Iklan Politik di Media Sosial Memuat Ujaran Kebencian yang Menyasar Kelompok Rentan
Kelompok rentan menjadi target ujaran kebencian di medsos. Ini patut diantisipasi karena bisa memicu tindakan kekerasan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ujaran kebencian yang menyasar kelompok rentan banyak berseliweran di media sosial pada momen pemilu. Bahkan, sejumlah iklan politik di medsos juga memuat narasi kebencian. Hal ini tak cuma menjadi stigma, tetapi juga berpotensi memicu tindakan kekerasan terhadap kelompok tertentu.
Laporan SAFEnet berjudul ”Kebebasan atau Kebencian? Akuntabilitas Platform Media Sosial dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan di Pemilu 2024” memaparkan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial selama September 2023 hingga Februari 2024. Ujaran kebencian tersebut menargetkan kelompok rentan seperti perempuan; komunitas lesbian, gay, biseksual, transjender, interseksual, dan queer (LGBTIQ+); etnis Tionghoa; pengikut Syiah dan Ahmadiyah; masyarakat adat; kelompok disabilitas; dan Rohingya.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, riset itu juga respons terhadap situasi pada Pemilu 2019. Kala itu, banyak ujaran kebencian di medsos yang turut memicu polarisasi di tengah masyarakat.
Bahkan, medsos juga memfasilitasi iklan politik yang memuat ujaran kebencian. Menjelang Pilkada Serentak 2024, konten seperti itu perlu diantisipasi karena akan memperburuk polarisasi sosial dan politik serta mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang fundamental.
”Masih banyak iklan politik memuat ujaran kebencian yang menyasar kelompok rentan seperti LGBTIQ+,” ujarnya dalam diskusi daring Sawala Warganet: Media Sosial Jelang Pilkada, Sudahkah Bebas dari Kebencian Belum? Jumat (6/9/2024).
Penelitian itu menemukan iklan politik calon anggota legislatif di Kota Malang, Jawa Timur, yang mendiskreditkan kelompok LGBTIQ+. Narasi iklan itu juga memosisikan kelompok tersebut sebagai sumber masalah sosial. Caleg tersebut meminta dukungan agar terpilih menjadi anggota DPRD sehingga bisa merancang regulasi anti-LGBTIQ+.
”Sudah jelas-jelas ini mendukung kebijakan yang sangat diskriminatif. Hal seperti ini masih ditemukan di media sosial. Idealnya, jika mengacu pada kebijakan platform digital, iklan politik seperti itu semestinya tidak lolos,” ujarnya.
Bahkan, medsos juga memfasilitasi iklan politik yang memuat ujaran kebencian. Menjelang Pilkada Serentak 2024, konten seperti itu perlu diantisipasi karena akan memperburuk polarisasi sosial dan politik, serta mengancam nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang fundamental.
Menurut Nenden, terdapat celah berupa kurangnya kejelasan dalam definisi atau klasifikasi iklan politik dan materi sensitif di medsos. Hal ini memungkinkan konten yang melanggar kebijakan ujaran kebencian tetap muncul di platform.
”Padahal, dalam konteks iklan di koran atau di baliho yang bisa dilihat secara fisik sudah cukup jelas. Namun, iklan di media sosial, belum (jelas),” ujarnya.
Kurang efektif
Moderasi konten menjadi salah satu upaya menekan ujaran kebencian di medsos. Platform digital telah mempunyai pedoman kebijakan ujaran kebencian. Konten-konten yang melanggar bisa ditangguhkan atau di-take down.
”Sampai saat ini masih kurang efektif walaupun beberapa platform digital menyatakan sudah menggunakan algoritma atau AI (akal imitasi/kecerdasan buatan) untuk membantu proses moderasi konten. Namun, tools tersebut sering gagal mendeteksi konten ujaran kebencian,” jelasnya.
Nenden menambahkan, akuntabilitas platform sangat penting guna meminimalkan penyebaran konten ujaran kebencian. Bukan cuma berfokus pada konten yang ditangguhkan, tetapi juga tindakan yang lebih detail seperti jenis dan durasi penayangan konten.
”Padahal, aspek itu penting untuk menghitung dampak yang ditimbulkan. Sebab, berbeda antara konten kebencian yang ditangguhkan dalam waktu 10 menit dibandingkan yang sudah tersirkulasi selama satu bulan. Informasi itu sangat penting dalam konteks transparansi,” jelasnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menyebutkan, ujaran kebencian di medsos perlu mendapatkan perhatian serius agar tidak menjadi banal. Menurut dia, hal itu tak dapat merusak kualitas pemilu dan memojokkan kelompok tertentu sehingga akan mendegradasi kemanusiaan.
”Becermin dari pemilu kemarin, rasanya ujaran kebencian semakin sulit diintervensi. Kebijakan saat ini belum menjamin pencegahannya. Laporan (konten ujaran kebencian) sudah dilakukan, tapi tidak dijalankan (ditindak),” ujarnya.
Suraji dari Jaringan Gusdurian mengatakan, sejumlah konten ujaran kebencian di medsos tidak menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bahasa daerah. Hal ini sulit dideteksi oleh algoritma platform.
”Sekarang yang lebih penting tidak hanya memantau konten yang diproduksi, tetapi juga memantau percakapan di kolom komentar. Ini sering terlewatkan. Padahal, justru sentimen kebencian dan ajakan kekerasan dibangun di situ,” ujarnya.