi di sekolah dan ruang kelas.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Jurnal Internasional Pendidikan Sains yang ditinjau sejawat pada Maret 2024 menunjukkan ketahanan akademik siswa dijamin kualitas guru, seperti memiliki standar disiplin tinggi dan yang menggunakan keahlian mereka untuk meningkatkan pembelajaran. Untuk itu, para guru perlu membimbing siswa agar mematuhi aturan, menjaga kedisiplinan, dan menyiapkan pelajaran sesuai kebutuhan siswa.
”Studi ini mendukung pandangan bahwa kualitas guru, bukan kuantitasnya, adalah jaminan utama ketahanan siswa,” kata penulis utama Tao Jiang dari Universitas Taizhou, China.
Hasil penelitian itu dari mengkaji kebijakan pemerintah di sekolah-sekolah di China dan Jepang yang mengecilkan ukuran kelas agar jumlah siswa berkurang. Kebijakan ini dilihat dampaknya pada ketahanan akademik siswa, terutama dari keluarga berpenghasilan rendah.
Data penelitian mencakup lebih dari 2.700 siswa sekolah menengah atas yang kurang mampu. Hasilnya, mengurangi jumlah siswa di kelas tidak akan menghasilkan nilai yang lebih baik. Mengurangi jumlah siswa dalam satu kelas bahkan dapat mengurangi peluang anak-anak untuk memperoleh hasil terbaik.
Jumlah guru juga tak meningkatkan peluang siswa dari latar belakang termiskin untuk berprestasi akademik meski ada kekhawatiran kekurangan staf di sekolah. Peneliti mendesak para pembuat kebijakan untuk berinvestasi lebih banyak pada guru bermutu tinggi dan tak membuang sumber daya untuk mengurangi jumlah anak di kelas.
Guru bermutu yang secara efektif memakai metode pengajaran dan mengelola kedisiplinan kelas meningkatkan kemungkinan individu jadi siswa tangguh. Penekanan berlebihan pada pengurangan jumlah siswa dalam satu kelas tak diperlukan karena hal itu merugikan munculnya siswa dengan tingkat ketahanan tinggi.
”Daripada mengalokasikan sumber daya keuangan untuk mengurangi jumlah siswa dalam satu kelas, lebih efektif jika berinvestasi dalam penyediaan guru sains yang bermutu tinggi,” kata Jiang.
Penulis studi tersebut bermaksud mengidentifikasi kualitas dan karakteristik 1.594 siswa sains yang kurang beruntung di Jepang dan 1.114 di wilayah Makau, China. Usia mereka berkisar 15-16 tahun dan jumlah siswa dalam satu kelas mulai dari 15 siswa (atau kurang) hingga lebih dari 50 siswa.
Peserta dikelompokkan ke dalam kelompok ketahanan tingkat rendah, sedang, atau tinggi. Para peneliti mengamati faktor-faktor kelas, sumber daya sekolah, dan budaya sekolah apa yang meningkatkan kemungkinan masuk ke dalam kelompok tingkat tinggi.
Daripada mengalokasikan sumber daya keuangan untuk mengurangi jumlah siswa dalam satu kelas, lebih efektif jika berinvestasi dalam penyediaan guru sains yang bermutu tinggi.
Semua siswa dalam riset ini telah berpartisipasi dalam Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) 2015, sebuah survei berbasis kuesioner internasional. PISA mengukur kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan membaca, matematika, dan sains mereka. Disiplin guru dan tingkat dukungan merupakan satu dari sekian banyak masalah yang dinilai PISA. Murid juga dinilai berdasarkan motivasi dan seberapa cemas mereka selama ujian.
Hasil secara keseluruhan menunjukkan sepertiga siswa menunjukkan ketahanan tingkat tinggi, seperempat rendah, dan sisanya sedang. Siswa dengan ketahanan tinggi bersikap sangat positif terhadap sekolah, sains, dan karier masa depan mereka. Mereka juga mendedikasikan lebih banyak waktu untuk mempelajari sains daripada siswa lain, tetapi mengalami kecemasan tentang ujian.
Menurut para penulis, guru sains dan metode pengajaran mereka ’memainkan peran penting’ dalam membangun ketahanan siswa. Temuan penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa ini memperoleh manfaat dari disiplin di kelas, instruksi yang diarahkan oleh guru, pengajaran berbasis penyelidikan, dan dukungan guru.
