Dampak Buruk Rokok Nyata, Regulasi Diperkuat untuk Tekan Konsumsi
Konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi. Karena itu, upaya penguatan regulasi mutlak dilakukan untuk melindungi rakyat.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai bukti telah menunjukkan dampak buruk dari konsumsi rokok. Meski begitu, angka pengguna rokok di Indonesia masih tinggi, terutama pada anak dan remaja. Untuk itu, upaya pengendalian konsumsi rokok terus diperkuat dengan penerapan regulasi yang tegas meski menuai penolakan dari kalangan pelaku industri produk tembakau.
Tingginya angka perokok di Indonesia menunjukkan pentingnya pengendalian konsumsi rokok di masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan membahas aturan pengendalian rokok melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, sebagai aturan turunan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit akibat Tembakau Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Benget Saragih, pada Jumat (13/9/2024), di Jakarta, memaparkan, aturan pengendalian rokok dalam rancangan Peraturan Menkes ini antara lain, larangan penjualan rokok ketengan per batang serta larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Baca juga: 120 Juta Orang Indonesia Jadi Perokok Pasif karena Aturan Tidak Tegas
Aturan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat, khususnya anak dan remaja. “Di Indonesia, rokok ketengan sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja karena harganya yang terjangkau. Dengan melarang penjualan rokok per batang, pemerintah berupaya mengurangi aksesibilitas rokok bagi kelompok usia muda yang rentan,” tuturnya.
Benget menambahkan, larangan penjualan rokok di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak juga menjadi langkah strategis untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak. Studi menunjukkan, paparan produk rokok di sekitar sekolah dan tempat bermain dapat meningkatkan risiko anak untuk mencoba merokok sejak usia dini.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta, Kamis (12/9/2024), menegaskan, konsumsi rokok harus ditekan. Dampak buruk dari konsumsi rokok sudah terbukti terjadi pada masyarakat. ”(Konsumsi) rokok itu harus dikurangi. Karena (rokok) ini, kan, sudah jelas sekali kontribusinya ke kesehatan itu negatif sekali. Jadi itu harus dikurangi, ” tuturnya.
Konsumsi rokok harus ditekan. Dampak buruk dari konsumsi rokok sudah terbukti terjadi pada masyarakat.
Prevalensi perokok di Indonesia sangat tinggi. Angka perokok pada anak terus meningkat. Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi perokok anak di Indonesia meningkat signifikan dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Prevalensi pengguna rokok elektronik pada usia di atas 10 tahun juga naik dari 2,8 persen pada 2018 menjadi 3,2 persen pada 2023.
Baca juga: Kenaikan Pengeluaran untuk Rokok Tingkatkan Risiko Anak ”Stunting”
Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia Tenggara. Mengutip data Tobacco Control Atlas: ASEAN Region edisi kelima yang diterbitkan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) atau Pusat Pengendalian Tembakau Asia Tenggara, jumlah perokok di Indonesia 65,7 juta orang.
Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan negara lainnya, seperti Filipina (16,5 juta), Vietnam (15,6 juta), Thailand (10,6 juta), Malaysia (4,8 juta), dan Singapura (323.000).
Beban sosio-ekonomi
Menurut Benget, penguatan aturan pengendalian rokok relevan dalam mengurangi beban sosial dan ekonomi pada masyarakat di Indonesia. Sejauh ini, beban ekonomi yang ditimbulkan dari konsumsi rokok sangat besar.
Kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) berbasis data tahun 2019 menunjukkan, beban ekonomi merokok yang mencakup biaya langsung dan tidak langsung mencapai Rp 446,73 triliun atau sama dengan 2,9 persen pendapatan nasional bruto. Beban biaya ini diperkirakan akan terus meningkat jika prevalensi perokok saat ini tidak dikendalikan.
”Dengan mengurangi angka prevalensi merokok melalui kebijakan ini, pemerintah tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga mengurangi beban ekonomi jangka panjang yang ditanggung oleh negara, terutama yang berkaitan dengan biaya perawatan kesehatan,” ujarnya.
Benget juga menuturkan, rancangan peraturan menteri kesehatan tentang penguatan pengendalian konsumsi rokok tidak dimaksudkan untuk menghambat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Aturan ini justru untuk mendukung terciptanya lingkungan lebih sehat sekaligus memberikan peluang agar UMKM bisa tumbuh dengan produk-produk alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan.
Baca juga: Rapor Merah Indonesia dalam Pengendalian Tembakau
”UMKM tetap memiliki peluang untuk mengoptimalkan penjualan produk selain rokok yang memiliki margin keuntungan lebih tinggi dan lebih sehat. Pemerintah juga bisa memberikan dukungan berupa pelatihan kewirausahaan, bantuan modal, serta akses ke pasar untuk produk-produk alternatif selain rokok, seperti sembako, makanan ringan, dan kebutuhan rumah tangga lain,” kata Benget.
Dalam siaran pers, puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan menolak pengaturan produk tembakau pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan, serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai aturan turunannya. Regulasi ini terkait zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang serta standardisasi kemasan berupa kemasan polos.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait industri hasil tembakau yang bisa berdampak pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Industri tembakau dinilai telah menyerap jutaan tenaga kerja dari petani, pekerja, pedagang dan peritel, hingga industri kreatif.
