Status Kedaruratan Internasional untuk Mpox Bukan Berarti Pandemi
Skala penyebaran Mpox saat ini dinilai masih kecil, bahkan bila dibandingkan dengan wabah pada tahun 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan status kedaruratan internasional untuk Mpox, hal ini tidak berarti penyakit menular tersebut menyebabkan pandemi. Skala penyebaran penyakit menular ini dinilai masih kecil, bahkan bila dibandingkan dengan wabah pada tahun 2022.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali menetapkan wabah Mpox sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan global sejak pertengahan bulan ini.
”Kasus Mpox saat ini masih sangat minimal dibandingkan dengan tahun 2022. Tetapi, kenapa jadi PHEIC karena disertai dengan penemuan varian baru yang menyebar dengan lebih cepat dan belum diketahui secara jelas karakteristiknya,” kata Musthofa Kamal, National Professional Officer (NPO) WHO Indonesia, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (4/9/2024).
Sejauh ini (di Indonesia) masih belum ada kasus Clade 1b, tetapi potensi tidak terdeteksi tentu saja ada.
Menurut Musthofa, saat ini ada dua penyakit yang dideklarasikan sebagai PHEIC oleh WHO. Selain Mpox, polio juga termasuk sebagai PHEIC sejak 2014 dan belum dicabut statusnya hingga saat ini.
”Bahkan, Indonesia masuk KLB (kejadian luar biasa) polio,” katanya.
Status PHEIC Mpox ataupun polio ini berarti, penanganan penyakit ini memerlukan bantuan penanganan dari semua pihak meskipun tidak menyebar secara luas seperti pandemi Covid-19. ”Jadi, artinya kita bisa menyeimbangkan atensi yang kita berikan terhadap penyakit-penyakit yang ada di Indonesia, baik yang sudah ada maupun yang berpotensi importasi,” ucapnya.
Penularan varian baru Clade 1b Mpox dari orang ke orang ini telah muncul di bagian timur Republik Demokratik Kongo sejak September 2023. Sebelumnya, Mpox telah dilaporkan di Kongo selama lebih dari satu dekade, dan jumlah kasus yang dilaporkan setiap tahun terus meningkat selama periode tersebut.
Tahun lalu, kasus yang dilaporkan meningkat secara signifikan, dan jumlah kasus yang dilaporkan tahun ini telah melampaui total tahun lalu, dengan lebih dari 15.600 kasus dan 537 kematian. Kemunculan Clade 1b berada dibalik lonjakan kasus penyakit yang menyebar, terutama melalui jaringan seksual ini.
Baca juga: Gelombang Baru Mpox di Kongo Nyalakan Alarm Darurat Kesehatan Dunia
”Perkiraan terkini, fatality rate Mpox sebesar 0,7 persen di Kongo. Tetapi, data ini kemungkinan masih bisa berubah. Kasus berat, terutama yang punya komorbid,” katanya.
Musthofa menambahkan, ada laporan peningkatan kasus pada anak-anak. Namun, hal ini juga masih belum bisa dipastikan.
”Ada kemungkinan anak-anak lebih rentan karena belum punya imunitas, tetapi bisa juga karena faktor dan perilaku, biasanya kalau anak-anak sakit, maka akan dilaporkan dan diperiksa. Jadi, datanya masih bias. Untuk mengambil kesimpulan perlu bukti lebih banyak lagi,” katanya.
Menurut Musthofa, selain di Kongo, Clade 1b ini telah ditemukan di enam negara lain, yaitu di Burundi sebanyak 231 kasus, Rwanda 4 kasus, Uganda 4 kasus, Kenya 2 kasus, Swedia 1 kasus, dan Thailand 2 kasus. Sejauh ini tidak ada laporan kematian di luar Kongo akibat Clade 1b.
Musthofa menambahkan, hingga saat ini kasus Clade b1 di luar Afrika disebabkan oleh importasi. Artinya, kasus terjadi pada orang-orang yang memiliki riwayat perjalanan ke negara endemik, seperti Kongo dan Burundi.
Baca juga: Virus Mpox Varian Clade 1b Sudah Sampai di Thailand, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Untuk di Indonesia saat ini juga belum ada laporan kasus Clade 1b. Sekalipun demikian, potensi masuknya Clade 1b ke Indonesia tanpa terdeteksi bisa saja terjadi.
”Sejauh ini (di Indonesia) masih belum ada kasus Clade 1b, tetapi potensi tidak terdeteksi tentu saja ada, sama dengan negara lainnya, seperti Singapura dan Malaysia. Mereka juga ada potensi, tetapi sejauh ini belum ada kasus yang ditemukan di wilayah mereka juga,” kata Musthofa.
Upaya pencegahan
Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis BRIN Harimat Hendrawan mengatakan, pencegahan Mpox dapat dilakukan dengan pemberian vaksin cacar, penggunaan pelindung pribadi, dan menghindari kontak dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi. ”Prinsipnya kita harus kembali menegakkan disiplin protokol kesehatan untuk mencegah risiko penularan,” kata Hendrawan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pengobatan umumnya bersifat suportif, dengan fokus pada pengelolaan gejala dan pencegahan infeksi sekunder. Beberapa terapi antiviral mungkin digunakan dalam kasus-kasus yang parah atau berisiko tinggi.
Hendrawan menambahkan, hasil penilaian Risiko Bersama (PRB) atau Joint Risk Assesment (JRA) Mpox di Indonesia menunjukkan, hingga saat ini juga belum ditemukan kasus Mpox pada hewan. Namun, karena cukup banyak masyarakat yang hidup berdampingan dengan hewan peliharaan sehingga dikhawatirkan terdapat potensi penularan balik (spill back) dan pembentukan reservoir hewan baru.
Belum bisa dipastikan
Sejumlah laporan terbaru menunjukkan belum ada ada kesimpulan valid yang dapat dibuat saat ini mengenai apakah ada perbedaan klinis antara Clade 1b dan varian Mpox sebelumnya. Christian Hoffmann dari University Hospital Schleswig-Holstein, Jerman, di jurnal The Lancet baru-baru ini menyebutkan, meskipun Mpox tidak dapat disangkal merupakan ancaman serius dengan meningkatnya jumlah kasus di beberapa negara Afrika, kita harus berhati-hati tentang penggunaan pernyataan yang meningkat tentang tingkat keparahan atau pola penularan penyakit yang berbeda.
”Data epidemiologi yang lebih kuat diperlukan untuk menentukan perbedaan potensial antara Clade, khususnya juga tentang Clade 1b yang baru terdeteksi,” katanya.
Baca juga: Mpox Kembali Jadi Kedaruratan Kesehatan Global, Ketahui Gejala dan Penularannya
Jason Kindrachuk, ahli virus di University of Manitoba di Winnipeg, Kanada, dalam wawancara di Nature juga mengatakan, hingga saat ini belum bisa memastikan karakter Clade 1b yang beredar. ”Studi pada hewan menunjukkan bahwa Clade 1 (a dan b) lebih mematikan daripada Clade 2, yang telah beredar sebelumnya,” katanya.
Namun, Kindrachuk mengatakan bahwa sulit untuk berspekulasi tentang apa artinya hal itu bagi manusia saat ini. Meskipun tidak fatal, Mpox dapat memicu demam, nyeri, dan lesi kulit berisi cairan yang menyakitkan.