Menumbuhkan Toleransi dengan Memperluas Interaksi yang Inklusif
Bhinneka Tunggal Ika jadi pemersatu keberagaman Indonesia. Ada pengakuan terhadap perbedaan sekaligus hakikat persamaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik sosial berbasis perbedaan identitas, seperti agama, suku, dan budaya, menjadi tantangan kerukunan di negara majemuk seperti Indonesia. Oleh sebab itu, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan sejak dini dengan memperluas jaringan interaksi yang inklusif.
Pemikir kebangsaan, Yudi Latif, mengatakan, perbedaan identitas merupakan fakta yang harus diterima masyarakat Indonesia. Namun, di tengah perbedaan itu, selalu ada titik temu untuk membangun komitmen bersama sebagai sebuah bangsa.
”Keragaman bisa melebur dalam komitmen bersama. Namun, di saat yang sama, komitmen bersama tidak melucuti fakta perbedaan kita. Itulah indahnya Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya dalam diskusi ”Pancasila sebagai Titik Temu” pada Festival Toleransi 2024 yang digelar Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Galeri Nasional, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Festival ini digelar dalam menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Selain berbagai diskusi dengan tema keberagaman, festival yang digelar selama 2-4 September itu juga menggelar pameran artefak kuno Nusantara yang memuat pesan-pesan toleransi.
Yudi menuturkan, semboyan Bhinneka Tunggal Ika ibarat kode pemersatu keberagaman khas Indonesia. Dalam semboyan itu, di satu sisi terdapat pengakuan terhadap perbedaan dan di sisi lain juga ada pengakuan pada hakikat persamaan.
Toleransi masyarakat Indonesia terbentuk dari interaksi berbagai bentuk keberagaman identitas. Sebab, selalu ada irisan antaridentitas yang menjadi titik temu di atas landasan perbedaan.
”Titik temu itu kita cari dengan memperluas jaring-jaring interaksi yang inklusif. Kita jangan hanya berinteraksi dengan satu agama atau satu suku saja. Kita harus berani melampaui batas-batas identitas untuk mengenal yang berbeda,” ucapnya.
Nilai-nilai toleransi juga mesti ditanamkan di lembaga pendidikan. Menurut Yudi, pendidikan yang terlalu menekankan perbedaan tidak kondusif dalam merajut persatuan. Hal itu justru semakin mempertebal perbedaan identitas-identitas tersebut.
Perbedaan identitas merupakan fakta yang harus diterima oleh masyarakat Indonesia. Namun, di tengah perbedaan itu, selalu ada titik temu untuk membangun komitmen bersama sebagai sebuah bangsa.
Meskipun demikian, menumbuhkan toleransi tak cukup hanya dengan menyebarkan narasi. Diperlukan praktik nyata sehingga generasi muda bisa belajar dengan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan.
Ia merekomendasikan, program-program pemuda lintas iman tak cuma menautkan pesan-pesan persatuan, tetapi juga penguatan ekonomi masyarakat di simpul-simpul kemiskinan. ”Kalau itu bisa dilakukan, satu abad Indonesia (pada 2045) betul-betul bisa menjadi masa keemasan, bukan kecemasan,” ujarnya.
Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Shinta Nuriyah Wahid, menyampaikan, perbedaan agama, suku, dan adat istiadat menjadi tantangan bangsa Indonesia dalam menjalin persaudaraan. Sebab, setiap kelompok identitas mempunyai kepentingan masing-masing.
”Untuk memecahkan masalah itu, harus dibangun secara hati-hati melalui pemikiran dan perasaan. Jangan sampai ada yang merasa ditinggalkan karena ini akan membuat kita tidak bisa sampai pada tujuan,” ucapnya.
Shinta menuturkan, sejak lebih dari 20 tahun lalu, ia melakukan sahur bersama dengan orang-orang dari agama, suku, dan budaya berbeda. Kegiatan ini berlangsung di sejumlah tempat, mulai dari halaman gereja, halaman kelenteng, hingga di tengah-tengah pasar.
Lewat kegiatan itu, masyarakat dari beragam identitas sosial bisa saling mengenal dan berinteraksi. ”Menghargai sesama manusia sama dengan menghargai penciptanya. Maka dari itu, mari saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi, saling menolong sesama anak manusia,” katanya.
Bhante Dhammasubho dari Sangha Theravada Indonesia menyebutkan, pembentukan karakter anak membutuhkan kerja sama guru dan orangtua. Sebab, orangtua merupakan guru bagi anak di rumah. Begitu pula guru sebagai orangtua bagi anak di sekolah.
”Kadang-kadang kedua otoritas ini tidak nyambung atau tidak bekerja sama. Padahal, di sanalah titik temu untuk melahirkan anak didik sesuai yang diharapkan,” ujarnya.
Sementara Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society Omi Komaria Nurcholish Madjid menyampaikan, diperlukan upaya bersama untuk mengatasi masalah ketidakadilan, ketimpangan sosial, kemiskinan, hingga tirani kekuasaan. ”Paus Fransiskus dan Cak Nur (Nurcholish Madjid) menjiwai spirit kemanusiaan yang sama bahwa agama-agama harus bersatu padu untuk mengatasi masalah bersama,” ucapnya.