Agama dan Bunuh Diri
Agama bisa diperankan dalam kebijakan dan program pencegahan bunuh diri. Bagaimana caranya?
Agama dianggap sebagai faktor yang bisa mencegah terjadinya bunuh diri. Namun, agama juga sering dijadikan alat oleh sebagian orang untuk menghakimi mereka yang ingin bunuh diri meski masih dalam tataran ide, dengan tudingan ”kurang beriman” atau ”seperti tidak punya Tuhan”. Padahal, bunuh diri bukan masalah keimanan semata.
Bunuh diri adalah puncak dari masalah kesehatan mental masyarakat dan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Jumlah kematian akibat bunuh diri per tahun, yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (Agustus, 2024) mencapai 726.000 orang, adalah lebih tinggi dari jumlah kematian akibat sejumlah perang.
Bunuh diri bisa dilakukan siapa saja, tanpa pandang tingkat pendidikan, status ekonomi dan sosial, usia, tempat tinggal, ataupun status keagamaannya. Beragama atau tidak serta apa pun jenis agama atau kepercayaan yang diyakini, semuanya tetap memiliki potensi bunuh diri. Bunuh diri bisa terjadi di komunitas atau negara mana pun, termasuk mereka yang hidup dalam masyarakat dengan budaya beragama sangat kuat sekalipun.
Agama bisa hadir memberi solusi nyata bagi masyarakat dan menjawab tantangan masyarakat modern.
Data prevalensi kematian akibat bunuh diri yang dikeluarkan WHO pada 2019 memang menunjukkan angka bunuh diri lebih rendah terjadi di negara-negara yang memiliki budaya agama kuat, apa pun agama mereka. Sementara di bekas negara-negara Uni Soviet, negara yang dekat kutub, atau negara miskin di selatan Afrika, prevalensi bunuh dirinya relatif tinggi.
Namun, data itu tidak bisa serta-merta bisa disimpulkan ada korelasi positif antara agama dan upaya pencegahan bunuh diri. Prevalensi bunuh diri yang rendah itu bisa saja terjadi akibat buruknya sistem pencatatan bunuh diri, baik akibat lemahnya birokrasi, besarnya stigmatisasi terhadap pelaku bunuh diri dan keluarganya, hingga kuatnya tabu untuk membicarakan bunuh diri.
Hubungan antara agama dan bunuh diri memang rumit. Baik agama maupun bunuh diri sama-sama memiliki konstruksi yang kompleks. Keterikatan seseorang dengan agama berlapis-lapis, mulai dari sekadar menganut atau berafiliasi dengan agama tertentu, menjalankan praktik atau ritual keagamaan dengan baik, hingga menganggap agama sebagai doktrin semata.
Lapisan serupa juga terdapat dalam bunuh diri. Pada tingkatan paling dasar adalah orang yang sekadar memiliki ide bunuh diri atau berpikiran untuk mengakhiri hidup. Selanjutnya adalah orang yang sudah melakukan tindakan atau percobaan bunuh diri dengan melakukan hal-hal yang menyakiti diri, tetapi tidak sampai meninggal. Adapun tingkat tertinggi adalah orang yang melakukan bunuh diri dan berujung pada kematian.
Baca juga: Pandemi Tingkatkan Risiko Bunuh Diri
Semua agama memang menentang bunuh diri. Karena itu, agama dianggap sebagai faktor protektif dalam mencegah bunuh diri. Namun, bukti empiris tentang peran agama dalam pencegahan bunuh diri itu tidak konsisten.
Studi Ryan E Lawrence dan rekan yang dipublikasikan di Archives of Suicide Research, 23 Juni 2020, menemukan bahwa afiliasi atau menganut agama tertentu tidak selalu melindungi seseorang dari memiliki ide bunuh diri. Namun, afiliasi agama itu terbukti melindungi seseorang dari percobaan atau tindakan bunuh diri.
Manfaat yang sama juga ditemukan pada mereka yang menjalankan praktik keagamaan. Artinya, mereka yang beragama dan menjalankan praktik keagamaan secara rutin tetap bisa memiliki ide bunuh diri. Namun, saat akan melakukan tindakan atau percobaan bunuh diri yang bisa menyebabkan kematian, mereka yang beragama dan menjalankan ritualnya akan memiliki pertimbangan lebih kuat untuk tidak melakukan upaya bunuh diri.
Studi serupa oleh Jalal Poorolajal dan rekan di Journal of Research in Health Sciences, 31 Oktober 2021, juga menemukan hal sama. Agama memiliki peran protektif terhadap perilaku bunuh diri meski pengaruhnya bervariasi di berbagai negara dengan agama dan budaya yang berbeda. Karena itu, meski hubungan antara agama dan bunuh diri tidak selalu bersifat sebab akibat, agama tetap bisa diperankan dalam kebijakan dan program pencegahan bunuh diri.
Pengalaman praktik psikiater konsultan di Rumah Sakit Umum dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang juga Perwakilan Indonesia untuk Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP), Nalini Muhdi, Minggu (8/9/2024), juga menunjukkan hal serupa. Mereka yang taat beragama pun tetap bisa memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Baca juga: Bunuh Diri Bisa Dicegah
Namun, karena stigmatisasi dan penghakiman lingkungan sekitar cukup kuat dengan menuduhnya ”kurang beriman”, orang yang memiliki ide bunuh diri itu akhirnya benar-benar melakukan tindakan bunuh diri dan berakhir pada kematian. Orang sekitar yang diharapkan bisa berempati, menjadi tempat berkeluh kesah bagi seseorang yang ingin bunuh diri, nyatanya justru menghakiminya.
