Ayah Juga Bisa Menjadi ”Orangtua Tunggal”
Anak membutuhkan kedua orangtuanya di masa tumbuh kembangnya. Namun, peran ayah dalam pengasuhan belum optimal.
Menjadi orangtua tunggal bagi anak-anak bukanlah hal mudah bagi siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing memiliki kehidupan yang penuh suka dan duka. Namun, bagaimana jadinya kalau yang menjadi orangtua tunggal adalah laki-laki?
Dalam kehidupan bermasyarakat, ketika terjadi perceraian, istri meninggal, atau berpisah dengan istri karena alasan lain, tidak semua laki-laki siap menjalani peran ganda sebagai ”ayah” sekaligus sebagai ”ibu” bagi anaknya.
Ahong (37), misalnya. Karyawan di sebuah perusahaan media ini mengaku tidak mudah menjadi orangtua bagi anak laki-lakinya. Keputusannya bercerai dengan istrinya tiga tahun yang lalu membawa konsekuensi tersendiri bagi dirinya dan anaknya.
Semenjak dia bercerai, anaknya yang berusia tujuh tahun tinggal bersamanya. Hakim dalam putusannya hanya menyatakan soal hak asuh dimusyawarahkan kedua pihak. Ketika itu karena pertimbangan Ahong yang aktif bekerja, maka anaknya tinggal bersamanya.
Pascaperceraian, praktis tanggung jawab mengasuh anak didominasi Ahong. Namun, Ahong mengakui agak kesulitan saat anaknya mulai bersekolah. Setiap hari, sejak pagi Ahong harus mengurus anaknya, mengantar ke sekolah, dan memastikan semua kebutuhan anaknya terpenuhi.
”Saya harus antarjemput sekolah, urus makannya, mendampingi belajar, apalagi kalau ada pekerjaan rumah sekolah,” kata Ahong saat hadir dalam diskusi daring Marsinah.id yang mengusung topik ”Peran Ayah dalam UU KIA” pada Jumat (30/8/2024) malam.
”Ini memakan waktu. Kelihatannya kecil-kecil, tapi sungguh membutuhkan waktu. Saya kesulitan membangun karier,” tuturnya.
Meski demikian, menurut Ahong, mantan istrinya masih ikut dalam pengasuhan anaknya. Sebagai contoh, saat Ahong tugas keluar kota, anaknya akan tinggal bersama ibunya. Kadang-kadang anaknya pergi bersama mantan istrinya jika ada waktu lowong.
Meskipun pontang-panting mengurus anaknya, Ahong tidak menyesal. Baginya, hal itu merupakan pilihan yang harus dijalani demi masa depan anaknya. Kedua orangtuanya telah meninggal sehingga dia harus mengurus sendiri anaknya.
Tentu di kalangan masyarakat, kehadiran orangtua tunggal seperti ayah sering dianggap tidak lazim. Di sekolah anaknya, Ahong mengakui terkadang merasa risi sendiri saat bergabung dengan grup media sosial orangtua di tempat anaknya sekolah, isinya hampir semua ibu-ibu.
”Aku sering dipanggil mom, awal-awal sangat risi, sampai sekarang juga masih risi. Tapi mau gimana lagi ha-ha-ha,” ujar Ahong.
Ahong hanyalah salah satu contoh ayah yang menjadi orangtua tunggal bagi anaknya saat pasangan suami istri memilih berpisah.
Berbeda dengan perempuan atau ibu yang jauh lebih siap menjadi orangtua tunggal, laki-laki memiliki kesulitan tersendiri saat menjalankan peran ganda sebagai orangtua.
Dalam beberapa kasus, ketika ayah menjadi orangtua tunggal, biasanya orangtua (kakek dan nenek) atau keluarga menjadi tempat mereka untuk mendapatkan dukungan untuk pengasuhan anak. Bahkan, ada yang langsung menyerahkan pengasuhan anak-anak kepada orangtuanya.
Sebagai contoh sahabat Ahong yang juga bercerai dan menjadi orangtua tunggal. Saat putusan pengadilan memberikan hak asuh anak-anak kepada temannya sebagai ayah, pilihan terbaik yang diambil temannya adalah menyerahkan anak-anaknya diasuh orangtuanya.
Cuti ayah
Peran dan kehadiran ayah sejak dalam kandungan hingga masa tumbuh kembang anaknya amat penting. Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA pada Fase 1.000 HPK, peran ayah diatur secara khusus.
Bahkan, dalam UU yang disahkan pemerintah sebulan lalu (2 Juli 2024), ada pasal khusus yang mengatur soal kewajiban dan peran ayah dalam membangun kesejahteraan ibu dan anak, yakni Pasal 6.
