Kenali Gejala Autoimun pada Anak, Diagnosis Dini Bisa Cegah Risiko Kecacatan dan Kematian
Autoimun dapat menyerang anak. Kewaspadaan dan diagnosis dini penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun kasus yang dilaporkan tidak sebanyak kasus pada usia dewasa, anak-anak juga bisa mengalami penyakit autoimun. Kondisi ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat.
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi, di Jakarta, Selasa (3/9/2024), mengatakan, kejadian penyakit autoimun dilaporkan semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk autoimun pada anak-anak. Autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melawan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, seperti virus dan bakteri, justru salah mengidentifikasi jaringan sehat sebagai ancaman dan menyerangnya.
”Mungkin cukup kompleks, tetapi autoimun ini terjadi karena ada mekanisme yang salah pada sistem kekebalan tubuh kita,” katanya.
Terdapat sejumlah faktor risiko penyakit autoimun, antara lain, faktor genetik; adanya interaksi gen dengan lingkungan, seperti polusi, penggunaan detergen, dan penggunaan pengawet pada makanan; jender dengan kasus autoimun yang lebih sering ditemukan pada perempuan; serta hormon seks seperti hormon estrogen yang dapat memicu terjadinya autoimun seperti lupus.
Selain itu, faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang dibuktikan dari hasil studi risiko autoimun lebih tinggi pada populasi yang miskin; diet akibat kekurangan vitamin D dan mikronutrien lain; paparan pestisida; paparan merkuri; serta adanya infeksi.
Endah menyampaikan, kewaspadaan akan autoimun perlu ditingkatkan karena penyakit autoimun bisa menyerang pada semua organ. Pada beberapa orang yang mengalami alopecia, autoimun yang terjadi bisa menyebabkan kebotakan. Pada kasus tertentu juga bisa mengenai organ tubuh dalam, seperti jantung, paru-paru, dan ginjal.
”Jadi, semua organ itu bisa kena, mulai dari rambut, kulit, juga termasuk organ dalam, baik itu otak, jantung, hati, dan semuanya, itu bisa kena. Dan, itu bisa terjadi di satu organ saja ataupun bisa terjadi di beberapa organ,” ucapnya.
Gejala autoimun
Endah menuturkan, gejala awal penyakit autoimun pada anak umumnya tidak spesifik. Gejala itu bisa berupa kelelahan, demam, dan nyeri sendi. Hal ini yang terkadang membuat orangtua terlambat membawa anak ke fasilitas kesehatan. Gejala yang muncul sering kali diidentifikasi sebagai gejala umum akibat kelelahan saat sekolah atau terlalu lelah karena beraktivitas.
Karena itu, kewaspadaan dan kecurigaan adanya autoimun perlu lebih ditingkatkan. Apabila muncul kecurigaan adanya autoimun, sebaiknya segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan bisa dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan fisik oleh dokter. Sejumlah tes laboratorium juga bisa dilakukan, seperti pemeriksaan antinuclear antibodies test (ANA), pemeriksaan kerusakan organ tubuh, dan pemeriksaan radiologi.
Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Dalam proses pengobatan pun diperlukan adanya dukungan psikososial. Anak-anak yang mengalami autoimun biasanya akan mengalami gangguan fisik karena nyeri dan kelemahan atau kelumpuhan.
Pada beberapa kasus juga ditemukan kondisi yang mudah lelah, sakit kepala, gangguan pada penampilan, gangguan belajar, serta timbulnya rasa bosan karena harus meminum obat dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang lama. Dukungan psikososial dan kualitas hidup amat dibutuhkan agar penanganan dan perawatan bisa berjalan optimal.
Jenis autoimun
Endah menyampaikan, setidaknya ada tiga jenis autoimun yang paling banyak ditemui pada usia anak. Jenis penyakit autoimun tersebut adalah Juvenile idiopathic arthritis, systemic lupus erythematosus, dan vaskulitis.
Jenis penyakit autoimun Juvenile idiopathic arthritis (JIA) bisa terjadi pada semua usia anak, tetapi rata-rata ditemukan pada anak usia 7 tahun. Gejala yang timbul bisa terjadi secara bertahap, bahkan menetap selama berbulan-bulan hingga tahunan. Penyakit autoimun ini menyebabkan peradangan pada membran di sendi.
Autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melawan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, seperti virus dan bakteri, justru salah mengidentifikasi jaringan sehat sebagai ancaman dan menyerangnya.
”Penyakit JIA ini menjadi penyebab radang sendi terbanyak pada anak dan menjadi penyebab kecacatan yang cukup banyak. Ini tidak mengancam jiwa, tetapi bisa menyebabkan anak pincang sehingga kemampuan berjalannya terganggu,” katanya.
Penyakit autoimun lain yang juga banyak ditemukan pada anak adalah systemic lupus erythematosus (SLE). Penyakit autoimun ini berpengaruh pada multisistem organ tubuh. Dari seluruh kasus SLE, sekitar 10 persen terjadi pada anak-anak.
Penyakit autoimun ini lebih banyak ditemukan pada perempuan dengan perbandingan 9 banding 1 dengan laki-laki. Biasanya, SLE muncul menjelang masa pubertas atau sekitar usia 9-11 tahun.
Penyakit ini bisa berdampak pada semua bagian tubuh, baik sendi, rambut, maupun organ dalam, seperti jantung. Itu sebabnya jenis autoimun ini juga sering disebut sebagai penyakit dengan seribu wajah.
”Saking seribu wajahnya bisa kena ke seluruh tubuh, bisa terjadi overdiagnosis dan underdiagnosis. Kita harus mendiagnosis lupus dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium dahulu baru pemeriksaan antibodi ANA. Pemeriksaan ANA dilakukan untuk mengonfirmasi adanya lupus bukan untuk screening (penapisan),” ucap Endah.
Selain itu, jenis penyakit autoimun yang juga sering ditemukan pada usia anak adalah vaskulitis. Penyakit autoimun ini menyebabkan peradangan pada pembuluh darah. Jenis vaskulitis yang banyak ditemukan pada anak adalah vasculitis HSP (Henoch Schonlein Purpura).
Penyakit autoimun ini biasanya ditandai dengan munculnya bercak merah yang sering ditemukan di bagian tungkai atau bawah kaki. Tanda lainnya, antara lain, bengkak pada pergelangan tangan dan lutut, sakit perut yang tidak khas, serta adanya leukositoklastik atau pengendapan immunoglobulin A (IgA).
”Meskipun autoimun ini penyakit yang cukup gampang dikenali, kadang-kadang urutannya yang tidak khas sehingga sering kali diagnosisnya terlambat,” tutur Endah.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Hikari Ambara Sjakti menyampaikan, informasi kelainan autoimun pada anak yang tepat bagi masyarakat sangat dibutuhkan. Karena itu, edukasi harus terus disampaikan sehingga masyarakat bisa mendapatkan pencerahan mengenai penyakit autoimun yang benar, terutama terkait penyakit autoimun pada anak.