Kaum Muda Serukan Pendidikan Perubahan Iklim untuk Beradaptasi
Kaum muda perlu bekal mengantisipasi perubahan iklim lewat pendidikan dan berkontribusi memberikan solusi.
Pendidikan perubahan iklim dibutuhkan kaum muda agar mampu beradaptasi. Desakan penyelenggaraan pendidikan iklim yang bersifat interdisipliner dan berorientasi pada tindakan untuk semua peserta didik kini bergulir digemakan anak-anak muda global.
Sebuah petisi mengenai perlunya pendidikan iklim yang akan dikirimkan ke pemerintah bergulir secara daring, Senin (2/9/2024). Petisi bertajuk ”Masa Depan adalah Milik Kita: Kaum Muda” itu digulirkan karena anak-anak muda berkeyakinan bahwa ketika seorang siswa mempelajari ilmu perubahan iklim, mereka juga harus belajar bagaimana menjadi bagian dari solusi.
Petisi tersebut digalang menjelang penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York (22-23 September) dan COP29 (11-22 November). Tujuannya agar pemerintah memprioritaskan tindakan demi masa depan bersama yang berkelanjutan dengan memperkuat pendidikan perubahan iklim. Sebab, pendidikan sering kali diabaikan dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca juga: Mengajak Dunia Pendidikan Sikapi Perubahan Iklim
Seruan kepada pemerintah melalui petisi itu, antara lain, dorongan untuk meningkatkan konten pendidikan ramah lingkungan. Pemerintah harus memasukkan pendidikan lingkungan hidup, keberlanjutan, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim ke dalam kurikulum di semua mata pelajaran di semua tingkatan pendidikan. Pemerintah juga perlu menerapkan pengajaran bagaimana beradaptasi dan bertindak menghadapi perubahan iklim.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kohesi karena pendidikan adalah bagian dari solusi perubahan iklim. Hentikan silo yang menganggap pendidikan sebagai hal yang terpisah dari kegiatan mitigasi iklim lainnya sehingga kita dapat bekerja sama untuk mencari solusi.
Stefania Giannini, Asisten Direktur Jenderal untuk Pendidikan UNESCO, mengatakan, perubahan iklim dan pendidikan saling berkaitan. Perubahan iklim mengganggu pendidikan, sementara pendidikan dapat membentuk potensi manusia untuk adaptasi atau mitigasi perubahan iklim dalam beberapa cara.
Dampak perubahan iklim sudah mengganggu sistem dan hasil pendidikan. Dampak langsungnya meliputi rusaknya infrastruktur pendidikan serta cedera dan korban jiwa di kalangan siswa, orangtua, dan staf sekolah. Perubahan iklim berdampak negatif terhadap pendidikan secara tidak langsung melalui perpindahan penduduk serta penghidupan dan kesehatan masyarakat.
Sebaliknya, pendidikan, baik formal, non-formal maupun informal, merupakan kunci dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tujuan pendidikan perubahan iklim seringkali mencakup peningkatan pengetahuan; peningkatan kesadaran; dan mengubah sikap, keyakinan, serta perilaku. Dalam hal mitigasi, sistem pendidikan juga dapat mendukung penelitian dan pengembangan yang berfokus pada iklim, mempercepat inovasi teknologi untuk solusi iklim, dan pengembangan kapasitas tenaga kerja melalui peningkatan keterampilan ramah lingkungan.
Sementara dalam hal adaptasi, pendidikan adalah kuncinya. Kurikulum yang dirancang dengan baik, pedagogi yang tepat, dan sumber daya pembelajaran dapat mempersiapkan masyarakat untuk mengambil keputusan yang kompleks dan adaptif, misalnya di bidang pertanian dan konstruksi.
Pendidikan dapat memberdayakan masyarakat rentan untuk beradaptasi dan memiliki ketahanan dalam menghadapi ancaman iklim, misalnya melalui pemberdayaan anak perempuan dan perempuan. Pendidikan juga berpotensi memberdayakan generasi muda dan orang dewasa sebagai agen perubahan iklim. Perubahan ini untuk memobilisasi komunitas mereka dan mengubah norma-norma sosial.
Selama 20 tahun terakhir, sekolah ditutup pada setidaknya 75 persen kejadian cuaca ekstrem berdampak pada 5 juta orang atau lebih. Bencana alam yang semakin sering terjadi, termasuk banjir dan angin topan, telah menyebabkan kematian siswa dan guru serta merusak dan menghancurkan sekolah.
Stefania mengatakan, sebuah gerakan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menanggapi krisis iklim sedang berlangsung, yakni menghijaukan masyarakat dan pendidikan. Sistem pendidikan dituntut untuk menanamkan kompetensi dan pengetahuan yang dibutuhkan siswa agar membentuk ketahanan guna memitigasi dampak krisis iklim dan memastikan keadilan iklim.
Baca juga: Mengajak Dunia Pendidikan Sikapi Perubahan Iklim
Stefania juga memaparkan, studi UNESCO tahun 2021 mengungkap, kurang dari separuh negara yang memasukkan perubahan iklim ke dalam kerangka kurikulum nasional mereka. Dalam riset lain, kurang dari 30 persen guru mengatakan, mereka merasa siap untuk mengajar tentang perubahan iklim. Selain itu, 70 persen pemuda yang disurvei pada tahun 2022 menyatakan bahwa mereka tidak dapat menjelaskan perubahan iklim.
