Revisi UU Konservasi Belum Lindungi Masyarakat Adat
UU Konservasi punya sejumlah celah yang akan menjadi persoalan dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Masyarakat Adat Nusantara berpendapat revisi Undang-Undang Konservasi yang baru disahkan 9 Juli 2024 belum bisa melindungi hak-hak masyarakat adat. Kriminalisasi serta penggusuran wilayah kelola masyarakat adat masih rentan dan dapat terjadi lagi di masa mendatang.
Hal tersebut, di antaranya, terkait areal preservasi. Atas nama perluasan preservasi, setiap pemegang hak harus melepaskan hak atas tanahnya apabila tidak bersedia melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE).
Areal preservasi adalah areal di luar kawasan suaka alam (KSA), kawasan perlindungan alam (KPA), dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKPWP2K) untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan maupun kelangsungan hidup sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
”Pasal 9 adalah ancaman nyata yang sewaktu-waktu dapat menggusur masyarakat adat dari wilayah adatnya, bahkan memosisikan masyarakat adat sebagai kelompok yang rentan dihadapkan dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi atas nama konservasi,” ucap Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Minggu (1/9/2024) di Jakarta.
AMAN dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, ada 1,6 juta hektar (ha) wilayah adat yang tumpang tindih dengan wilayah konservasi. Sementara menurut laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), terdapat tumpang tindih peta partisipatif seluas 4,5 juta ha di kawasan konservasi. Dari luasan ini, 2,9 juta ha di antaranya berada di dalam taman nasional serta 6.200 desa berada di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Konflik
Tumpang tindih ini merupakan dampak pengaturan konservasi melalui UU No 5 Tahun 1990 (UU Konservasi lama) yang memunculkan dan memperluas kawasan konservasi yang tumpang susun dengan wilayah adat. Hal ini menimbulkan konflik antara wilayah konservasi dan wilayah adat. Berdasarkan data Perkumpulan HuMa terkini, dari 86 konflik kehutanan, sebanyak 27 konflik berada di taman nasional yang 13 kasus di antaranya merupakan kasus kriminalisasi dan kekerasan.
Arman juga memberi catatan bahwa UU KSDAHE yang baru tidak mengatur hak masyarakat adat atas Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) saat penetapan KSA, KPA, areal preservasi, serta KKPW2K. Hal ini, menurut dia, menunjukkan watak hukum represif UU KSDAHE dalam penyelenggaraan konservasi di Indonesia.
”Apalagi ketentuan Pasal 9 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak mau melakukan kegiatan konservasi ’ala negara’ harus melepaskan hak atas tanahnya dan akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah,” ucapnya.
Hal ini akan berpotensi memperluas perampasan tanah dan penggusuran masyarakat adat dari wilayah adatnya. Selain itu, ketentuan dalam UU Cipta Kerja menyatakan bahwa masyarakat adat hanya dapat dianggap sebagai pihak yang memiliki hak atas tanah dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum jika mereka telah mendapatkan pengakuan melalui peraturan hukum daerah.
Padahal, selama ini pengakuan masyarakat adat dan wilayah kelolanya oleh pemerintah daerah masih dihadapkan pada sejumlah kendala. Hal ini membuat pengakuan akan keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah berjalan lambat.
Muhammad Arman menambahkan, kehadiran UU No 32/2024 tentang KSDAHE atau UU Konservasi yang baru, terutama Pasal 8 ayat 2, mempersulit pengembalian hutan/wilayah adat di areal konservasi. Disebutkan, wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan meliputi KSA, KPA, KKPWP2K, serta areal preservasi, termasuk di dalamnya kawasan hutan adat.
”Pengaturan demikian telah memosisikan hutan adat menjadi sumir,” ucapnya.
UU KSDAHE akan berpotensi kuat mengancam upaya advokasi pengembalian hak masyarakat adat atas hutan adat di wilayah konservasi.
Ia mengatakan, berdasarkan pengalaman, advokasi hutan adat di kawasan konservasi selama ini sangat sulit dilakukan. Berlakunya UU KSDAHE akan berpotensi kuat mengancam upaya advokasi pengembalian hak masyarakat adat atas hutan adat di wilayah konservasi, di tengah keharusan menjalankan konservasi negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU KSDAHE.
Muhammad Arman pun menyebutkan masih ada sejumlah argumen lain yang mendasari sikap AMAN menolak pengesahan dan pemberlakuan UU KSDAHE. AMAN mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU sesuai dengan aspirasi masyarakat adat.
Sementara itu, dalam Opini Kompas, 26 Agustus 2024, Eko Cahyono, peneliti utama di Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, mengutarakan UU KSDAHE belum menempatkan masyarakat adat sebagai subyek pemangku hak (right holder) dalam konservasi. Akibatnya, pengetahuan tentang konservasi berbasis adat belum mendapatkan pengakuan dan prioritas.
”Meski kini telah ada pengakuan negara berupa skema hutan adat, pengakuan itu belum tiba ke pengakuan pengetahuan, identitas, wilayah, dan eksistensi adat,” tulis Eko Cahyono.
Data global juga menunjukkan wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki tingkat deforestasi lebih rendah, menyimpan lebih banyak karbon, dan mengandung lebih banyak keanekaragaman hayati daripada tanah yang dikelola pemerintah atau entitas swasta dan korporasi. Sejumlah praktik masyarakat adat pun menunjukkan bukti kearifan mereka dalam menjaga dan melestarikan wilayahnya.