Pastikan Anggaran Pendidikan Sesuai Kebutuhan
Kualitas, akses, dan pemerataan jadi masalah dasar pendidikan. Anggaran harus sesuai kebutuhan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mewacanakan mengubah acuan penghitungan anggaran pendidikan yang diwajibkan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan belanja menjadi pendapatan. Komitmen anggaran pendidikan harus sesuai kebutuhan pendidikan bermutu.
”Daripada kita memperebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendidikan,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji, di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
”Hal ini bertujuan agar anggaran pendidikan tepat sasaran. Jangan seperti saat ini, entah siapa yang menikmati angaran pendidikan. Warga merasakan biaya sekolah makin mahal, apalagi biaya kuliah makin tak terjangkau semua kalangan. Ditambah lagi nasib guru honorer, sungguh sangat memprihatinkan,” tuturnya.
Baca juga: Utak-atik Anggaran Pendidikan demi Ruang Manuver Pemerintahan Baru
”Jika bicara soal mandatory spending tanpa tahu kebutuhannya apa dan berapa, sama saja bohong,” ujarnya. Setelah mengetahui kebutuhan sektor pendidikan, baru bisa dihitung dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Saya yakin kebutuhan dana pendidikan tak akan kurang dari 20 persen dari APBN dan APBD. Jadi, ketika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, secara otomatis pemerintah sudah melaksanakan amanah konstitusi dan pendidikan akan jauh lebih berkualitas dan berkeadilan bagi semua,” ucap Ubaid.
Daripada kita memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif jika wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendidikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat membahas RAPBN 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal September lalu meminta DPR mengubah patokan alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara.
Langkah ini dinilai akan menurunkan besaran belanja wajib (mandatory spending) APBN untuk layanan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.
Kualitas pendidikan
Menurut Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, kebutuhan anggaran pendidikan yang berdampak langsung pada mutu dan akses pendidikan serta memperpendek disparitas kian mendesak.
Namun, anggaran pendidikan 20 persen yang terlihat besar tidak menyelesaikan persoalan dasar pendidikan di negeri ini. Sebab, realisasi anggaran pendidikan belum menyentuh kebutuhan riil di masyarakat.
Satriwan mencontohkan, dana Bantuan Oprerasional Sekolah (BOS) jika ditelaah lebih dalam sebenarnya belum mampu menutupi pembiayaan riil peserta didik di sekolah. Dana BOS nyatanya tidak mencakup pembiayaan pendidikan siswa yang bersifat primer.
Sebagai contoh, anggaran dana BOS untuk siswa sekolah dasar (SD) sebesar Rp 900.000 per siswa setiap tahun, sekolah menengah pertama (SMP) Rp 1,1 juta, sekolah menengah atas (SMA) Rp 1,5 juta, dan sekolah menengah kejuruan (SMK) Rp 1,6 juta.
Jika dibaca sekilas seolah dana BOS ini besar. Faktanya, sepanjang tahun ajaran 2022/2023, siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang. Angka ini naik dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), anak putus sekolah ini karena faktor ekonomi, yaitu mahalnya biaya sekolah sehingga orangtua tak mampu membiayainya.
”Meski sudah ada dana BOS, orangtua murid masih mengeluarkan biaya tambahan yang besar untuk membeli seragam sekolah, buku paket, kegiatan ekstrakurikuler, dan biaya lainnya untuk menunjang pembelajaran,” ucap Satriwan.
Tahun ini, dengan anggaran wajib 20 persen APBN atau setara Rp 665 triliun saja, biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Karena itu, angka 20 persen sifatnya sudah minimalis. ”Jadi, mengapa mesti diakali lagi untuk dikurangi? Jelas kami menolak usulan tersebut,” kata Satriwan.
Serapan rendah
Terkait besarnya alokasi anggaran pendidikan dengan serapan yang dinilai buruk, Ubaid mengutarakan, serapan buruk bukan karena anggaran terlalu besar, melainkan karena buruknya mutu program dan lemahnya implementasi di lapangan.
