Alzheimer Masih Terabaikan, Banyak Kasus Tidak Terdeteksi
Jumlah kasus Alzheimer di Indonesia diperkirakan meningkat, sementara kesadaran masyarakat masih minim.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah orang dengan alzheimer di Indonesia diperkirakan meningkat secara signifikan seiring dengan kondisi penuaan penduduk. Usia harapan hidup yang meningkat, jumlah populasi warga lansia yang bertambah, serta faktor risiko alzheimer yang makin besar turut berkontribusi dalam meningkatkan jumlah kasus Alzheimer.
Namun, sekalipun risiko alzheimer semakin besar, kesadaran warga akan penyakit ini masih minim. Layanan untuk orang alzheimer juga terbatas. Hal ini mengakibatkan banyak orang dengan alzheimer tidak terdiagnosis sehingga terlambat ditangani, bahkan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Berdasarkan data yang dilaporkan dari Sistem Informasi Rumah Sakit Online Kementerian Kesehatan, jumlah kasus baru alzheimer pada periode 2019-2023 untuk kasus rawat jalan 83.500 orang dan kasus rawat inap 2.400 kasus.
Jumlah itu jauh dari estimasi yang dihitung oleh Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) terhadap beban kasus penyakit bahwa jumlah kasus alzheimer di Indonesia diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus.
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait penyakit alzheimer yang masih kurang menjadi penyebab utama tingginya gap antara estimasi jumlah kasus alzheimer dan kasus yang terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Imran Pambudi, di Jakarta, Minggu (8/9/2024), mengutarakan, pengetahuan dan kesadaran warga terkait penyakit alzheimer yang masih kurang menjadi penyebab utama tingginya gap antara estimasi jumlah kasus alzheimer dan kasus terdiagnosis serta mendapatkan pengobatan. Gejala alzheimer pun masih dianggap sebagai gejala biasa pada orang lansia.
”Gejala alzheimer terjadi dalam spektrum (rangkaian yang berlanjut). Itu bisa mulai dari kepikunan sampai pada kondisi yang berat. Dan mungkin banyak orang tidak tahu bahwa gejala seperti pikun itu bukan hal yang wajar sehingga mereka tidak secara sadar melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan,” katanya.
Stigma
Imran menambahkan, penyebab lainnya bisa karena masih adanya stigma pada gejala yang dialami oleh orang dengan alzheimer. Gejala yang muncul pada orang dengan alzheimer hampir menyerupai gejala pada orang dengan gangguan jiwa, misalnya emosi tidak terkontrol, halusinasi, serta perubahan perilaku dan kepribadian.
Baca juga: Penduduk Menua, Perawatan Jangka Panjang Pasien Lansia Meningkat
Stigma terhadap penyakit tersebut membuat keluarga ataupun orang di sekitar penderita alzheimer enggan memeriksakan kondisi tersebut ke fasilitas kesehatan. Padahal, hal itu membuat kondisi orang dengan alzheimer bisa memburuk.
Deteksi yang terlambat akibat ketidaktahuan akan penyakit alzheimer salah satunya disampaikan oleh Catharina Latjuba (51), warga Jakarta Selatan, terhadap kondisi ibunya, Fatma Latjuba (79). Awalnya, Catharina mengira kondisi ibunya yang tiba-tiba tidak ingat akan semua anggota keluarganya disebabkan penyakit stroke yang dialami ibunya.
Kejadian tersebut terjadi sekitar Agustus 2019. Sejak saat itu, perawatan yang diberikan masih terfokus pada penyakit stroke yang dialami. Sesekali, terapi wicara, terapi sensori, terapi jalan, dan terapi memori diberikan, tetapi tidak secara khusus terkait kondisi alzheimer.
Baru pada November 2019 dokter mendiagnosis bahwa ibunya mengalami demensia alzheimer. Pada saat itu, pengetahuan Catharina mengenai alzheimer sangat minim, bahkan penjelasan mengenai penyakit tersebut tidak diketahuinya. Sejak itu, ia mencoba mencari tahu mengenai penyakit alzheimer dan bergabung bersama komunitas Alzheimer Indonesia.
”Setelah saya pelajari dan mencoba melihat ke belakang, saya baru sadar sepertinya gejala alzheimer pada ibu saya sudah terjadi sejak lama, misalnya sering marah-marah dengan emosi tinggi dan tiba-tiba bicara sangat kasar. Karakter dan perilakunya bisa berubah. Itu sebenarnya terjadi sebelum mama mengalami stroke,” katanya.
