Mengapa Masyarakat Adat Selalu Menjadi Korban?
Keberadaan masyarakat adat terkepung kekuatan besar. Mereka kerap menjadi korban dalam sengketa lahan.
Apa yang dapat Anda pelajari dari artikel ini?
1. Bagaimana kondisi masyarakat adat di Indonesia saat ini?
2. Sejauh mana peran masyarakat adat?
3. Bagaimana perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat?
4. Apa saja konflik yang dihadapi masyarakat adat?
Bagaimana kondisi masyarakat adat di Indonesia saat ini?
Keberadaan warga adat kian terjepit. Kelompok sosial dan budaya ini memiliki ikatan leluhur kolektif dengan tanah dan sumber daya alam tempat mereka tinggal. Tanah dan sumber daya alam jadi sandaran mereka terkait erat dengan identitas, budaya, mata pencaharian, kesejahteraan, dan spiritual mereka.
Secara historis masyarakat adat menjadi bagian tak terpisahkan kehidupan bermasyarakat dunia, bahkan dianggap sebagai peletak pondasi sistem sosial dari awal peradaban manusia hingga era modern. Karena itu lazim jika semua negara mengakui dan melindungi ekosistem masyarakat adat di wilayahnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok yang menempati wilayah adat secara turun temurun. Adapun nilai-nilai dasar terbentuknya warga adat yakni identitas budaya, wilayah adat, sistem nilai dan pengetahuan, serta hukum dan kelembagaan adat.
Menurut data PBB, diperkirakan ada 476 komunitas masyarakat adat di seluruh dunia. Mereka berbicara lebih dari 4.000 dari 7.000 bahasa di dunia meski beberapa perkiraan menunjukkan lebih dari separuh bahasa dunia berisiko punah pada tahun 2100.
Meski mereka hanya mencakup enam persen dari populasi global, tapi mereka mencapi sekitar 19 persen dari masyarakat miskin ekstrem. Harapan hidup mereka pun 20 tahun lebih rendah daripada usia harapan hidup masyarakat non masyarakat adat di seluruh dunia.
Baca juga : Masyarakat Adat Tidak Membutuhkan Banyak Uang untuk Bahagia
Di Indonesia, masyarakat adat diestimasi 24 persen dari total populasi. Jika dibandingkan jumlah penduduk saat ini, ada 64,8 juta masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Statistik Kebudayaan 2021, masyarakat adat tersebar merata dan terkumpul di 488 desa adat dengan lebih dari 2.000 kelompok.
Sejauh mana peran masyarakat adat?
Namun warga adat kerapkali tak memiliki pengakuan formal atas tanah dan sumber daya alam. Mereka juga kerap jadi yang terakhir menerima investasi publik dalam layanan dasar. Komunitas ini terkendala untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi formal dan politik, serta mengakses keadilan.
Warisan ketidaksetaraan dan pengucilan membuat masyarakat adat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam. Padahal, meski hanya memiliki, menempati, atau memakai seperempat dari luas permukaan dunia, masyarakat melestarikan 80 persen dari keanekaragaman hayati yang tersisa.
Studi terbaru mengungkapkan, lahan hutan yang dikelola masyarakat adat menyimpan seperempat dari semua karbon di atas tanah hutan tropis dan subtropis. Mereka menyimpan pengetahuan dan keahlian leluhur yang penting tentang cara beradaptasi dan mengurangi risiko iklim serta bencana.
Baca juga: Masyarat Adat, Penjaga Hutan yang Sulit Akses Layanan Dasar
Masyarakat adat memiliki sejarah panjang dalam menjaga ekosistem hutan secara berkelanjutan. Pemanfaatan alam bersifat domestik sehingga tidak terjadi pengambilan berlebihan tapi mengambil secukupnya sesuai kebutuhan. Adat kebiasaan ini membuat area adat tetap lestari dan terjaga lingkungannya.
Studi UNESCO menyebutkan, masyarakat adat telah hidup seimbang dengan alam dan memiliki pengetahuan untuk menilai perubahan di alam seperti cuaca dan spesies baru. Namun hutan yang dijaga terdegradasi pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambahan, dan pembangunan infrastruktur.
Baca juga : Masyarakat Adat di antara Dua Kekuatan Besar
Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat adat?
Tidak mudah bagi masyarakat adat mewujudkan pengakuan hak atas tanah leluhur yang sudah lama dimiliki. Dengan jumlah kelompok dan anggota komunitas relatif sedikit, membuat masyarakat adat bagaikan kelompok kecil yang harus menghadapi kekuatan amat besar sehingga selalu jadi korban.
Di satu sisi mereka berhadapan dengan kekuasaan dan birokrasi pemerintah, sedangkan di sisi lain harus menghadapi kekuatan korporasi yang ekspansif. Tak jarang dua kekuatan ini berkolaborasi untuk menggerus tanah-tanah adat sehingga sebagian warga adat makin terpinggirkan di tanah leluhurnya.
Baca juga: Masyarakat Adat Belum Punya Payung Hukum
Belum diakuinya hak atas tanah membuat akses warga adat terhadap wilayahnya amat terbatas. Laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Maret 2022 menunjukkan, adanya diskriminasi hukum yang jelas antara masyarakat adat yang minoritas dibandingkan kekuasaan korporasi.
Pemerintah memberi izin seluas 35 juta hektar hutan kepada perusahaan. Bahkan luasan alokasi hutan ini ditambahkan lagi sekitar 2,11 juta hektar untuk kepentingan investasi tambang, hak pengusahaan hutan atau HPH, hak guna usaha, hutan tanaman industri, dan kepentingan lainnya.
Sementara sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, wilayah adat yang dikembalikan ke masyarakat melalui skema hutan adat amat minim.
Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat, hingga Agustus 2024, luas wilayah adat teregistrasi 30,1 juta hektar.
Namun peta wilayah adat yang diakui pemerintah daerah baru 4,8 juta hektar. Dari luasan itu, penetapan hutan adat dari pemerintah baru 265.250 hektar. Hampir 70 persen wilayah adat yang sudah dipetakan memiliki keanekaragaman hayati tinggi dan ekosistem esensial.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat Masih Berproses di DPR
Apa saja konflik yang dihadapi masyarakat adat?
Saat ini sejumlah komunitas adat berhadapan dengan sengketa lahan sehingga mengganggu kehidupan sosial masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, upacara adat, dan ikatan sosial.
Konflik ini terus terjadi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mencatat selama 201-2022 terjadi 301 kasus perampasan area adat. Pada Januari-September 2023 terjadi 12 kasus kriminalisasi warga adat. Konflik di area adat seluas 8,5 juta hektar ini terkait sektor perkebunan, pertambangan, dan hutan pemerintah.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, hingga 2020 terjadi 567 konflik tenurial di Indonesia. Provinsi dengan jumlah kasus konflik tenurial terbanyak atau 56 persen adalah Sumatera, khususnya Sumatera Utara, Riau, dan Jambi, disusul sejumlah provinsi di Jawa dan Kalimantan.
Baca juga : Masyarakat Mentawai Dibayangi Kerusakan Hutan
Kondisi ini menunjukkan masyarakat adat yang seharusnya merupakan salah satu titik pusat pembangunan malah menjadi pihak yang terpinggirkan dan dirugikan. Janji pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan, perlindungan, dan pengakuan hak masyarakat adat hingga kini belum sepenuhnya terwujud.
Baca juga: Warga Seruyan Tewas Saat Bentrok dengan Polisi di Kebun Sawit