”Harus dievaluasi mengapa hal ini bisa terjadi, bukan malah besaran anggarannya dilucuti. Jadi, yang harus diaudit adalah para pengelola anggaran, berbentuk program, mekanisme pengelolaan, dan hal lain yang terkait langsung,” tuturnya.
”Serapan anggaran pendidikan buruk tak bisa dijadikan alasan mengamputasi hak anak untuk mendapatkan dukungan dana dari pemerintah guna menuntaskan pendidikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi,” kata Ubaid.
Anggaran pendidikan harus sesuai kebutuhan dan serapannya baik. Jika tidak ada perbaikan ke arah ini, kualitas pendidikan akan semakin buruk dan memperparah kesenjangan layanan pendidikan.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri memaparkan, realitasnya selalu ada kenaikan anggaran pendidikan dalam APBN tiap tahun. Pada 2023 anggaran pendidikan Rp 612,2 triliun, tahun 2024 naik menjadi Rp 665,02 triliun, dan tahun 2025 naik lagi menjadi Rp 722,6 triliun.
Persoalannya bukan besaran 20 persen, melainkan penggunaan atau realisasi anggaran dan pengelolaannya. Meski anggaran pendidikan selalu naik setiap tahun, pendidikan masih berkutat pada masalah yang sama.
Data menunjukkan 60,60 persen bangunan SD dalam kondisi rusak (Badan Pusat Statistik, 2022) dan lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran.
Adapun rata-rata lama sekolah (RLS) relatif rendah, yakni 8,77 tahun, alias bersekolah hanya setara SMP; gaji guru honorer belum layak, bahkan jauh di bawah upah minimum karyawan. Sementara itu, kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa amat rendah, bahkan di bawah rata-rata skor negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) (PISA, 2022).
”Potret pendidikan nasional masih rendah kualitasnya sehingga membutuhkan keberpihakan anggaran dan perbaikan tata kelola pendidikan. Namun, mengapa malah ingin mengurangi anggaran,” kata Iman.
Baca juga: Indonesia Masih Hadapi Tantangan Kualitas Pendidikan
Masalah lainnya, lanjut Iman, alokasi 20 persen dari APBN dan APBD yang seolah-olah besar itu tidak semuanya dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Jadi, Kemendikbudristek hanya mengelola sekitar 15 persen dan Kementerian Agama 9 persen.
”Justru alokasi anggaran pendidikan dari APBN yang terbesar berbentuk transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp 346 triliun atau 52 persen. Itu termasuk anggaran pendidikan di kementerian atau lembaga lain yang mencapai Rp 32,85 triliun.
Pihak P2G menyesalkan ada temuan bahwa anggaran pendidikan dalam APBN sebesar Rp 111 triliun tak terserap. Tata kelola anggaran pendidikan 20 persen APBN yang bermasalah menjadi bukti lemahnya tata kelola anggaran, pemantauan, evaluasi, supervisi, dan audit anggaran pendidikan.
”Di tengah biaya sekolah mahal, gedung sekolah rusak, dan upah guru honorer yang tak manusiawi, anggaran pendidikan justru tak terserap sampai Rp 111 triliun. Angka sebesar ini sesungguhnya mampu menyejahterakan guru honorer dan memperbaiki fasilitas sekolah,” kata Iman.
Saat ini, Indonesia menghadapi masalah pendidikan yang menumpuk akibat pembiayaan pendidikan makin mahal, salah tata kelola, dan tidak tepat sasaran karena tidak langsung menyentuh kebutuhan siswa dan kesejahteraan guru. Pemerintah baru diharapkan meredesain tata kelola anggaran pendidikan.
Secara terpisah, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR, beberapa waktu lalu, mengatakan, anggaran pendidikan dibutuhkan untuk mendukung program prioritas.
Untuk anggaran Kemendikbudristek Tahun Anggaran 2025 ada tambahan sebesar Rp 10,4 triliun. Anggaran ini akan difokuskan pada peningkatan kesejahteraan guru dan dosen sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
”Tambahan anggaran ini sudah dialokasikan untuk mendukung pembiayaan program wajib dan prioritas Kemendikbudristek. Salah satu komponen terbesarnya adalah program-program berfokus pada peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, baik itu tunjangan maupun sertifikasi,” kata Nadiem.