Jusuf Kalla: Anggaran Pendidikan Harus Efektif, Menteri Harus Paham Pendidikan
Anggaran pendidikan dinilai masih jauh dari harapan. Programnya pun demikian.
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran pendidikan yang masih terbatas dinilai perlu digunakan seefektif mungkin. Tak hanya itu, menteri yang menggunakan anggaran dan membuat program pendidikan juga harus memahami pendidikan.
Hal itu di antaranya disampaikan oleh Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, atau yang kerap dipanggil JK, dalam diskusi bertema ”Menggugat Kebijakan Anggaran Pendidikan” di Jakarta, Sabtu (7/9/2024). JK pun menilai, anggaran pendidikan yang ada semestinya digunakan seefektif mungkin karena anggaran negara terbatas.
Baca juga: Menteri Nadiem Ajak Lanjutkan Merdeka Belajar
”Yang paling utama, yang harus dilakukan saat ini, adalah mengefektifkan anggaran yang ada, bukan menggugat anggaran. Jadi, apa pun kita gugat hari ini, Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) akan tetap saja ketawa-ketawa. Silakan saja gugat tetapi setidaknya gugatnya mau apa? Suruh pinjam lagi? Di mana pinjamnya lagi? Siapa yang bayar bunganya?” tutur JK.
Karena itu, menurut JK, selain melihat anggaran pendidikan, hal terpenting adalah mencermati penempatan personel yang akan menyiapkan program-program pendidikan. ”Justru yang pertama saya siapkan adalah CEO, dirutnya, setelah itu apa programnya, apa yang mau dicapai, lalu bicara anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai itu,” ujarnya.
Tanpa melihat siapa CEO-nya, kata JK, berapa pun anggaran yang diberikan pemerintah akan menjadi tidak berguna. JK pun berharap pemerintahan mendatang memilih betul menteri yang memahami pendidikan. ”Kalau tidak (dipilih orang yang mengerti pendidikan), mau sekian triliun (rupiah) dikasih, beginilah akan hancur pendidikan. Jadi bukan hanya anggaran diperbaiki, melainkan orang yang melaksanakan anggaran juga perlu diperbaiki,” katanya lagi.
Singgung Nadiem
JK juga mengkritik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. JK menyebut semua menteri pendidikan sejak Indonesia merdeka, dari Ki Hadjar Dewantara, Soemantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Juwono Sudarsono, Abdul Malik Fadjar, Muhadjir Effendy, Mohammad Nuh, dan Anies Baswedan semua berlatar belakang pendidikan.
”Terakhir ada Mas Nadiem yang tidak punya pengalaman pendidikan, tidak pernah datang ke daerah, dan jarang ke kantor. Bagaimana bisa,” ujarnya.
JK juga mengkritik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
Kebijakan pendidikan di Indonesia juga selalu berubah-ubah. Nama kementeriannya pun berubah-ubah mulai dari Kementerian Pengajaran, Kementerian Pendidikan Nasional, serta terakhir ini Kementerian pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Saat ini, Kemendikbudristek memiliki cakupan sangat luas.
Tak hanya itu, JK juga menyinggung kebiasaan yang tidak etis, seperti memotong anggaran. Jika kebiasaan seperti itu berlanjut, pendidikan tidak akan pernah membaik dan anggaran tidak akan pernah cukup. ”Anggaran jangan dipotong-potong di semua tempat, di DPR potong, sampai di daerah dipotong bahkan guru pun jadi ikut-ikutan motong. Hal seperti ini tidak baik,” katanya.
Ke depan, JK mengusulkan supaya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang maju dan mementingkan pendidikan seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Postur anggaran
Sejauh ini, menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti, postur anggaran pada 2024, alokasi untuk pendidikan Rp 665 triliun atau 20 persen dari belanja pemerintah yang senilai Rp 3.325 triliun. Dari alokasi Rp 665 triliun itu, alokasi Kemendikbudristek sekitar 15 persen, yakni Rp 98,99 triliun; alokasi Kementerian Agama sekitar 9 persen, yakni Rp 62 triliun; transfer ke daerah untuk gaji guru dan tunjangan biaya operasional satuan pendidikan serta renovasi Rp 346 triliun.
Baca juga: Pastikan Pemanfaatan Anggaran Pendidikan, Bukan Mengubah Besarannya
Selain itu, alokasi untuk kementerian/lembaga lain Rp 32 triliun, anggaran pendidikan di non-kementerian/lembaga Rp 47,3 triliun, serta alokasi lainnya untuk dana abadi pendidikan, dana abadi penelitian, dana abadi kebudayaan, dan dana abadi perguruan tinggi.
