Pelarangan X di Brasil dan Dilema Media Sosial
Penutupan X di Brasil membuka kembali perdebatan dilema media sosial dalam demokrasi dan kesehatan sosial masyarat.
Brasil telah melarang operasional platform media sosial X di negara tersebut. Pelarangan ini telah membuka kembali perdebatan tentang dilema media sosial dalam demokrasi dan kesehatan sosial masyarakat.
Platform X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, telah dilarang di Brasil sejak 30 Agustus 2024, setelah perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu gagal menunjuk perwakilan hukum baru di negara itu sebelum batas waktu yang ditetapkan pengadilan. Mahkamah Agung Brasil memberikan suara bulat untuk menegakkan larangan tersebut.
Keputusan ini merupakan eskalasi terbaru dalam perselisihan antara pemilik X, Elon Musk, dan Hakim Agung Brasil Alexandre de Moraes. Pada April 2024, hakim memerintahkan penangguhan puluhan akun karena diduga menyebarkan disinformasi. Musk mengabaikan perintah tersebut, bahkan kemudian menutup kantor X di Brasil sebagai tanggapan.
Baca juga: Kasus Telegram di Perancis dan X di Brasil, Kenapa Medsos Jadi Target?
Perselisihan tersebut, setidaknya secara publik, berkisar pada isu kebebasan berbicara. ”Kebebasan berbicara adalah landasan demokrasi dan hakim semu yang tidak dipilih di Brasil menghancurkannya untuk tujuan politik,” kata Musk, sebagaimana dilaporkan AFP pada Jumat (6/9/2024).
Sebagaimana Moraes, Hakim Agung Brasil Flávio Dino juga berpendapat bahwa ”kebebasan berekspresi terkait erat dengan tugas tanggung jawab. Yang pertama tidak dapat ada tanpa yang kedua, dan sebaliknya.”
Awal minggu ini, Mahkamah Agung Brasil menguatkan putusan de Moraes, yang mencakup denda sebesar 9.000 dollar AS per hari bagi siapa pun dari 200 juta penduduk Brasil yang ketahuan menggunakan X melalui jaringan privat virtual (VPN) atau cara lain.
Tanggapan terbelah
Penutupan platform media sosial ini telah memicu respons berbeda di kalangan ilmuwan Brasil. Keterbelahan respons ilmuwan ini dilaporkan Nature pada Rabu (4/9/2024).
Letícia Sallorenzo, peneliti linguistik di Universitas Brasília, menganggap platform X dibutuhkan untuk demokrasi. Sebelum pelarangan, ia kebetulan mempelajari ujaran kebencian yang ditujukan kepada de Moraes di platform tersebut. Larangan tersebut telah memutusnya dari penelitian yang tengah dilakukannya. Ia kini mengajukan petisi ke pengadilan untuk diizinkan menggunakan VPN guna mengakses X agar ia dapat melanjutkan studinya.
Baca juga: Tak Patuhi Perintah Pengadilan Brasil, X Diblokir
Para ilmuwan di dunia, termasuk di Brasil, telah menggunakan X tidak hanya untuk mengomentari penelitian, mengobrol dengan rekan sejawat, dan menemukan kolaborator baru, tetapi juga untuk mempromosikan pekerjaan mereka dan mengoreksi kesalahpahaman.
Selama pandemi Covid-19, misalnya, Átila Iamarino, seorang ahli mikrobiologi dan komunikator sains di São Paulo, Brasil, menjadi sumber informasi utama tentang virus SARS-CoV-2, yang menjangkau lebih dari 1 juta pengikut. ”Di sanalah saya berdebat dengan rekan sejawat, menyusun argumen, dan menyanggah kebohongan saat beredar,” katanya.
Rodrigo Cunha, peneliti komunikasi di Universitas Federal Pernambuco di Recife, Brasil mengaku kehilangan kontak dengan kolega dan kelompok penelitian Eropa setelah penutupan platform ini. Dia termasuk yang menyesalkan pelarangan itu.
Karina Lima, ahli iklim di Universitas Federal Rio Grande do Sul di Porto Alegre, Brasil, mengatakan, ia memperoleh kesempatan dan menjangkau banyak orang melalui pekerjaan komunikasi sainsnya melalui X. Namun, ia mengakui bahwa media sosial seharusnya tidak menjadi ”tanah tanpa hukum yang mendukung ujaran kebencian dan disinformasi”.
Media sosial memiliki tujuannya sendiri, yaitu bisnis pemilik platform, dan untuk mencapainya dengan menggunakan psikologi pengguna.
Namun, sebagian kalangan setuju dengan penutupan platform ini. Banyak peneliti telah meninggalkan X setelah Elon Musk membeli platform ini dan mengubah kebijakan, termasuk yang terkait dengan moderasi konten dan adanya pengguna yang mendapat fasilitas lebih, ditandai dengan ”centang biru”, dengan membayar.
Sabine Righetti, peneliti sains-komunikasi di Universitas Negeri Campinas di Brasil, keluar dari platform tersebut awal tahun lalu karena apa yang ia rasakan sebagai peningkatan pesan agresif, khususnya yang menargetkan ilmuwan, jurnalis, dan perempuan.
Sebagian ilmuwan di Brasil mulai mencari forum daring lain untuk memposting penelitian mereka, berkomunikasi dengan kolaborator, dan mengikuti perkembangan ilmiah. ”Mengikuti jurnal dan orang-orang penting selalu membuat saya tetap mengikuti perkembangan,” kata Regina Rodrigues, seorang ahli oseanografi fisik di Universitas Federal Santa Catarina di Florianópolis, Brasil.
