Anggaran Pendidikan 20 Persen Jangan Lagi Sekadar ”Akal-akalan”
Pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN belum sepenuhnya efektif. Pembenahan serius perlu dilakukan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Indonesia bisa jadi merupakan bagian dari segelintir negara di dunia yang memasukkan amanat wajib dalam konstitusinya untuk menyediakan anggaran fungsi pendidikan sedikitnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pemerintah bisa dengan bangga mengklaim tiap tahun mampu memenuhi amanat wajib ini dengan jumlah anggaran pendidikan yang meningkat tiap tahun. Namun, wajah pendidikan Indonesia masih suram, akses pendidikan dasar belum tuntas, apalagi mutu pendidikan secara keseluruhan.
Dari keprihatinan itulah gugatan pada alokasi anggaran pendidikan yang besar. Namun, dampaknya belum seperti diharapkan terus bergulir. Para wakil rakyat di Komisi X DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan, dengan harapan dapat mendorong reformulasi kebijakan anggaran pendidikan Indonesia. Harapannya agar anggaran pendidikan dapat berdampak nyata menciptakan pendidikan yang terjangkau, berkeadilan, dan bermutu.
Ubaid Matraji yang tergabung di Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pendidikan di Jakarta, Rabu (4/9/2024), mengatakan anggaran pendidikan yang meningkat tiap tahun sebagai komitmen negara memenuhi amanat konstitusi. Namun, yang dirasakan masyarakat, pendidikan dasar yang mestinya wajib dibiayai dan ditanggung pemerintah, kenyataannya saat ini termasuk menjadi penyumbang inflasi terbesar.
Terjadi ketidakadilan pada anak-anak usia wajib sekolah yang tidak semuanya mendapat dukungan pembiayaan wajib belajar. Hal ini justru akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan kursi yang cukup di sekolah negeri.
Ketika pendidikan dasar yang diamanatkan menjadi tanggung jawab utama negara masih membebani masyarakat, tidak mengherankan jika pendidikan tinggi pun kian tak terjangkau. Berdasarkan Survei Sosioekonomi Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2023, baru 10,15 persen penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Padahal, Indonesia harus mampu menyiapkan sumber daya manusia unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Di acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR dengan mantan Menteri Bappenas dan mantan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Jumat (30/8/2024), terungkap pengalokasian anggaran fungsi pendidikan yang belum sepenuhnya diawasi dan dievaluasi secara benar untuk memastikan sesuai output atau outcome yang dituju.
Ditemukan sejumlah permasalahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi yang mesti dibenahi agar penyediaan anggaran pendidikan tidak sekadar asal memenuhi amanat konstitusi. Celah pemenuhan anggaran pendidikan untuk ”diakali” harus diminimalkan.
Bambang mengatakan dalam perencanaan anggaran pendidikan di tingkat pusat, ke depannya perlu memberikan kewenangan pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tidak hanya kepada Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. ”Mendikbud sebagai chief operating officer atau COO di bidang pendidikan diberikan wewenang,” ujarnya.
Dengan demikian, jika ada anggaran pendidikan di luar Kemendikbudristek, Mendikbudristek harus ikut terlibat. Selanjutnya, Kemendikbudristek dapat mengawasi dan mengetahui penggunaan serta memastikannya sinkron dengan kebijakan pendidikan.
Pembenahan
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, ada berbagai cara untuk membenahi anggaran pendidikan agar semakin efektif ke depannya. Pengalokasian dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat dilabeli sehingga 20 persen digunakan untuk pendidikan. Sambil juga dipastikan, pemerintah daerah menyediakan minimal 20 persen anggaran pendidikan dari APBD.
”Tapi, pejabat daerah protes dengan alasan DAU merupakan block grant. Ini perlu dicari jalan tengah untuk menjaga 20 persen DAU harus untuk pendidikan. Akhirnya, mutu pendidikan di daerah, termasuk kesejahteraan dan kualitas guru yang penting dalam pendidikan, jadi tidak prioritas,” ujar Bambang.
Ia menyarankan agar pemerintahan mendatang bisa membentuk semacam komite anggaran pendidikan yang dikoordinasikan di bawah Wakil Presiden. Di level, kementerian koordinator agak susah karena tidak bisa melibatkan semua kementerian/lembaga (K/L). Padahal, saat ini anggaran fungsi pendidikan tersebar di 27 K/L dan pemerintah daerah.
