Perempuan Indonesia dan Kompromi antara Pekerjaan dan Pengasuhan Anak
Pengasuhan anak menjadi faktor yang memengaruhi partisipasi perempuan dalam dunia kerja.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Laporan ”Ekonomi Perawatan di Indonesia: Jalan Menuju Partisipasi Ekonomi dan Kesejahteraan Perempuan” yang diluncurkan Bank Dunia pada Selasa (3/9/2024) di Jakarta mengungkap sejumlah problematik yang dihadapi para perempuan saat berpartisipasi di dunia kerja. Salah satunya, harus memilih kompromi antara pekerjaan dan pengasuhan anak.
Keputusan perempuan untuk berkompromi antara pekerjaan dan pengasuhan anak sangat dipengaruhi oleh norma sosial, termasuk keyakinan yang tertanam mengenai peran perempuan, serta dukungan yang diterima perempuan dari keluarga dan masyarakat untuk bekerja di luar rumah.
Pada laporan Bank Dunia yang dipaparkan Emcet Oktay Tas, Senior Social Development Specialist Bank Dunia, digambarkan para ibu pekerja dibatasi oleh tingkat dukungan pengasuhan anak yang tersedia bagi mereka. Sekitar 21 persen ibu yang bekerja mengatakan bahwa mereka akan berganti pekerjaan jika memiliki akses ke pengaturan pengasuhan anak yang lebih baik.
Menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan pengasuhan anak dapat menjadi tantangan bagi ibu pekerja.
Para ibu menyatakan bahwa mereka lebih suka bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang (rata-rata 41,5 jam per minggu) dan berharap memperoleh penghasilan yang lebih tinggi (rata-rata Rp 3.180.949). Angka tersebut hampir dua kali lipat dari pendapatan rata-rata aktual di antara ibu pekerja (Rp 1.601.985).
Namun, sebagian besar memilih akan tetap bekerja di sektor jasa bernilai tambah rendah. Sebanyak 30 persen lebih suka bekerja di sektor perdagangan grosir dan eceran (mencakup restoran dan hotel) serta 25 persen akan memilih pekerjaan di bidang jasa kemasyarakatan, sosial, dan pribadi. Sekitar 22 persen akan bekerja di bidang manufaktur.
Menariknya, dari para ibu yang melaporkan bahwa mereka tidak akan berganti pekerjaan, sebanyak 60 persen mengatakan alasannya adalah memiliki anak dan 39 persen mengatakan mereka dibatasi oleh tanggung jawab keluarga lainnya.
Bagi para ibu kelompok tersebut, memiliki anak dan keluarga yang harus diurus masih menjadi faktor penting. Namun, ketersediaan layanan penitipan anak tidak akan memengaruhi mereka untuk berpindah pekerjaan.
Di sisi lain, laporan Bank Dunia menyebutkan, para ibu yang pernah bekerja untuk mendapatkan bayaran dan terus bekerja setelah memiliki anak menghadapi gangguan rutin di tempat kerja.
Maka, menyeimbangkan tanggung jawab pekerjaan dan pengasuhan anak dapat menjadi tantangan bagi ibu pekerja, bahkan bagi keluarga dengan akses ke pengasuhan anak. Misalnya, di saat anak-anak sakit atau memerlukan pengawasan ketat untuk periode tertentu.
Dari survei pengasuh rumah tangga, Bank Dunia menemukan banyak ibu pekerja yang pekerjaannya terganggu karena persoalan pengasuhan anak. Mereka mayoritas memberi tahu atasannya tidak dapat masuk kerja ketika menghadapi masalah tersebut.
Ada yang harus meninggalkan kantor lebih awal, tiba di kantor terlambat, dan mengurangi jam kerja mereka. Bahkan, sekitar 37 persen ibu yang bekerja membawa anak-anak mereka ke tempat kerja jika memungkinkan. Banyak pula yang merasa terganggu atau tidak produktif saat bekerja dan harus berhenti dari pekerjaan mereka.
Dengan kata lain, baik di dunia kerja atau bukan, pengasuhan merupakan faktor utama yang memediasi pilihan pekerjaan para ibu. Hal ini karena sebagian besar ibu percaya bahwa pengasuhan anak harus menjadi tanggung jawab utama perempuan.
Hasil penelitian Bank Dunia juga menunjukkan bahwa secara umum ibu adalah pengasuh utama anak-anak di Indonesia. Ibu menghabiskan waktu rata-rata 13,7 jam per hari untuk mengasuh anak, dibandingkan dengan ayah yang hanya menghabiskan 3,8 jam.
Banyak faktor
Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengungkapkan, pilihan bekerja dan mengasuh anak ditentukan oleh berbagai hal.
Faktor budaya, agama, dan keluarga memengaruhi perempuan untuk memilih bekerja atau mengasuh anak. Selain itu kesiapan infrastruktur baik fisik, seperti transportasi, layanan day care, dan ruang laktasi; ataupun faktor nonfisik, seperti regulasi, pengaturan jam kerja, serta ekosistem kerja/usaha yang memberikan ruang yang aman dan nyaman untuk perempuan bekerja, juga turut memengaruhi.
”Hal yang diangkat dalam laporan tersebut berfokus pada penyediaan fasilitas untuk pengasuhan anak. Ini akan menjadi pendorong perempuan bekerja kalau mereka percaya untuk menitipkan anak di tempat pengasuhan anak,” tutur Woro, Jumat (6/9/2024).
Ketersediaan tempat pengasuhan anak akan membuka peluang kerja bagi perempuan. Yang penting, tempat pengasuhan anak harus mencakup semua anak dan terstandardisasi lembaganya dengan tenaga yang tersertifikasi sehingga orangtua merasa aman menitipkan anaknya.
Di samping itu, ada faktor lain yang memengaruhi pilihan apakah perempuan bekerja atau tidak, yaitu peran laki-laki atau suami dalam hal pengasuhan. Perlu ada pemahaman bersama bahwa kerja pengasuhan bukan hanya tugas perempuan, melainkan juga harus ada pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
”Jika ada hal ini, perempuan akan lebih aman dan nyaman untuk memilih bekerja,” ujar Woro.
Meski demikian, Woro mengingatkan soal penguatan koordinasi, terutama kebijakan dan regulasi, layanan, data, serta orkestrasi program. Begitu juga keterpaduan program ekonomi perawatan dengan program pengentasan warga dari kemiskinan.
Oleh karena itu, perlu ada subsidi pemerintah untuk membantu keluarga miskin dalam menitipkan anak. Misalnya, melalui Program Keluarga Harapan, di mana salah satu persyaratannya bisa diarahkan agar anak-anak mereka yang berusia usia sekolah dini dimasukkan ke pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan imbalan uang tunai.
”Jadi, berinvestasi pada anak-anak saat ini dan mendorong lebih banyak perempuan untuk memasuki dunia kerja sangatlah penting, dan hal ini akan menjadi lebih penting dalam 10 hingga 15 tahun ke depan,” kata Emcet.
Sebab, buktinya sangat jelas bahwa berinvestasi dalam pengasuhan anak berdampak baik untuk keluarga, anak-anak, dan perekonomian secara keseluruhan. Pengasuhan anak merupakan investasi yang tidak akan menimbulkan penyesalan. Itu adalah investasi untuk anak-anak Indonesia, investasi masa depan negara.