Ronaldo Lemos, kepala ilmuwan di Institut Teknologi dan Masyarakat di Rio de Janeiro, mengatakan, larangan tersebut mungkin memberikan gambaran sekilas tentang seperti apa dunia tanpa X. Jejaring sosial datang dan pergi, katanya, menunjuk ke beberapa yang telah ditutup, seperti Orkut milik Google, yang ditutup pada 2014 dan pernah populer di Brasil. ”Orang-orang beradaptasi dan mencari cara untuk membangun kembali jaringan mereka di tempat lain,” katanya.
Lebih dari dua juta orang di Brasil kini telah beralih ke platform media sosial lain, yang disebut Bluesky. Sebagian ilmuwan juga sedang mencoba platform lain, seperti Mastodon dan Threads.
Dilema media sosial
Penutupan X di Brasil menambah panjang larangan platform media sosial ini oleh negara, terutama di era kepemimpinan Musk. Dia terus bersitegang dengan para kepala negara, mulai dari Presiden Venezuela Nicolás Maduro, hingga Perdana Menteri Inggris yang baru terpilih, Keir Starmer. Sejak 2015, setidaknya sudah 37 negara melarang X.
Tak hanya X, sejumlah negara telah melarang media sosial. Selama lima tahun terakhir, setidaknya 46 pemerintah telah membatasi media sosial atau aplikasi pengiriman pesan, dengan rata-rata 13 kasus setiap tahun. Pembatasan ini sebagian besar terjadi selama periode pergolakan politik di suatu negara.
Para akademisi dari Universitas Northeastern, Amerika Serikat, menyatakan, penutupan X di Brasil ini bakal menjadi inspirasi bagi banyak negara lain, yang saat ini kerepotan menghadapi ekses buruk media sosial. Di satu sisi, penutupan ini dianggap bertentangan dengan gagasan kebebasan berbicara, yang menjadi fundamen demokrasi. Namun, para akademisi juga mulai meragukan gagasan internet sebagai zona kebebasan berbicara transnasional yang libertarian.
”Pengadilan (di banyak negara) sedang memikirkan kembali paradigma kebebasan berbicara libertarian—memikirkan kembali pemahaman yang sangat luas tentang kebebasan berbicara daring,” kata Elettra Bietti, ahli hukum dan ilmu komputer di Universitas Northeastern. ”Kita telah beralih dari pendekatan yang sangat libertarian dan sangat lepas tangan ke keinginan yang semakin besar untuk regulasi dalam ekonomi digital.”
Baca juga: Media sosial dan demokrasi
Claudia Haupt, profesor hukum dan ilmu politik di Universitas Northeastern, setuju dengan gagasan ini. ”Anda dapat melihat bahwa ada beberapa suara di AS yang mengatakan bahwa mungkin lebih baik untuk mengatur ucapan di platform dengan lebih ketat," kata Haupt, yang meneliti regulasi ucapan daring komparatif.
Ia juga mencatat maraknya disinformasi dan misinformasi daring selama Covid-19. ”Ada begitu banyak misinformasi tentang berbagai hal tentang sains dan kebenaran bukanlah yang biasanya muncul,” kata Haupt.
Bietti mencatat bahwa selalu ada tarik-menarik antara pemerintah dan individu terkait dengan kebebasan berbicara. Baik Haupt maupun Bietti mencatat, Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa menunjukkan adanya upaya mencari keseimbangan baru antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab di internet. Undang-undang yang baru-baru ini disahkan memiliki ”tujuan utamanya untuk mencegah aktivitas ilegal dan berbahaya secara daring serta penyebaran disinformasi."
Fenomena ini juga menandai semakin menguatnya dilema media sosial dalam demokrasi. Dalam film dokumenter Netflix The Social Dilemma yang dirilis tahun lalu, sutradara Jeff Orlowski meminta pemirsa untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan teknologi dan berpendapat bahwa media sosial justru mengikis demokrasi.
Sebagian besar suara dalam film dokumenter tersebut adalah mantan karyawan raksasa teknologi, yang memaparkan tentang cara mereka merancang algoritma dan model bisnis media sosial bekerja.
Tristan Harris, mantan ahli etika desain di Google dan tokoh utama dalam film dokumenter tersebut, mengatakan bahwa media sosial bukan lagi alat yang dapat digunakan untuk memperkuat demokrasi. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa media sosial memiliki tujuannya sendiri, yaitu bisnis pemilik platform, dan untuk mencapainya dengan menggunakan psikologi pengguna.
"Ia merayu Anda. Ia memanipulasi Anda. Ia menginginkan sesuatu dari Anda," kata Harris dalam film tersebut. ”Dan kita telah beralih dari lingkungan teknologi berbasis alat ke lingkungan teknologi berbasis kecanduan dan manipulasi.”
Baca juga: Anak dan Media Sosial
Dominasi media sosial yang kuat juga telah melahirkan generasi baru yang banyak di antara mereka tidak mengenal dunia tanpa media ini. Hal ini kerap meningkatkan masalah kesehatan fisik, sosial, hingga mental di kalangan muda.
Media sosial memang sumber masalah. Namun, dia juga menjadi ruang literasi, diskusi, bahkan juga saluran kritik untuk mengkritik para pemimpin dan birokrat, yang kebanyakan tidak akan bergerak jika tidak viral.