Mencegah Konflik, Mendorong Komunikasi Berkesadaran
Konflik dunia dengan banyak korban membawa keprihatinan. Dorongan penyelesaian bisa melalui komunikasi berkesadaran.
Perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Hamas, dan konflik lainnya membawa ratusan ribu nyawa melayang. Andai saja para pemimpin bisa disuntik kesadaran untuk lebih memerhatikan kemanusiaan, kenyataannya tak ada jalan keluar sedemikian instan.
Keprihatinan besar atas beragam konflik di dunia membawa pegiat media Buddhis berkumpul di New Delhi, India, Rabu (11/9/2024), dalam International Buddhist Media Conclave 2024. Harapannya, narasi-narasi yang mampu melahirkan kesadaran bisa mendorong para pemimpin menyelesaikan konflik.
Media dinilai mampu membawa narasi yang mendorong pemahaman para pemimpin ini. Namun, pemberitaan yang dibuat semestinya bukan memprovokasi apalagi menimbulkan ketakutan dan kemarahan. Karena itu, komunikasi yang berkesadaran juga menjadi pembahasan utama dalam pertemuan dengan lima sesi panel tersebut.
Acara yang diselenggarakan atas kerja sama Vivekananda International Institute (VIF) dan International Buddhist Confederation (IBC) ini, menurut Direktur Jenderal IBC Shri Abhijit Halder, dalam percakapan seusai konferensi, Kamis (12/9/2024), memang diharap membawa pengaruh pada geopolitik dunia kendati perlahan. Diakui, tak ada yang instan. Tak mungkin, misalnya, menyuntikkan keinginan ini langsung kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kemudian semua langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
”Kita berharap bisa mendorong pemahaman para pemimpin untuk menjaga dunia lebih baik tapi ini memang perlu proses,” ujarnya.
Acara konklaf yang dihadiri sekitar 200 peserta dari 18 negara ini menghadirkan 20 pembicara dari 14 negara. Selain itu, masih ada beberapa pembicara kunci yang memberikan sambutan.
Sekretaris Jenderal IBC Kenshur Shartse Jangchup Choedon Rinpoche dalam sambutannya pada pembukaan pertemuan juga menyampaikan keprihatinannya pada masalah kemanusiaan yang terjadi di dunia. Dunia, disebutnya, tenggelam dalam keserakahan dan kerakusan materi.
Mengutip nasihat Buddha kepada para biksu, Jangchup Choedon Rinpoche menyebutkan empat kualitas yang perlu dicari dari para pemimpin yang mampu mengendalikan empat emosi negatif, yakni kerakusan, kebencian atau kecemburuan, ketakutan, dan kurang pengetahuan. Dengan empat emosi negatif ini, seseorang akan cenderung mengambil keputusan dan langkah yang salah.
Sebagai bagian dari ucapan benar, komunikasi berkesadaran berarti harus dilakukan di saat yang tepat, berguna, baik, dan tidak menyakiti.
Etika atau tata perilaku yang universal juga disebut sebagai hal yang paling esensial di masa kini. Karena itu, salah satu moderator yang juga Direktur Tiber House Geshe Dorji Damdul sempat mengutip kata-kata Yang Mulia Dalai Lama XIV mengenai perandaian Buddha di masa kini. ”Bila Buddha ada di masa kini, pasti bukan mengajarkan Buddhisme, melainkan etika atau tata perilaku yang universal dan mendorong kemanusiaan.”
Geshe Dorji Dandul juga meyakini bahwa para nabi dalam agama lain pun akan melakukan hal yang sama bila terlahir di masa kini. Etika ini bisa diterapkan semua manusia dan akan menjaga keberlanjutan dunia.
Mendorong tata perilaku dan kesadaran pada kemanusiaan ini, para pegiat media massa dinilai mampu melakukannya sepanjang menerapkan komunikasi berkesadaran (mindful communication).
Editor Eastern Horizon (Malaysia) Benny Liow Woon Khin mendefinisikan komunikasi berkesadaran ini sebagai bagian dari ucapan benar yang digariskan dalam ajaran ”Jalan Mulia Berunsur Delapan” yang disampaikan Buddha Sakyamuni. Sebagai bagian dari ucapan benar, komunikasi berkesadaran berarti harus dilakukan di saat yang tepat, berguna, baik, dan tidak menyakiti.
