Wacana Mengubah Acuan Pemenuhan Anggaran Pendidikan Ditolak
Pemerintah mencoba mengubah ketentuan anggaran pendidikan 20 persen dalam konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR mewacanakan akan meninjau ulang kewajiban pemerintah menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen sesuai amanat konstitusi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun. Wacana ini menuai penolakan karena dapat berdampak pada kualitas layanan pendidikan yang saat ini masih bermasalah dan timpang.
Seperti diberitakan Kompas.id, pemerintah dan DPR mengangkat wacana untuk mengubah ketentuan alokasi wajib anggaran pendidikan. Dana pendidikan yang selama ini mengacu pada belanja negara ingin diubah menjadi mengacu pada pendapatan.
Implikasinya, nilai anggaran pendidikan dalam APBN berpotensi menjadi lebih kecil. Alasannya, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, penggunaan nilai belanja negara sebagai acuan menentukan 20 persen anggaran pendidikan selama ini berpotensi menyulitkan pengelolaan keuangan negara. Sebab, nilai belanja negara berpotensi menjadi fluktuatif atau naik-turun seiring dengan dinamika kondisi perekonomian.
Baca juga: Utak-atik Anggaran Pendidikan demi Ruang Manuver Pemerintahan Baru
Wacana itu tiba-tiba mencuat dalam rapat kerja pembahasan RAPBN 2025 antara pemerintah dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) di Jakarta, Rabu (4/9/2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta DPR mengubah patokan alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari belanja negara ke pendapatan negara. Langkah ini dinilai akan semakin menurunkan besaran belanja wajib (mandatory spending) APBN untuk layanan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.
Sebagai contoh, dalam RAPBN 2025, anggaran pendidikan telah dialokasikan sebesar Rp 722,6 triliun sesuai dengan aturan 20 persen dari total belanja Rp 3.613,06 triliun. Jika penetapannya kelak mengacu 20 persen pendapatan, alokasi anggaran pendidikan turun menjadi Rp 599,3 triliun.
Mandatory spending minimal 20 persen dalam UUD 1945 hanya akan jadi ilusi, hanya seakan-akan pro sektor pendidikan, tapi nyatanya hanya akal-akalan.
”Kami menolak segala upaya yang berdampak pada penurunan alokasi anggaran pendidikan dari APBN karena pasti berdampak pada kualitas layanan pendidikan di Tanah Air. Kita bisa bayangkan dengan skema saat ini saja masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena alasan biaya, apalagi jika dana pendidikan diturunkan,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Penolakan juga disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji. ”Wah, bahaya itu kalau kebijakan ini dilakukan karena akan semakin menggembosi anggaran pendidikan dan sangat merugikan sektor pendidikan. Jika wacana ini dipaksakan, mandatory spending minimal 20 persen dalam UUD 1945 hanya akan jadi ilusi, hanya seakan-akan pro sektor pendidikan, tapi nyatanya hanya akal-akalan,” paparnya.
Ubaid mengatakan, semestinya Menteri Keuangan mengevaluasi serapan anggaran pendidikan yang sekarang lalu diperbaiki. Misalnya, mengapa banyak yang salah sasaran, mengapa serapannya rendah, mengapa dampaknya masih buruk, bagaimana sisi efektif dan efisiennya, sampai apa yang perlu diperkuat lagi. ”Jangan malah anggaran pendidikan dikebiri,” katanya.
Harus jadi prioritas
Huda menegaskan, pendidikan harus menjadi prioritas dalam rencana pembangunan yang tecermin dalam belanja atau pengeluaran negara. ”Konstitusi kita dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib menyediakan layanan pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM kita, baik dalam hal karakter maupun skill pengetahuan. Jangan sampai hal ini kemudian diutak-atik untuk mengakomodasi kepentingan lain,” ujarnya.
Menurut Huda, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia menghadapi banyak kendala karena keterbatasan biaya. Mulai dari tingginya uang kuliah tunggal di pendidikan tinggi, tidak seimbangnya jumlah kursi SMA negeri dengan peminatnya, rendahnya kesejahteraan guru, hingga kurangnya sarana/prasarana sekolah, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T).
Baca juga: Anggaran Pendidikan 20 Persen Jangan Lagi Sekadar ”Akal-akalan”
”Belum lagi masalah tidak optimalnya kualitas lulusan sekolah kita yang tecermin pada rendahnya kemampuan literasi, sains, ataupun matematika jika dibandingkan dengan negara-negara lain,” kata Huda.
Huda mengakui, saat ini pengelolaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN belum optimal, terutama dalam proses distribusi, sehingga memengaruhi kualitas layanan pendidikan di Indonesia. Karena itu, upaya perbaikan seharusnya diarahkan pada pembenahan distribusi anggaran, bukan pada reformulasi skema besaran anggaran pendidikan.
”Jadi, kalau mau fair, perbaikannya bukan pada utak-atik besaran anggaran dari APBN. Perbaikan pada mekanisme distribusinya sehingga anggaran pendidikan benar-benar untuk fungsi pendidikan, bukan untuk kepentingan atau program lain yang disamarkan seolah-olah untuk fungsi pendidikan,” kata Huda.
Perbaikan penggunaan
Wacana untuk mengubah pemenuhan anggaran wajib pendidikan 20 persen muncul di tengah upaya Komisi X DPR mendorong pemerintah mengevaluasi anggaran pendidikan secara serius lewat pembentukan Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan. Namun, pembahasan di Panja tidak mengarah pada perubahan acuan penghitungan, tetapi bagaimana memanfaatkan anggaran pendidikan yang efektif.
Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014 M Nuh saat rapat dengar pendapat umum dengan Panja Pembiayaan Pendidikan DPR mengatakan, dua dekade terakhir menjadi masa krusial dan kritis karena ada modal demografi untuk mendukung kemajuan bangsa pada tahun 2045. ”Jadi, kita harus memastikan bagaimana pendidikan dilaksanakan secara layak untuk meningkatkan akses, kualitas, dan relevansi,” ujar Nuh.
Nuh mengapresiasi berbagai pihak yang memperjuangkan pengelolaan anggaran pendidikan yang semakin baik. ”Inilah masa pertobatan dalam mengelola dana pendidikan. Kalau memang dana pendidikan kurang, harus ikhlas memakai anggaran lain untuk pendidikan. Kekurangan dana pendidikan ini menyebabkan komplikasi, dari kenaikan uang kuliah tunggal hingga sekolah rusak yang tidak tertangani,” ujarnya.
Secara terpisah, mantan Menteri Bappenas dan mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, alokasi anggaran fungsi pendidikan belum sepenuhnya diawasi dan dievaluasi secara benar.
Baca juga: Indonesia Masih Hadapi Tantangan Kualitas Pendidikan
Bambang mengatakan, ada berbagai cara untuk membenahi anggaran pendidikan agar semakin efektif. Pengalokasian dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat dilabeli sehingga 20 persen digunakan untuk pendidikan. Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan menyediakan minimal 20 persen anggaran pendidikan dari APBD.
Ia menyarankan agar pemerintah mendatang bisa membentuk semacam komite anggaran pendidikan yang dikoordinasikan di bawah wakil presiden. Apabila komite ini berada di level kementerian koordinator, hal itu agak susah karena tidak bisa melibatkan semua kementerian/lembaga (K/L). Padahal, saat ini anggaran fungsi pendidikan tersebar di 27 K/L dan pemerintah daerah.