Bukti empiris itu menunjukkan bahwa agama memang bisa melindungi seseorang dari percobaan bunuh diri atau kematian akibat bunuh diri. Namun, agama juga bisa dijadikan alat oleh seseorang untuk menstigma orang lain yang memiliki ide bunuh diri. Agama bisa menjadi faktor proteksi atau pendukung bagi seseorang untuk menghindarkan mereka dari upaya bunuh diri, tetapi agama juga bisa menjadi faktor risiko karena digunakan secara tidak tepat untuk menghakimi orang lain.
”Penggunaan agama untuk memberi solusi atau mencegah bunuh diri itu membutuhkan pengetahuan yang lebih lengkap dan pemahaman yang bijak,” kata Nalini menambahkan.
Kompleks
Bunuh diri memang bukan persoalan keimanan semata. Ada faktor biologis, psikologis, dan sosial yang bisa memicu seseorang bunuh diri. Masalah ketidakseimbangan neurotransmiter otak, kematangan otak, genetika, penyakit yang tidak kunjung sembuh, tekanan ekonomi, tuntutan sosial, serta beratnya persoalan hidup yang tidak mampu dikelola seseorang bisa membuat mereka terpikir untuk bunuh diri, melakukan percobaan bunuh diri, ataupun benar-benar berakhir dalam kematian.
Data IASP menunjukkan, untuk satu kematian akibat bunuh diri, diperkirakan terdapat 20-25 kali upaya percobaan bunuh diri. Sementara pandangan ahli menyebutkan bahwa setiap orang minimal pernah satu kali memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya.
Selain itu, setiap satu kematian akibat bunuh diri akan berdampak pada 135 orang lain, baik orangtua, saudara, anak, teman maupun orang terdekat akibat rasa tertekan, bersalah, hingga stigma dari lingkungan. Karena itu, dampak bunuh diri bukan hanya pada mereka yang melakukan bunuh diri semata, melainkan juga orang-orang di sekitarnya.
Baca juga: Cegah Bunuh Diri dengan Kenali Tanda-tandanya
WHO (2021) menyebut, 73 persen bunuh diri terjadi di negara berpendapatan menengah ke bawah. Namun, kemajuan ekonomi juga meningkatkan angka bunuh diri akibat proses pembangunan yang tidak inklusif, menciptakan dan memperlebar kesenjangan, meningkatnya beban hidup, melemahnya dukungan sosial akibat meningkatkan individualitas dan renggangnya kohesi masyarakat, hingga terabaikannya masalah kesehatan mental.
Sejatinya, 80 persen niat bunuh diri bisa digagalkan atau tidak berkembang menjadi upaya percobaan bunuh diri atau tindakan bunuh diri yang mematikan. Hal itu bisa dilakukan jika ada dukungan dan empati dari sekitarnya. Namun, kurangnya pengetahuan, kepedulian, dan empati masyarakat sekitar membuat mereka yang memiliki niat bunuh diri nekat melakukan hal-hal yang menyakiti diri hingga sebagian di antaranya berakhir dengan kematian.
Dalam kultur masyarakat Indonesia yang menekankan pentingnya peran agama dalam kehidupan, peran protektif agama bisa dioptimalkan guna mencegah percobaan bunuh diri atau tindakan bunuh diri. Agama, melalui agamawan, bisa dihadirkan untuk mendampingi mereka yang sedang mengalami nyeri jiwa hebat dan tidak mampu menanggungnya agar bisa melalui badai kehidupan itu dengan lebih baik.
Dalam situasi inilah, agama bisa hadir memberi solusi nyata bagi masyarakat dan menjawab tantangan masyarakat modern. Agamawan dan umat pun perlu dilatih agar bisa ”menggunakan” agama secara tepat dalam pencegahan bunuh diri, bukan malah memberi stigma dan penghakiman bagi orang lain hingga akhirnya menimbulkan kondisi yang oleh generasi Z disebut sebagai religious trauma.
Penggunaan agama untuk mencegah bunuh diri, seperti ditulis Herman M van Praag dalam tulisannya di Oxford Textbook of Suicidology and Suicide Prevention, Maret 2009, memang menimbulkan pertentangan di Barat karena dianggap mengurangi kemandirian manusia. Akan tetapi, sikap itu dianggap mengabaikan dorongan manusia untuk memberikan makna pada hidupnya melalui dimensi spiritual serta kecenderungan manusia untuk mencari nilai-nilai yang melampaui kebutuhan material manusia.
Baca juga: Generasi Z dan Kerentanan Bunuh Diri
Orang yang beragama memiliki kepercayaan atas kekuatan moral di luar diri mereka. Jika religiositas yang dijalani itu dimaknai sebagai sumber harapan dan keyakinan, agama bisa bermanfaat dalam mengurangi risiko depresi, memfasilitasi pemulihan akibat gangguan jiwa, serta mengurangi risiko bunuh diri. Namun, religiositas yang dimaknai sebagai sumber rasa bersalah dan ketakutan bisa memberi efek sebaliknya.
Meski demikian, pemanfaatan faktor proteksi agama untuk pencegahan bunuh diri itu seharusnya juga dibarengi dengan pembangunan sistem kesehatan mental yang komprehensif dan berkelanjutan. Negara dan komunitas juga harus hadir dalam pencegahan bunuh diri karena dampak bunuh diri di masyarakat nyata dan tidak bisa lagi dianggap persoalan sepele.