”Kami melihat terdapat proses yang tidak tepat dalam penyusunan kebijakan ini, baik PP No 28/2024 maupun Rancangan Peraturan Menkes, disebabkan minimnya pelibatan industri. Hal ini akan memicu kontraksi berkepanjangan,” tuturnya. Aturan itu dikhawatirkan menciptakan ketidakstabilan di sektor terkait, termasuk ritel dan pertanian yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau
”Apindo mendesak agar penyusunan dan pelaksanaan PP 28 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, guna mewujudkan kebijakan yang berimbang dan berbasis pembuktian,” ujar Franky.
Baca juga: Rokok dan UU Kesehatan 2023
Ada sejumlah poin yang dikeluhkan pengusaha rokok, antara lain, kemasan polos produk rokok, pembatasan tar dan nikotin pada produk tembakau, sampai dengan rencana kenaikan cukai rokok. Keluhan ini diungkapkan pelaku industri hasil tembakau dari hulu ke hilir di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Acara itu dihadiri, antara lain, perwakilan dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia, serta Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI).
Ketua Umum GAPPRI Henry Nayoan menjelaskan, ada beberapa poin di PP No 28/2024 dan Rancangan Menkes yang memberatkan industri hasil tembakau. Salah satu poinnya adalah soal standardisasi kemasan polos produk rokok sehingga merek rokok satu dengan yang lainnya tak bisa dibedakan. Pabrikan jadi tidak bisa menonjolkan keunggulan mereknya.
Hal ini dinilai bisa memicu peningkatan rokok ilegal. Sebab, semua produk rokok jadi sama saja tidak ada bedanya. ”Kalau ini yang terjadi malah merugikan bagi semua. Masuknya rokok ilegal mengurangi potensi pendapatan negara dari cukai. Selain itu, rokok ilegal berbahaya bagi masyarakat karena kualitas kandungannya tidak jelas,” ungkap Henry, pada Kamis (12/9/2024).
Dampak luas
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional APTI Kusnasi Mudi menyatakan, 2,5 juta petani tembakau terancam kehilangan mata pencarian jika kebijakan itu diterapkan. Sebab, hasil panennya berpotensi tak terserap pabrikan karena mereka memilih impor demi mengikuti standar nikotin yang diatur dalam PP No 28/2024. Padahal, industri hasil tembakau berperan menyediakan lapangan kerja dari sektor pertanian.
Ketua Umum Gaprindo Benny Wachjudi menambahkan, industri hasil tembakau merupakan salah satu penopang perekonomian nasional. Hal ini tecermin dari besarnya tenaga kerja yang terserap dari seluruh rantai pasok industri ini yang mencapai 5,9 juta-6 juta orang. Hal ini membuktikan industri hasil tembakau juga termasuk industri padat karya selain tekstil dan alas kaki.
Selain itu, industri hasil tembakau berkontribusi besar terhadap penerimaan negara. Pada 2023, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau Rp 213,5 triliun, sedikit menurun dibandingkan 2022 yang sebesar Rp 218,6 triliun. Pendapatan cukai hasil tembakau itu berkontribusi 7,69 persen dari total pendapatan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.
Baca juga: Penegakan Aturan Tembakau
Adapun tahun depan, pemerintah mengusulkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 5 persen. Artinya, harga rokok juga akan ikut terkerek naik. Di tengah daya beli masyarakat yang lesu, permintaan rokok juga berpotensi menurun. Hal itu juga akan menurunkan pendapatan negara dari cukai tembakau. ”Kami merasa peran industri ini penting bagi perekonomian, tetapi kami terus ditekan,” ucap Benny.
Intervensi industri
Sebelumnya, Director of the Asian Consultancy on Tobacco Control yang juga penasihat senior Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Judith Mackay, dalam keterangan pers yang diterbitkan Seatca (Southeast Asia Tobacco Control Alliance), menuturkan, campur tangan industri tembakau menjadi masalah besar dalam pengendalian tembakau di sejumlah negara, termasuk di kawasan ASEAN.
”Musuh sebenarnya bagi perokok bukanlah para advokat pengendalian tembakau, melainkan industri tembakau itu sendiri yang memikat mereka untuk menggunakan produk yang mematikan dan adiktif tersebut,” katanya.
Hal itu setidaknya terlihat dari laporan edisi keenam Atlas Pengendalian Tembakau ASEAN yang terbitkan oleh Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (ASEAN). Dari laporan itu disebutkan bahwa Indonesia menghadapi campur tangan industri tembakau yang paling kuat. Sementara negara dengan campur tangan industri terendah adalah Brunei Darussalam.
Direktur Eksekutif Seatca Ulysses Dorotheo mengutarakan, ketiadaan langkah-langkah untuk memperkuat kebijakan membuat industri tembakau dan kelompok pendukung lainnya semakin gencar menekan dan menghentikan upaya pengendalian tembakau di negara tersebut. Hal itu setidaknya terjadi pada aturan terkait penerapan cukai tembakau di Vietnam serta perangkat rokok elektronik (ESD).
Baca juga: Dampak Buruk Rokok Terjadi Jangka Panjang, Pertegas Aturan
”Kami menyerukan kepada semua negara ASEAN untuk melarang semua produk nikotin rekreasional baru (rokok elektronik) dan menghentikan produk tembakau yang ada untuk melindungi generasi mendatang dari dampak kesehatan serius dan kecanduan seumur hidup,” tuturnya.