Banyak penelitian menghubungkan antara kesetaraan jender dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·3 menit baca
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia Celeste Saulo meluncurkan laporan State of the Climate in the South-West Pacific 2023, Selasa (27/8/2024). Permukaan air laut di barat daya Samudra Pasifik naik sampai 15 sentimeter sejak 1993.
Laporan iklim di Pasifik Barat Daya 2023 memberi gambaran suram dan mengkhawatirkan. Kenaikan permukaan air laut di kawasan Samudra Pasifik terkonfirmasi 5-5 sentimeter sejak 1993. Suhu permukaan air laut meningkat tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata kenaikan global sejak 1980, sedangkan gelombang panas lautan meningkat dua kali serta berlangsung lebih lama dan kuat.
Samudra menampung lebih dari 90 persen kelebihan panas yang terperangkap gas-gas rumah. Keadaan itu membuat samudra mengalami perubahan yang tidak dapat kembali seperti keadaan semula untuk berabad-abad mendatang.
Salah satu dampak negatif yang terjadi adalah air laut menjadi masam, koral sebagai sumber keragaman kehidupan laut memutih sehingga menurunkan sumber pakan biota laut. Sepanjang 2023 terjadi 34 bencana hidrometeorologi, sebagian besar berupa badai dan banjir, menimpa 25 juta orang.
Naiknya permukaan air laut dirasakan juga di Indonesia yang merupakan bagian terbesar Benua Maritim. Benua Maritim adalah nama yang umum digunakan ahli meteorologi, klimatologi, dan oseanografi untuk menggambarkan kawasan antara Samudra Hindia dan Pasifik. Bagian terbesar adalah Kepulauan Indonesia, Semenanjung Malaya, Kepulauan Filipina, serta Papua Niugini dan pulau-pulau di sekitarnya.
Masyarakat pesisir
Peta yang dikeluarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia memperlihatkan permukaan air laut di sebagian besar wilayah barat Pasifik, termasuk di wilayah Indonesia, naik antara 10 cm dan 15 cm, hampir dua kali dari kecepatan peningkatan muka air laut global yang dihitung sejak 1993.
Masyarakat pesisir, termasuk di Indonesia, sudah merasakan semakin seringnya banjir air laut ke daratan.
Penelitian Haiyun Nisa (Universitas Syiah Kuala), Wenny Aidina (Ritz Konsultan Psikologi), dan Dian Fakhrunnisak (Universitas Gadjah Mada) terhadap 404 perempuan responden berusia 20-65 tahun di 20 dari 23 kecamatan di Aceh menyigi secara daring dampak perubahan iklim pada kesehatan mental. Hasil penelitian disampaikan dalam diskusi Forum Kajian Pembangunan 31 Juli 2024.
Perempuan lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental.
Secara umum perubahan iklim menyebabkan fenomena kecemasan lingkungan (eco anxiety). Kecemasan lingkungan akibat peristiwa bencana lingkungan ekstrem dan kenaikan suhu muka Bumi, menurut penelitian ini, berdampak pada kesehatan mental. Perempuan lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental. Salah satunya karena beban sosial sebagai penanggung jawab utama urusan rumah tangga.
Balgis Osman-Elasha dari Sudan dan penulis utama laporan penilaian keempat dampak iklim pada Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (PCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa menekankan, meskipun semua terkena dampak, perempuan mengalami masalah berbeda. Perempuan lebih rentan karena sebagian besar orang miskin adalah perempuan. Perempuan di mana-mana lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam keberlanjutannya akibat perubahan iklim.
Perbedaan dampak buruk perubahan iklim juga disebabkan oleh perbedaan peran, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan. Perempuan di seluruh dunia memiliki akses terbatas terhadap tanah, kredit pertanian, pengambilan keputusan, teknologi, pelatihan, dan penyuluhan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi mereka terhadap perubahan iklim.
Karena konstruksi sosial tersebut, perempuan tidak memiliki cukup kontrol untuk mengelola lingkungan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pendekatan jender
Walakin, ada beberapa kekecualian. Salah satunya dilakukan Aleta Ba’un atau Mama Aleta di Molo, Nusa Tenggara Timur. Mama Aleta bersama para perempuan setempat sejak 1996 menolak penambangan batu di Gunung Mutis karena kawasan hutan kaya sumber daya hayati itu merupakan hulu mata air sungai-sungai utama di Timor Barat. Perjuangan itu berhasil, tidak ada lagi tambang di sana.
Dalam diskusi Forum Kajian Pembangunan yang sama, Zulfa Sakhiya dari Universitas Negeri Semarang melihat ada harapan pada komunitas perempuan di akar rumput. Komunitas-komunitas perempuan akar rumput mengembangkan pengetahuan lokal yang luas, tetapi praktis dan memiliki jejaring sosial luas.
Beberapa contoh adalah kelompok-kelompok perempuan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang menanam pohon, memperbaiki hutan bakau, dan meningkatkan kapasitas perempuan beradaptasi dan melakukan mitigasi lingkungan; komunitas perempuan di Danau Poso yang menggunakan pengetahuan lokal untuk memelihara alam di sekitar; di Yogyakarta menggunakan kalender musim lokal untuk bertani (pranata mangsa); serta praktik pertanian berkelanjutan menggunakan benih lokal dan pupuk organik yang telah beradaptasi pada lingkungan setempat.
Secara global, banyak penelitian menghubungkan antara kesetaraan jender dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.
Zulfa mengusulkan untuk lebih banyak penelitian menggunakan perspektif feminis lingkungan dan analisis kritis mengenai struktur sosial masyarakat.
Peran pemerintah sangat penting untuk membangun hubungan dengan komunitas-komunitas di masyarakat memakai perspektif jender yang inklusif.