Kolaborasi Seniman Lintas Negara Menghasilkan Kreasi Kebudayaan Baru
Para pelaku budaya lintas negara menampilkan kreasi baru dari tradisi Nusantara setelah belajar selama sebulan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
Setelah satu bulan menjalani residensi mendalami kebudayaan yang tak pernah dikenal sebelumnya, para pelaku budaya dari dalam dan luar negeri berhasil mementaskan karya pengembangan kebudayaan. Karya mereka membuktikan tradisi kesenian perlu dikembangkan agar relevan dengan zaman.
Di halaman depan Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, yang bersejarah, para pelaku budaya dari dalam dan luar negeri ini berkolaborasi dalam pertunjukan pada Sabtu (31/8/2024) malam.
Para pelaku budaya ini terdiri dari seniman lintas negara, 18 orang dari luar negeri, 30 peserta nasional, dan 23 peserta lokal di masing-masing lokasi residensi: Riau, Yogyakarta, dan Cirebon.
Adapun para pelaku budaya internasional yang ikut pada program ini berasal dari Australia, Meksiko, Italia, India, Kanada, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Belanda, Malaysia, Kolombia, India, Ekuador, Thailand, Yunani, Mesir, Filipina, Jordania, dan Polandia.
Ini bermanfaat bagi peningkatan kapasitas pelaku budaya dalam pemajuan kebudayaan Indonesia.
Dari kelompok residensi di Riau saja bisa menghasilkan empat karya kreasi baru dari tradisi lisan Melayu Riau. Hal ini menjadi peluang bagi pelaku budaya lokal untuk mengembangkan kompetensi dirinya dalam berkesenian.
Membangun jejaring
”Ini adalah ruang bagi pelaku budaya meningkatkan kemampuan lewat jejaring dengan teman-teman dari luar negeri. Mudah-mudahan mereka bisa berkolaborasi untuk tampil di luar negeri,” kata Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan.
Grup pertama dari kelompok residensi Riau menampilkan UTOPIALLITY Vol. 1 yang merupakan karya eksperimental yang merespons tradisi lisan dari cerita rakyat Sibongsu dan Sicuriang yang berasal dari Rokan Hulu, Riau.
Lagu ini merepresentasikan kisah cinta sejoli yang penuh magis dan tragedi melalui komposisi musik yang menggabungkan unsur-unsur tradisi lisan setempat, seperti Koba, Baandung, Badandong, dan Malalak.
Grup dua menampilkan The Sansuduong, yang disajikan secara ansambel dalam format electro-acoustic. Penggunaan soundscape dalam komposisi menekankan suasana beragam atas penghayatan alam di Kampar, Riau. Basis skala karya ini dipengaruhi tradisi lisan Baghandu, Melalak, dan Badondong.
Kemudian, grup ketiga menampilkan Metaphysical Riverside sebagai interpretasi terhadap keberagaman sastra lisan di Kampar sebagai bagian dari spiritualitas masyarakatnya. Hal ini terlampir pada sastra kuno Gurindam 12 pada Rangkap 7.
Sementara kelompok terakhir menampilkan BONSU, sebagai rekonstruksi metode pengaryaan dalam konteks perlindungan sastra atau upaya menjaga, melestarikan, serta mempertahankan dan mengembangkan sastra. Tujuannya, agar tetap digunakan warga pemilik sastra sebagai warisan budaya.
”Saya belajar banyak dengan berbagai kekayaan instrumen di Riau ini setelah bertemu dengan para maestronya walau sedikit terkendala bahasa, tetapi ini akan memperkaya komposisi saya,” kata Emanuele, komposer dari Italia.
Sementara itu, kelompok dari Losari membawa karya kolaborasi interdisiplin seni dengan judul Tarian Agung dari Losari. Karya ini merupakan museum hidup yang diungkapkan melalui tarian, video, dan buku. Tarian yang ditampilkan adalah Tari Klana Bandopati dan Tari Gonjing. Mereka juga menulis buku data dan infografis tentang budaya Losari melalui Tari Topeng Losari.
Terakhir, kelompok dari Yogyakarta menampilkan karya kolaborasi sebagai pengembangan olahraga tradisional jemparingan melalui karya teatrikal, yakni Manah Jemparingan. Selain itu, residensi tersebut menggagas sebuah pameran yang mengangkat tema ”Jemparingan, Pameran Olahraga dan Olah Rasa”.
Dengan pameran ini diharapkan masyarakat dapat mengenal lebih jauh jemparingan, yang bukan hanya sebagai olahraga tradisional, melainkan juga olah rasa melalui kepekaan-kepekaan yang bersumber dari indra manusia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menegaskan, hasil program bertujuan agar para peserta bekerja sama untuk menghasilkan karya baru.
Kolaborasi tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan kapasitas peserta dalam pemajuan kebudayaan Indonesia dan membangun jejaring pelaku budaya antara Indonesia dan dunia internasional.
”Oleh karena itu, keberlangsungan program ini perlu didukung, mengingat manfaat jangka panjangnya bagi pelaku budaya Indonesia, yakni memperluas dan memperkuat jejaring pelaku budaya di kancah internasional,” ujar Hilmar.