Alzheimer merupakan salah satu penyebab paling umum dari demensia. Sekitar 70 persen dari semua kasus demensia merupakan alzheimer. Demensia terjadi ketika fungsi otak mengalami penurunan yang akhirnya memengaruhi daya ingat, emosi, pengambilan keputusan, dan fungsi otak lainnya.
Baca juga: Gaya Hidup Sehat Dapat Mencegah Alzheimer
Alzheimer merupakan penyakit yang sifatnya progresif, bertahap dari waktu ke waktu, dan menyebabkan lebih banyak bagian otak yang rusak. Karena itu, gejala yang muncul menjadi lebih parah. Terapi diberikan untuk memperlambat laju kerusakan otak.
Risiko semakin besar
Rektor Unika Atma Jaya yang juga Ketua Kelompok Studi Neurogeriatri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Yuda Turana menyampaikan, peningkatan kesadaran dan perhatian masyarakat, termasuk pemangku kepentingan, akan penyakit alzheimer semakin mendesak. Risiko terjadinya penyakit alzheimer di masyarakat semakin besar.
Risiko tersebut, antara lain, terkait dengan penuaan penduduk. Risiko alzheimer makin besar pada usia lanjut. Sebagian besar kasus alzheimer ditemukan pada usia di atas 65 tahun. Sementara Indonesia sudah dihadapkan pada penuaan penduduk. Saat ini, populasi orang lansia di Indonesia 12 persen dari total penduduk. Pada 2045, jumlah itu diperkirakan meningkat menjadi 20 persen dari total penduduk.
Selain itu, tingkat stres yang semakin tinggi dengan beban sosial ekonomi yang besar juga turut menjadi faktor risiko alzheimer yang harus diwaspadai. Adapun faktor risiko lain yang juga meningkat, antara lain, tekanan darah yang tinggi, obesitas, paparan rokok, depresi, diabetes, dan paparan terhadap polusi udara.
Sayangnya, menurut Yuda, faktor risiko yang semakin meningkat tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan penyakit alzheimer. Kesadaran yang kurang itu pun terjadi pada tenaga kesehatan. Akibatnya, banyak kasus yang tidak terdiagnosis dan terlambat ditangani.
Baca juga: Pola Makan Sehat Mengurangi Risiko Demensia
Hal tersebut setidaknya terungkap dari survei prevalensi demensia di Indonesia yang dilakukan pada September-Desember 2021. Dari hasil survei yang dipublikasi pada laman stride-dementia.org itu menunjukkan, dari 2.110 orang lansia usia di atas 65 tahun yang diteliti ditemukan 23,4 persen di antaranya mengalami demensia.
Namun, kondisi yang mengkhawatirkan, yaitu dari prevalensi kasus demensia tersebut, hanya lima orang atau 0,2 persen yang mendapatkan diagnosis. ”Jadi, ini patut menjadi perhatian kita semua bahwa mungkin orang lansia dengan gejala demensia alzheimer ini dianggap lumrah,” kata Yuda.
Kurangnya pemahaman mengenai gejala alzheimer tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga dari dokter. ”Hal ini juga membuktikan satu hal bahwa pasien datang pada stadium akhir saat sudah terjadi gangguan perilaku. Padahal, pada fase ini sudah sulit diobati,” ujarnya.
Yuda menambahkan, stigma yang ada di masyarakat turut menjadi penyebab rendahnya kesadaran masyarakat akan demensia alzheimer. Gejala awal yang muncul pada orang alzheimer akhirnya dianggap lumrah sebagai kondisi yang biasa terjadi pada orang lansia.
Oleh karena itu, Ketua Yayasan Alzheimer Indonesia (ALZI) DY Suharya menyampaikan, edukasi mengenai alzheimer harus terus digaungkan secara luas. Bulan Alzheimer Sedunia yang diperingati setiap September menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian terhadap deteksi dini penyakit tersebut yang banyak diderita warga lansia.
Hal pertama yang perlu disadari bahwa pikun atau gangguan daya ingat pada seseorang, terutama orang lansia, jangan dianggap sebagai kondisi yang lumrah. Gejala tersebut bisa menjadi gejala dari demensia alzheimer.
Gejala lain yang perlu disadari pula, antara lain, sulit fokus, sulit melakukan kegiatan yang sebelumnya sering dilakukan, disorientasi, sulit berkomunikasi, tidak menaruh barang di tempatnya, sulit mengambil keputusan, menarik diri dari pergaulan, hingga terjadi perubahan perilaku dan kepribadian.
”Yang harus disadari juga bahwa ketika ada satu orang yang mengalami demensia itu akan mengakibatkan satu keluarganya terdampak. Tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mental dan kondisi ekonomi. Biaya untuk perawatan orang dengan alzheimer Rp 1 juta-Rp 20 juta per bulan,” tuturnya.