Di Jepang, prediktor paling kuat dari ketahanan tingkat tinggi adalah pengajaran berbasis penyelidikan, sementara di Makau, adalah instruksi yang diarahkan oleh guru. Temuan lain dari penelitian menunjukkan bahwa perilaku buruk di kelas atau sekolah secara umum melemahkan ketahanan.
Baca juga: Hasil PISA 2022, Krisis Belajar yang Belum Menemukan Ujungnya
Belum mampu
Peran guru untuk mendukung keberhasilan siswa berkembang sesuai dengan potensi dirinya dapat dilakukan dengan membangun keterlibatan interaktif siswa yang tinggi dalam pembelajaran. Guru harus mampu merencanakan pelajaran interaktif dan konstruktif yang mendorong pembelajaran mendalam.
Keterlibatan interaktif di kelas dapat dilihat saat siswa terlibat dalam berbagai aktivitas bersama siswa lain yang merangsang mereka untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam.
Mereka membuat penilaian, mengajukan dan mengkritik argumen dan pendapat, serta mencari solusi atas berbagai masalah. Aktivitas ini juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan penalaran, yang semuanya merupakan prediktor peningkatan pembelajaran.
Sayangnya, belum banyak guru mampu mengembangkan pembelajaran aktif dan mendalam. ”Pembelajaran mendalam memerlukan pengorganisasian pengetahuan ke dalam struktur konseptual yang dapat meningkatkan retensi informasi sehingga meningkatkan hasil pembelajaran. Pembelajaran mendalam mendukung pengetahuan yang dibutuhkan untuk inovasi,” kata Helen Stephenson, ahli pendidikan dari University of South Australia (UniSA).
Dari penelitian yang diterbitkan di jurnal Teaching and Teacher Educatien pada Juli 2023, kolaborasi antara UniSA dengan Universitas Flinders dan Sekolah Pascasarjana Pendidikan Melbourne, para peneliti menemukan bahwa kurang dari sepertiga guru melibatkan siswa dalam pembelajaran yang kompleks sehingga membatasi kesempatan siswa untuk membangun pemikiran kritis dan pemecahan masalah.
Dengan merekam dan menilai konten kelas di seluruh Australia Selatan dan Victoria, para peneliti menemukan hampir 70 persen tugas siswa melibatkan pembelajaran yang dangkal, pertanyaan dan jawaban sederhana, mencatat, atau mendengarkan guru, daripada aktivitas yang melibatkan siswa pada tingkat yang lebih dalam.
”Menariknya, salah satu temuan utama penelitian ini adalah banyak guru tampaknya tidak mengetahui atau sepenuhnya menghargai pentingnya bagaimana tugas pelajaran mereka dapat merangsang berbagai cara keterlibatan siswa,” kata Stephenson.
Baca juga: Guru Masih Kesulitan Menginterpretasi Kurikulum
Sekitar 70 persen konten kelas dianggap ’pasif’ karena siswa hanya memiliki sedikit masukan yang dapat diamati. Adapun ’aktif’, berarti siswa mungkin melakukan sesuatu yang sederhana, seperti menjawab pertanyaan pada lembar fakta. ”Bahkan, mengubah aktivitas kelas dari ’aktif’ menjadi ’konstruktif’ dapat sangat membantu dalam meningkatkan pembelajaran siswa,” tuturnya.
Lebih lanjut, Stephenson mengutarakan, pada tingkat dasar, guru perlu mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menyesuaikan aktivitas kelas yang ada sehingga lebih banyak tugas berada pada skala pembelajaran yang lebih mendalam.
Saat menonton video, misalnya, guru bisa melakukan dalam diam (yang ’pasif’); menonton video dan mencatat menggunakan kata-kata presenter (yang dianggap ’aktif’); menulis pertanyaan yang muncul saat menonton video (yang ’konstruktif’); atau menonton video dan mendiskusikannya dengan siswa lain untuk menghasilkan ide-ide yang berbeda (yang ’interaktif’).
”Guru harus didukung untuk melakukan pengembangan profesional guna mengubah pemikiran mereka ke arah praktik yang mendukung pembelajaran yang lebih mendalam dan hasil yang lebih baik bagi siswa,” ucap Stephenson.