”Kalau dibandingkan terhadap PDB, (alokasi anggaran pendidikan itu) 2,9 persen saja dari PDB,” ujar Suharti.
Untuk 2025, alokasi anggaran pendidikan Rp 722,6 triliun dari belanja pemerintah Rp 3.613 triliun. Dari alokasi Rp 722,6 triliun itu, alokasi Kemendikbudristek Rp 83,2 triliun, Kemenag Rp 65,1 triliun, transfer ke daerah Rp 346,7 triliun, belanja pemerintah pusat untuk belanja kementerian/lembaga lain Rp 147,6 triliun, dana abadi Rp 25 triliun, pembiayaan pendidikan Rp 55 triliun.
Semestinya, menurut Suharti, pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen itu di luar biaya gaji guru dan kedinasan. Namun, kewenangan menetapkan alokasi anggaran pendidikan bukan di Kemendikbudristek.
Semestinya, pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen itu di luar biaya gaji guru dan kedinasan. (Suharti)
Belum maksimal
Masalahnya, dengan anggaran terbatas ini, capaian program pendidikan pun diakui belum maksimal. Anak usia 7-12 tahun, 0,9 persen yang tidak sekolah, sementara di anak usia 13-15 tahun angkanya masih 4 persen.
Lebih parah lagi, hanya 46,34 persen anak usia 16 tahun yang masuk pendidikan menengah seperti SMA/SMK. ”Di sebagian tempat belum ada sekolahnya dan pemerintah belum bisa menyediakan layanan itu secara penuh,” kata Suharti.
Walakin, penilaian kompetensi literasi secara nasional naik dari 52 persen siswa yang mencapai batas minimal pada 2021 menjadi 68,1 persen pada 2023. Kemampuan numerasi siswa juga naik dari 32 persen menjadi 62 persen.
”Namun, angka tersebut masih jauh dari harapan. Masih sepertiga anak-anak kita belum mencapai kemampuan minimum untuk numerasi dan masih banyak lagi isu yang menjadi tantangan di pendidikan,” tutur Suharti.
Salah satunya adalah baru 31 persen warga yang bisa menikmati jenjang pendidikan tinggi. Hal ini pun, menurut Suharti, masih ditantang dengan kualitas perguruan tinggi di Indonesia yang masih jauh dari harapan.
Baca juga: Utak-atik Anggaran Pendidikan demi Ruang Manuver Pemerintahan Baru
Penyimpangan substantif
Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf mengingatkan, perlunya kebijakan anggaran pendidikan 20 persen. Sebab, kini, alokasi anggaran pendidikan dihitung dari pendapatan negara. Karena itu, akan hilang Rp 100 triliun-Rp 130 triliun anggaran pendidikan yang semestinya bisa digunakan untuk beasiswa dan bantuan operasional sekolah.
Temuan sementara dari Komisi X DPR RI, menurut Dede, terjadi penyimpangan substantif dari definisi anggaran pendidikan di UU APBN saat ini. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kata Dede, yang ditugaskan sebagai Chief Operating Officer adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, katanya, saat ini, rata-rata anggaran pendidikan disebar di 19 kementerian/lembaga, bahkan saat ini sudah di 22 kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Sosial. Karena itu, penggunaan anggaran pendidikan menjadi tak jelas.
Saat ini, rata-rata anggaran pendidikan disebar di 19 kementerian/lembaga, bahkan saat ini sudah di 22 kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Sosial.
Selain itu, kata Dede, kementerian/lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan semestinya tidak dibiayai dari anggaran pendidikan. Selain melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional, hal ini berimbas pada tren alokasi anggaran pendidikan pada kementerian pengampu utama terus menurun.
”Temuan lain, ada ketidaktepatan dan ketimpangan penggunaan anggaran fungsi pendidikan pada belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah dan dana desa. Sebanyak Rp 530 triliun yang turun ke daerah apa ada auditnya? Ternyata enggak ada,” tuturnya dalam diskusi yang sama.
Sementara itu, pembicara lain, Komaruddin Hidayat, menilai pemerintah perlu juga mengidentifikasi kearifan lokal alih-alih menyeragamkan kebijakan pendidikan. Pemerintah, kata Komaruddin, bukan pihak yang paling tahu segalanya. Justru kearifan lokal yang ada perlu dikembangkan.
Dia mencontohkan, ketika pemerintah membantu sekolah swasta, hasilnya lebih melompat jauh ketimbang ketika bantuan diberikan kepada sekolah negeri. Selain itu, setiap sekolah swasta, termasuk pesantren, memiliki nilai-nilai sendiri yang menguatkan karakter siswa-siswa lulusannya.