Pembenahan soal anggaran pendidikan juga mengarah untuk membenahi pembiayaan pada pendidikan kedinasan di bawah K/L di luar Kemendikbudristek dan Kementerian Agama. Sebab, sesuai peraturan, pendidikan kedinasan tidak masuk dalam anggaran 20 persen pendidikan. Namun, dalam implementasi pendidikan yang dikelola K/L lain, hingga saat ini belum berani secara serius dihapuskan karena tiap K/L merasa yakin pendidikan di bawah institusinya tetap penting.
Dukungan untuk menyetop pendidikan kedinasan di K/L yang program studinya dapat dilakukan di perguruan tinggi umum terus menguat dalam berbagai pertemuan dengan Panja Pembiayaan Pendidikan. Untuk itu, perlu dikaji dengan serius relevansi mengadakan pendidikan kedinasan dikaitkan dengan perkembangan PT umum saat ini dibandingkan saat PT K/L didirikan demi memenuhi kebutuhan SDM. Pendidikan kedinasan perlu diseleksi ketat, misalnya khusus untuk pendidikan calon polisi dan tentara yang memang perlu khusus diadakan negara.
Keberanian untuk membenahi pendidikan kedinasan diyakini jadi salah satu hal penting. Bambang mengatakan belajar dari Telkom University yang kini berkembang menjadi salah satu perguruan swasta ternama, awalnya dari STT Telkom yang dibiayai BUMN PT Telkom untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli atau teknisi yang saat itu masih terbatas disediakan PT umum. Ketika dikembangkan secara mandiri, nyatanya Telkom University dapat lebih berkembang secara institusi dan kualitas.
Gizi itu bagian kesehatan yang memang menunjang pendidikan.
Bambang menyampaikan masukan bagi Panja Pembiayaan Pendidikan untuk menekankan pada evaluasi proses perencanaan, penganggaran, dan belanja pendidikan di tingkat pusat dan daerah. Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya memastikan anggaran 20 persen terpenuhi, tapi realitas dan kualitas belanjanya juga harus benar. Hal lain yakni memastikan dalam peraturan perundangan, istilah belanja pendidikan atau fungsi pendidikan secara tegas dan lebih jelas supaya tidak multiinterprestasi atau seolah-olah dipaksakan.
”Dibuat standar belanja pendidikan yang tegas sehingga tidak ada celah bermanuver, menambah-nambahkan item,” kata Bamabng.
Bambang mencontohkan, program makan siang gratis atau makan bergizi gratis, dapat menimbulkan kebingungan apakah anggaran masuk pendidikan atau tidak. Karena diberikan di sekolah, bisa saja diklaim masuk pendidikan.
”Kalau saya bilang ini anggarannya di kesehatan karena terkait gizi. Sebab, gizi itu bagian kesehatan yang memang menunjang pendidikan,” ujarnya.
Siapkan rekomendasi
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan hingga saat ini terkesan anggaran fungsi pendidikan 20 persen hanya bagi-bagi ke K/L dan pemerintah daerah. Karena itu, Panja Pembiayaan Pendidikan hendak memberikan rekomendasi yang diharapkan berguna bagi pemerintahan ke depan bahwa reformulasi, anggaran pendidikan harus dilakukan. Hal ini diharapkan juga bisa menjadi acuan dalam rencana perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional yang terhenti.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan penting untuk meyakinkan pemerintah mendatang bahwa butuh koordinasi yang lebih kuat tentang perencanaan anggaran pendidikan di bawah wakil presiden supaya anggaran yang lintas K/L dan pemerintah daerah ini dikelola lebih baik. ”Kita berharap anggaran pendidikan 20 persen tidak diakal-akali demi UUD, tapi pada praktiknya anggaran tidak benar-benar untuk pendidikan,” kata Hetifah.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan pemerintah memang telah memenuhi mandat konstitusi perihal anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Tetapi, anggaran tersebut mayoritas dialokasikan untuk kebutuhan yang tidak punya relevansi dengan akses dan kualitas pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.
”Anggaran pendidikan belum diprioritaskan untuk menuntaskan kewajiban konstitusional yang seharusnya diutamakan negara,” kata Almas.
Menurut Almas, hal itu juga diperparah dengan masih maraknya korupsi sektor pendidikan yang membuat anggaran pendidikan semakin tidak efisien. Sepanjang 2015-2023, terdapat 424 kasus korupsi sektor pendidikan dengan potensi kerugian negara Rp 916,87 Miliar. Angka ini belum termasuk korupsi-korupsi yang tidak tersentuh penegakan hukum