”Berdasarkan kenyataan yang mengkhawatirkan ini, UNESCO memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut bagaimana perubahan iklim dan keberlanjutan ditangani di sekolah menengah melalui analisis kurikulum mata pelajaran sains dan ilmu sosial. Studi ini juga melihat bagaimana guru merasakan adanya tuntutan untuk mengatasi perubahan iklim di kelas mereka,” ujar Stefania.
Penelitian pun dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan iklim dimasukkan ke dalam kurikulum yang relevan. Hasilnya masih sangat terbatas dan terfragmentasi serta pembelajaran kognitif jauh lebih umum dibandingkan dengan pembelajaran yang berorientasi pada tindakan.
Namun, ada tanda-tanda harapan. Sebagian besar guru yang disurvei mengakui bahwa perubahan iklim termasuk dalam kurikulum sains dan ilmu sosial di sekolah mereka. ”Kita perlu menjadikan pendidikan sebagai solusi jangka panjang terhadap krisis iklim. Telah dikembangkan panduan baru untuk kurikulum ramah lingkungan dan melibatkan siswa melalui kepala (pengetahuan), hati (nilai), dan tangan (tindakan),” kata Stefania.
Baca juga: Membangun Kesadaran Menghadapi Dampak Perubahan Iklim
Publikasi UNESCO bertajuk ”Climate Change and Sustainability in Science and Social Science Secondary School Curricula” mengungkap, ada kebutuhan mendesak untuk mengubah cara pengajaran perubahan iklim dan keberlanjutan di kelas dan di sekolah. Peserta didik harus memahami dampak perubahan iklim, bagaimana perubahan iklim berhubungan dengan konteks mereka dan tindakan apa yang dapat dilakukan dan berkontribusi untuk membuat masyarakat lebih berketahanan iklim.
Kurikulum sains dan ilmu sosial dapat ditingkatkan untuk membantu membekali siswa agar berkontribusi terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk membangun masyarakat yang cerdas, berketahanan, dan berkelanjutan terhadap iklim.
Kurikulum merdeka
Krisis iklim yang merupakan masalah global perlu dihadapi bersama. Generasi muda yang paling merasakan dampaknya di masa depan harus dipersiapkan agar mampu merespons dan berkolaborasi menciptakan solusi terhadap tantangan ini.
Guna menjawab kekhawatiran tersebut, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyiapkan panduan yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka. Panduan ini diharapkan bisa membantu satuan pendidikan dan pemerintah daerah dalam menerapkan pendidikan terkait kesadaran perubahan iklim dan langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan oleh semua warga satuan pendidikan.
Kepala BSKAP Kemendikbudristek Anindito Aditomo menegaskan pentingnya pemahaman dan kesadaran sejak dini terhadap isu perubahan iklim. ”Dengan kesadaran dan pemahaman yang ditanamkan sejak dini, anak-anak bisa mempersiapkan diri dan berperan aktif dalam merespons perubahan iklim,” katanya.
Menurut Anindito, pendidikan perubahan iklim dalam Kurikulum Merdeka menggunakan prinsip dan pendekatan relevan, afektif, merujuk pengetahuan, aksi nyata, dan holistik.
”Panduan Pendidikan Perubahan Iklim ini merupakan alat bantu dalam implementasi. Sekolah dapat menerapkan pendidikan perubahan iklim secara fleksibel dan menggunakan sumber daya yang ada. Kami berharap, melalui panduan ini, berbagai praktik baik yang sudah berjalan bisa menjadi inspirasi yang lebih masif lagi,” tutur Anindito.
Dengan kesadaran dan pemahaman yang ditanamkan sejak dini, anak-anak bisa mempersiapkan diri dan berperan aktif dalam merespons perubahan iklim.
Suyanti Supardi, Pendiri dan Kepala Sekolah Alam Pacitan, menyampaikan, ia bersama warga sekolah telah menyusun 18 program pembelajaran terkait lingkungan yang dikembangkan dan dikemas secara menyenangkan. ”Program pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat pendidikan perubahan menjadi menarik dan diharapkan mampu menumbuhkan minat anak murid,” ujarnya.
Kepedulian pada masalah lingkungan di kalangan anak muda juga dapat dibangun dari kepedulian dunia usaha. Beberapa waktu lalu, 200 siswa mengikuti kegiatan Student Goes to Nature yang merupakan hasil kerja sama Bakti BCA dan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di kawasan Konservasi Orang Utan BOSF di Samboja Lestari, Kalimantan Timur. Dalam kegiatan ini, para siswa mendapat edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan bekal pengetahuan lain untuk menunjang masa depan mereka.
Program ini mengajak siswa mempelajari tentang pelestarian hutan dan peran penting orangutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Para siswa juga menanam pohon dan mendapatkan edukasi mengenai beruang madu.
”Kami percaya bahwa kesadaran akan lingkungan harus dipupuk sejak dini. Kami bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para siswa sebagai generasi masa depan bangsa untuk menghargai, melindungi, dan melestarikan lingkungan dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami,” ujar EVP Corporate Communications & Social Responsibility BCA Hera F Haryn.