Kunjungan Paus Fransiskus dan Refleksi Merawat Akar Toleransi
Kunjungan Paus Fransiskus jadi momentum merefleksikan toleransi. Kerukunan digaungkan, tetapi intoleransi mendengung.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Kata toleransi seketika menggema di tengah kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik sedunia itu disambut hangat di negara dengan penduduk Muslim terbesar kedua di dunia. Hal ini menjadi momentum merefleksikan toleransi di Tanah Air.
Paus Fransiskus bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (4/9/2024). Dalam pidatonya, Paus menyinggung semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang mengungkapkan realitas beraneka sisi dari berbagai orang yang disatukan dengan teguh dalam satu bangsa.
Menurut Paus Fransiskus, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan sosial, dan berkat ilahi merupakan prinsip-prinsip hakiki yang bermaksud menginspirasi dan menuntun tatanan sosial. Prinsip-prinsip itu sesuai dengan moto kunjungannya ke Indonesia, yaitu iman, persaudaraan, dan bela rasa.
Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Istana Merdeka, Jakarta, komunitas lintas iman menyambut kunjungan Paus Fransiskus dengan menggelar Festival Toleransi 2024 di Galeri Nasional. Diskusi-diskusi bertema keberagaman digelar untuk lebih memahami perbedaan dalam rajutan kerukunan.
Artefak dan naskah kuno Nusantara yang memuat pesan toleransi juga dipamerkan dalam festival itu. Salah satunya adalah penggalan Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad ke-14.
Kitab ini mengisahkan perjalanan Pangeran Sutasoma yang meninggalkan kemewahan istana untuk mencari pencerahan spiritual. Ia menghadapi berbagai rintangan dan bertemu dengan sejumlah orang dari latar belakang berbeda yang membantunya mencapai tujuan spiritual itu.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang disampaikan Paus Fransiskus dalam pidatonya berasal dari kitab tersebut. Salah satu bait dalam kitab itu berbunyi, ”Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Artinya, berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua. Bait ini menekankan pentingnya toleransi dalam keberagaman.
Pameran tersebut juga menampilkan lontar Aji Pengeleakan dari abad ke-17. Aji Pengeleakan merupakan teks kuno dari Bali yang membahas ilmu kesaktian dan mantra-mantra. Kitab ini berakar dari ajaran Hindu Tantrayana. Pada masa Islam, kitab ini diadaptasi dalam keilmuan Islam.
Toleransi bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Toleransi harus terus dirawat dengan menggali titik temu di tengah perbedaan agama, suku, budaya, golongan, dan identitas sosial lainnya.
Tinggalan artefak dan naskah kuno menjadi bukti toleransi telah mengakar di bumi Nusantara sejak lama. Nilai-nilai toleransi terus bergulir dan mengkristal menjadi identitas bangsa Indonesia.
Pemikir kebangsaan Yudi Latif menuturkan, toleransi bagaikan mutiara terpendam di Indonesia. ”Dia harus kita angkat dan kita gosok. Jadi, toleransi bukan barang asing bagi bangsa Indonesia,” ujarnya.
Bhinneka Tunggal Ika menjadi kode pemersatu keberagaman khas Indonesia. Semboyan ini memberi pengakuan terhadap perbedaan sekaligus pada hakikat persamaan.
Menurut Yudi, masyarakat Indonesia terbentuk oleh interaksi dari berbagai bentuk keberagaman identitas. Hal tersebut turut dipengaruhi oleh faktor geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di persilangan antarbenua dan antarsamudra.
”Indonesia terletak di lautan terbuka yang melatih nenek moyang kita berlayar antarkawasan sehingga daya jelajahnya semakin jauh, sampai ke Afrika dan Pasifik. Hal ini membawa arus-arus Nusantara ke sana. Namun, juga sebaliknya, menarik arus-arus dari berbagai kawasan. Indonesia adalah tanah yang sudah diolah oleh berbagai pertemuan peradaban,” tuturnya.
Ujian toleransi
Akan tetapi, toleransi bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Toleransi harus terus dirawat dengan menggali titik temu di tengah perbedaan agama, suku, budaya, golongan, dan identitas sosial lainnya.
Toleransi di Indonesia terus menghadapi ujian. Tantangannya tidak hanya datang dari akar rumput, tetapi juga kebijakan pemerintah yang intoleran dan diskriminatif. Kelompok minoritas menjadi korban di banyak tempat. Contohnya, pada Juli lalu, masjid jemaat Ahmadiyah di Garut, Jawa Barat, disegel oleh sekelompok orang. Bahkan, penyegelan ini melibatkan unsur pemerintahan setempat.
Sementara pada Februari 2023, ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud, Lampung, dibubarkan oleh warga. Akibat tindakan tersebut, jemaat gereja terpaksa menghentikan ibadah yang sedang berlangsung. Pembubaran ini dipicu oleh persoalan perizinan gereja yang belum tuntas.
Diskriminasi terhadap penghayat Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jabar, juga terus terjadi. Pada 2020 lalu, pemerintah daerah setempat tidak mengakui permohonan Sunda Wiwitan sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Hal ini menjadi ironi mengingat komunitas lokal itu sudah ada sebelum negara Indonesia berdiri.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menyebutkan, kunjungan Paus Fransiskus akan berdampak positif bagi perluasan pemahaman toleransi dan harmoni antaragama di Indonesia. Penerimaan yang baik dari seluruh unsur di Indonesia akan menjadi laboratorium yang baik bagi forum-forum untuk memajukan toleransi di Tanah Air.
”Hal ini krusial dilakukan untuk menekan diskriminasi dan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia yang dalam satu dekade terakhir menunjukkan adanya stagnasi,” ujarnya, menegaskan.
Menurut Halili, terdapat dua lapisan masalah intoleransi di Indonesia, yaitu di tingkat negara dan masyarakat. Di tingkat negara, banyak peraturan yang intoleran dan diskriminatif, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Penegakan hukum terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan juga masih lemah.
Sejumlah masalah di tingkat masyarakat adalah rendahnya literasi lintas agama, meluasnya segregasi, dan menyempitnya ruang perjumpaan. Selain itu, konservatisme juga menguat. ”Kami mendorong semua pihak untuk menjadikan kunjungan Paus Fransiskus sebagai momentum meningkatkan kepemimpinan toleransi,” ucapnya.