Dia juga mengutip pelajaran Buddha yang disampaikan kepada Pangeran Abhaya atau Abhaya Sutta. Ucapan yang benar dan berguna juga bisa dibagi dua. Pertama, ucapan yang benar, berguna, dan menyenangkan untuk didengar. Kedua, ucapan yang benar, berguna, dan tidak menyenangkan untuk didengar.
Baca juga: Umat Buddha Diingatkan untuk Menjaga Kerukunan di Nusantara
”Kalau ucapan yang benar, berguna, dan menyenangkan, pasti akan selalu Buddha ucapkan. Namun, kalau ucapan benar, berguna, tetapi tidak menyenangkan untuk didengarkan, kapan waktu mengucapkannya menjadi penting dipertimbangkan,” tutur Benny.
Demikian pula dalam pelaporan berita. Namun, diakui, tuntutan selera masyarakat dan kecepatan tak selalu mudah disinkronkan dengan harapan berkomunikasi secara berkesadaran ini. Setidaknya, menurut Benny, etika tetap perlu menjadi pegangan.
Presiden The Himalayan Dialogues (Nepal) Dr Sunoor Verma menambahkan, saat ini kenyataannya masyarakat lebih tertarik pada berita negatif dan sensasional. Hal ini diperparah dengan teknologi dan mulai meredupnya platform cetak. Akibatnya, alih-alih membaca, masyarakat umumnya hanya menggulirkan (scrolling) layar gawai secara cepat dan mencari audiovisual yang menarik. ”Jadi, publik mencari konten yang pendek dan sederhana,” ujarnya.
Perilaku masyarakat ini perlu direspons. Sunoor menyebut komunikasi berkesadaran yang merespons kebiasaan ini tetap mensyaratkan ketenangan, pemikiran, dan niat baik sebagai landasan mengeluarkan tulisan, publikasi, reportase, maupun komunikasi.
Baca juga: Tahun Politik, Umat Buddha Diminta Waspada
Sunoor, yang sebelum ini berpraktik sebagai dokter bedah kardiotoraks dan aktif di organisasi, seperti WHO, Unicef, UNHCR, dan UN-Women, ini, mencontohkan, komunikasi efektif di masa pandemi Covid-19 memerlukan beberapa syarat. Pertama, komunikasi dilakukan pada waktunya, bukan diperlambat. Kedua, apa adanya. Baik apa yang diketahui dan tidak diketahui perlu disampaikan kepada publik secara transparan. Ketiga, langkah apa yang akan dilakukan, termasuk mengenai apa yang akan dilakukan terkait hal yang belum diketahui, perlu disampaikan secara transparan. Keterbukaan dan ketepatan waktu menjadi hal paling esensial.
Selain itu, salah satu kunci dalam komunikasi berkesadaran, menurut Head of Global Operation Buddhist True Network (BTN, Korea Selatan) Emi Hailey Hayakawa, reportase tidak sekadar menyoroti konflik apalagi memprovokasi. Justru, laporan yang mendorong perbaikan, kesadaran, dan rekonsiliasi yang paling diperlukan.
Emi mencontohkan laporan yang dikerjakan saat tragedi gelombang kerumunan massa di Ittaewon, Seoul, Korea Selatan, pada akhir Oktober 2022. Saat itu, lebih dari 150 orang meninggal dan sekitar 190 orang terluka. Para orang tua pun panik kebingungan mencari anak-anaknya serta frustrasi dengan tindakan pemerintah. Namun, laporan BTN tetap mendorong pemulihan dan rekonsiliasi.
Mengingat manusia bergerak berdasarkan narasi, menurut Kenshur Shartse Jangchup Choedon Rinpoche, diperlukan perubahan narasi untuk mendorong manusia di dunia lebih berkesadaran. Pemberitaan tak hanya harus mengandung fakta-fakta yang benar tetapi juga menyejukkan dan didahului pikiran yang penuh cinta kasih dan welas asih. ”Ini memerlukan peran besar media,” ujarnya.