Masyarakat di Alor kembali mengangkat pamor pangan lokal dalam kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
”Tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam!” Sebuah deklarasi berkumandang oleh pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat seusai Dialog Budaya ”Kebudayaan untuk Pangan yang Berkelanjutan”, di Kampung Adat Matalafang, Desa Lembur Barat, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Jumat (13/9/2024).
Waksi Maufani (37) adalah salah satu warga yang hadir dalam dialog tersebut. Lelaki dari Kampung Kamengtaha, Desa Lembur Barat, ini bekerja sebagai guru sekaligus petani anggur. Dia termasuk dalam generasi yang melihat bagaimana pangan lokal di Alor tergerus akibat gempuran pangan dari luar, seperti beras putih.
”Saya mulai merasakan perubahan itu saat era Presiden Megawati memberi bantuan beras untuk masyarakat miskin atau raskin. Terus, kami di kampung punya kebiasaan menjamu tamu harus dengan beras putih karena mereka lebih nyaman,” kata Waksi, yang juga merupakan anggota Pandu Budaya Kabupaten Alor, seusai acara.
Di NTT, anggapan bahwa beras putih adalah pangan dengan kasta tertinggi sejatinya telah berlangsung lama. Sejak zaman Belanda, ada kampanye bahwa beras itu makanan orang kaya, pejabat, dan berpendidikan. Orde Baru lalu meneruskan kebijakan cetak sawah itu sampai sekarang (Kompas, 11/10/2023).
Masyarakat jadi melupakan pangan lokal yang tersedia melimpah di sekitar, sebutlah ubi, pisang, dan jagung. Pamor pangan lokal kian jatuh di mata generasi muda, termasuk di Alor.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Alor melaksanakan kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) di Alor. SLKL merupakan program dari tahun 2021 sebagai platform pemajuan kebudayaan dengan partisipasi masyarakat adat.
Selain di Alor, SLKL pada tahun 2024 telah berlangsung di Kabupaten Flores Timur dan Sikka. Di Alor, kegiatan SLKL berlangsung selama Maret-Agustus 2024 yang berlanjut pada sejumlah kegiatan ekspresi pengembangan potensi, September ini, yaitu makan sehat pangan lokal di sekolah, dialog budaya, dan Festival Melang Bila (Lumbung Pangan).
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, kebiasaan makan masyarakat Indonesia memang berubah dibandingkan 20 tahun silam. Orang lebih suka makan nasi putih atau pangan dari gandum, seperti mi dan roti, yang bahan bakunya hasil impor. Sumber karbohidrat yang bervariasi di alam sekitar justru terlupakan.
”Padahal, budaya makan ini sangat krusial karena bukan cuma soal enak di mulut, tetapi juga kebutuhan gizi tubuh,” kata Hilmar.
Uang keluar
Hilmar menjelaskan, isu yang muncul akibat lupanya masyarakat akan pangan lokal antara lain masalah kemandirian pangan dan ekonomi. Masyarakat jadi bergantung pada pangan yang bersumber dari luar daerah.
”Bicara soal sumber daya, uang yang susah payah kita kumpulkan justru mengalir keluar. Sementara itu, kalau sumber pangan dari lokal, maka dana bisa beredar di sini dan dengan sendirinya berdampak positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat, termasuk petani kita,” ucap Hilmar.
Menurut catatan Kompas, kebutuhan konsumsi beras di Alor sebanyak 28.000 ton, sedangkan kemampuan produksi beras hanya 2.000 ton pada 2023. Alor mesti mendatangkan 26.000 ton beras dari luar daerah, terutama dari Makassar, Sulawesi Selatan. Produksi beras Alor terbatas lantaran tanahnya lebih cocok untuk berkebun yang menghasilkan beras merah, beras hitam, umbi-umbian, pisang, dan jagung.
Dalam diskusi terpumpun bersama Finbargo, komunitas peduli pangan lokal, di Desa Lendola, Kamis (12/9/2024), rata-rata konsumsi tetap rumah tangga sebesar Rp 700.000 per minggu untuk setiap keluarga. Beras putih menjadi komponen terbesar, yaitu Rp 200.000. ”Jika menghitung 1.120 keluarga di Desa Lendola, maka setiap minggu desa tersebut menghabiskan Rp 224 juta untuk membeli beras,” ujar perwakilan Finbargo, Sukmi Alkausar.
Wartawan Kompas dan peneliti pangan, Ahmad Arif, menyebutkan, di sejumlah daerah di NTT, banyak ibu rumah tangga menjual hasil bumi, seperti beras merah, untuk membeli beras putih. Padahal, beras merah dan beras hitam lebih bergizi.
”Indonesia ini negara kepulauan dengan ekologi yang berbeda-beda. Di Papua banyak rawa sehingga tumbuh sagu. Di NTT kurang hujan, tetapi keragaman umbi-umbian tinggi. Kita seharusnya bangga dengan apa yang ditumbuhkan alam,” tutur Arif.
Identitas dan budaya
Sebagai bagian dari rangkaian SLKL, sebanyak 20 muda-mudi Pandu Budaya Kabupaten Alor mendata 582 obyek pemajuan kebudayaan (OPK), antara lain tradisi lisan, adat istiadat, ritus, seni, bahasa, teknologi tradisional, dan permainan rakyat. Temuan ini menegaskan, pangan lokal merupakan bagian dari identitas sekaligus budaya masyarakat Alor.
Contohnya, tradisi baleihatel untuk membuka lahan baru. Tradisi ini menggunakan sejumlah pisang yang dibakar sampai gosong, lalu pisang tersebut digoyangkan di arah tertentu sambil menyebut nama-nama tempat. Apabila pisang jatuh terbanyak pada tempat tertentu yang disebut, tempat itu menjadi lahan berkebun baru.
”Pangan lokal bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan, tetapi juga soal identitas dan kebanggaan. Dengan memahami dan memanfaatkan bahan pangan lokal, kita sebenarnya sedang memperkuat kedaulatan pangan kita,” ujar Hilmar.
Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek, Sjamsul Hadi, mengatakan, data OPK bisa digunakan sebagai bahan pelajaran muatan lokal di sekolah. ”Data ini memotret keberagaman pangan dan kebudayaan yang ada dan itu bisa ditransfer kembali ke siswa SD dan SMP yang menjadi kewenangan kabupaten,” ujarnya.
Arif mengatakan, proses kemunduran pangan lokal telah berjalan sejak zaman kolonial. Karena itu, proses edukasi dan sosialisasi untuk memajukannya membutuhkan usaha dan waktu yang tidak kalah besar.
”Kita harus mulai makan dengan berkesadaran karena kita adalah apa yang kita makan dan identitas leluhur kita di situ,” ujar Arif.