Pasal ini mengatur suami (pekerja) wajib mendampingi istri saat masa persalinan, termasuk mendampingi anak yang lahir, terutama di fase 1.000 HPK. Untuk pendampingan istri masa persalinan, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan.
Hak cuti dua hari juga diberikan saat istrinya mengalami keguguran. Di luar itu, suami juga diberikan waktu cukup untuk mendampingi istri dan anak apabila istri mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, komplikasi pascapersalinan, atau keguguran.
Waktu untuk suami juga diberikan saat anak yang dilahirkan mengalami masalah atau gangguan kesehatan, dan komplikasi, termasuk istri yang melahirkan meninggal atau anak yang dilahirkan meninggal.
Dari sisi masyarakat, semangat undang-undang untuk mengatur hak cuti suami/ayah tentu sangatlah positif. Setidaknya semakin mendorong para ayah/suami agar lebih memberikan perhatian kepada ibu dan anak di fase 1.000 HPK.
Baca juga: UU KIA Jangan Beri Beban Tambahan bagi Ibu
Namun, tetap saja ada sejumlah pertanyaan yang ”menggantung” di kalangan publik yang perlu dijawab dan diatur rinci melalui peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, yang akan disusun pemerintah.
Selain bertanya apakah UU KIA 1.000 HPK bisa diterapkan di Indonesia, beberapa pertanyaan tetap mencuat, terutama berapa lama idealnya cuti ayah? Apakah dua hari cukup? Lalu, apakah cuti ayah hanya berlaku bagi semua anaknya yang lahir? Bagaimana jika perusahaan tak memberikan cuti ayah?
Pertanyaan lain yang penting adalah bagaimana dengan ayah yang harus mengurus anaknya yang masih kecil karena istrinya meninggal pascabersalin, atau terjadi perceraian, atau hidup terpisah pascabersalin.
Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengungkapkan, idealnya pengasuhan anak berada dalam tanggung jawab bersama ayah dan ibu. Namun, Eka mengkritik pengaturan peran ayah dan ibu dalam UU KIA, yang dinilai tidak begitu jelas.
”Kalau bicara soal pembagian peran di dalam Undang-Undang KIA, tetap saja masih terlihat peran itu lebih kepada ibu, lebih kepada perempuannya,” ujarnya,
Buktinya, dalam UU KIA terkait pengaturan peran ayah dan ibu, lebih banyak pada ibu, sedangkan peran ayah sedikit. ”Ketika sang ayah tak juga melakukan, sang ayah ataupun keluarga lain tak melakukannya, di undang-undang ini juga enggak akan ada yang terjadi pada si ayah ataupun keluarga lain,” kata Eka.
Hal senada disampaikan Dian Septi dari Marsinah.id. Menurut dia, pengaturan cuti untuk ayah di UU KIA tidak efektif karena hanya dua hari. Sementara kebutuhan cuti ayah untuk merawat bayi setelah persalinan cukup banyak, dan membutuhkan fokus atau perhatian khusus.
Kalau bicara soal pembagian peran di dalam Undang-Undang KIA, tetap saja masih terlihat peran itu lebih kepada ibu, lebih kepada perempuannya.
Dia pesimistis, soal cuti ayah yang diatur dalam UU KIA bisa diterapkan pada suami yang bekerja di perusahaan. ”Akan sangat sulit diterapkan mengingat UU KIA akan menyesuaikan dengan aturan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, yang memuat tiga bulan cuti hamil melahirkan bagi perempuan,” kata Dian.
Baca juga: Implementasi UU KIA Perlu Dikawal
Dalam praktiknya, perusahaan akan lebih memilih menerapkan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Apalagi, UU KIA juga tidak menyediakan solusi terkait ketidakpatuhan pengusaha dalam melaksanakan cuti hamil dan jaminan keamanan kerja bagi Ibu hamil.
Dari sisi kesiapan suami atau ayah, perlu ada penguatan. Bahkan sebelum menikah, calon suami dan ayah perlu mengikuti pelatihan khusus agar dapat menjalankan perannya sebagaimana diamanatkan dalam UU KIA.
Faktanya tak mudah bagi ayah atau suami yang bekerja saat berperan dalam pengasuhan. Apalagi, kultur patriarki yang masih mengakar menempatkan tanggung jawab pengasuhan anak kepada ibu. Tak banyak pria yang menjalankan peran seperti Ahong, menjadi orangtua tunggal bagi anaknya yang masih kecil.