Polusi Udara dan Kebisingan Lalu Lintas Pengaruhi Kesuburan
Polusi udara dan kebisingan lalu lintas memengaruhi kesuburan laki-laki dan perempuan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paparan jangka panjang terhadap polusi udara partikel halus PM 2,5 dikaitkan dengan meningkatnya risiko infertilitas pada pria. Sementara itu, kebisingan lalu lintas jalan dikaitkan dengan risiko infertilitas yang lebih tinggi pada perempuan.
Hasil studi yang telah ditinjau sejawat dan dipublikasikan di The British Medical Journal pada Rabu (4/9/2024) tersebut menjelaskan paparan jangka panjang polusi dari lalu lintas, baik kebisingan dan PM 2,5, memengaruhi risiko infertilitas yang tinggi pada laki-laki dan perempuan. Kajian ini dilatari tren penurunan kesuburan manusia.
Mette Sørensen dari Danish Cancer Institute, Denmark, menjadi penulis utama laporan penelitian ini. ”Kemandulan merupakan masalah kesehatan global yang serius yang memengaruhi satu dari tujuh pasangan yang berusaha untuk memiliki anak,” tulis Sørensen dan tim.
Kemandulan memengaruhi semua wilayah geografis di dunia dengan tingkat tertinggi terjadi di Asia Selatan dan Tengah, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, Afrika Utara, serta Eropa Tengah dan Timur. Kemandulan didefinisikan sebagai tidak adanya pembuahan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa pengaman.
Beberapa studi sebelumnya telah menemukan hubungan negatif antara polusi udara PM 2,5 dan kualitas sperma serta keberhasilan setelah perawatan kesuburan, tetapi hasil studi terkait kesuburan tidak konsisten. Sejauh ini tidak ada studi yang menyelidiki dampak kebisingan transportasi terhadap infertilitas pada laki-laki dan perempuan.
Untuk mengatasi ketidakpastian ini, para peneliti mulai menyelidiki apakah paparan jangka panjang terhadap kebisingan lalu lintas jalan dan partikel halus polusi udara PM 2,5 terkait dengan risiko infertilitas yang lebih tinggi pada laki-laki dan perempuan.
Studi ini diambil dari basis data 526.056 laki-laki dan 377.850 perempuan berusia 30-45 tahun yang memiliki kurang dari dua anak, hidup bersama atau menikah, dan yang pernah tinggal di Denmark antara tahun 2000 dan 2017. Basis data ini dipilih dengan menyertakan sebagian besar orang yang secara aktif berusaha untuk hamil.
Studi ini mengecualikan laki-laki dan perempuan yang telah steril untuk mencegah kehamilan. Antara tahun 1995 dan 2017, jumlah rata-rata polusi PM 2,5 dicatat di alamat setiap peserta dan diagnosis infertilitas dicatat dari daftar pasien nasional.
Para peneliti menemukan infertilitas didiagnosis pada 16.172 laki-laki dan 22.672 perempuan selama periode tindak lanjut 18 tahun (rata-rata lebih dari 4 tahun).
Perbedaan dampak
Setelah disesuaikan dengan beberapa faktor seperti pendapatan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan, paparan rata-rata PM 2,5 yang 2,9 µg/m3 lebih tinggi selama lima tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko infertilitas sebesar 24 persen pada laki-laki berusia 30-45 tahun. Paparan PM 2,5 tidak terkait dengan infertilitas pada perempuan.
Sementara paparan terhadap rata-rata tingkat kebisingan lalu lintas jalan yang 10,2 desibel lebih tinggi selama lima tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko infertilitas sebesar 14 persen di antara perempuan berusia di atas 35 tahun. Kebisingan tidak dikaitkan dengan infertilitas pada perempuan berusia 30–35 tahun.
Pada laki-laki, kebisingan lalu lintas jalan dikaitkan dengan sedikit peningkatan risiko infertilitas pada kelompok usia 37-45 tahun, tetapi tidak di antara mereka yang berusia 30-37 tahun.
Kemandulan merupakan masalah kesehatan global yang serius yang memengaruhi satu dari tujuh pasangan yang berusaha untuk memiliki anak.
Risiko infertilitas terkait kebisingan yang lebih tinggi pada perempuan dan infertilitas terkait PM 2,5 pada laki-laki konsisten terjadi pada orang yang tinggal di daerah perdesaan, pinggiran kota, dan perkotaan serta pada orang dengan status sosial ekonomi rendah, sedang, dan tinggi.
Berdasarkan data ini, para peneliti mengaitkan PM 2,5 dengan risiko infertilitas yang lebih tinggi pada laki-laki dan kebisingan lalu lintas jalan dengan risiko infertilitas yang lebih tinggi di perempuan berusia lebih dari 35 tahun dan mungkin di kalangan laki-laki berusia di atas 37 tahun.
Penelitian ini adalah studi observasional sehingga tidak dapat menetapkan penyebabnya. Para peneliti mengakui bahwa pasangan yang tidak berusaha untuk hamil mungkin telah disertakan. Selain itu, informasi faktor gaya hidup dan paparan terhadap kebisingan dan polusi udara di tempat kerja dan selama kegiatan rekreasi kurang.
Namun, studi ini melibatkan data kesehatan dan tempat tinggal yang andal yang menggunakan model yang divalidasi untuk menilai tingkat polusi dan kebisingan. Para peneliti dapat memperhitungkan berbagai faktor sosial dan ekonomi yang penting.
”Karena banyak negara Barat menghadapi penurunan angka kelahiran dan peningkatan usia ibu saat melahirkan anak pertama, pengetahuan tentang polutan lingkungan yang memengaruhi kesuburan menjadi sangat penting. Jika hasil kami dikonfirmasi dalam studi mendatang, hal itu menunjukkan bahwa penerapan politik mitigasi polusi udara dan kebisingan mungkin merupakan alat penting untuk meningkatkan angka kelahiran di Barat,” tulis Sørensen dan tim.
Polusi kebisingan
Dampak polusi udara PM 2,5 terhadap kesehatan manusia sebenarnya telah banyak diteliti. Namun, dampak kebisingan masih jarang diungkap. Temuan Sørensen ini melengkapi penelitian laporan yang menyoroti bahwa polusi suara atau kebisingan memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan jantung, sebagaimana dipresentasikan di Kongres European Society of Cardiology pada 27 Agustus 2024.
Studi para peneliti Universitas Burgundy, Perancis, melaporkan dampak paparan kebisingan lingkungan terhadap prognosis setelah serangan jantung (infark miokard) pertama. ”Dalam studi, kami menemukan hubungan yang kuat antara paparan kebisingan perkotaan, terutama pada malam hari, dan prognosis yang lebih buruk pada satu tahun setelah serangan jantung pertama,” jelas ahli jantung Marianne Zeller dari Universitas Burgundy.
Menurut Zeller, terdapat peningkatan risiko 25 persen untuk setiap peningkatan kebisingan sebesar 10 dB(A) pada malam hari, terlepas dari polusi udara, tingkat sosial ekonomi, dan faktor pengganggu lainnya.