Pekerja Korban Kekerasan Seksual Sulit Membawa Perkaranya ke Pengadilan
Kekerasan seksual terjadi di semua ruang hidup masyarakat, termasuk tempat kerja. Implementasi UU TPKS kini dinantikan.
Kendati kerap terdengar ada kasus kekerasan seksual di tempat kerja berdimensi relasi kuasa atau memanfaatkan hubungan kerja, hingga kini tidak banyak kasus kekerasan seksual yang diproses ke pengadilan. Para korban menghadapi berbagai hambatan untuk mendapatkan keadilan.
Ays (29), misalnya. Jurnalis media daring di salah satu kota di Kalimantan Timur ini mengakui tidak mudah baginya untuk speak up setelah menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa waktu lalu, dia mengalami pelecehan seksual oleh salah satu pejabat di lingkungan pemerintah kota, tempat dia meliput.
”Waktu itu aku mau wawancara eksklusif. Jadi, datang ke ruang pejabat tersebut. Di awal wawancara lancar, tetapi di tengah wawancara, dia enggak omong apa-apa dan tiba-tiba mulai menggerayangi tubuhku sampai mencium. Aku shock dan aku jadi kaku,” tutur Ays, Kamis (29/8/2024) petang.
Saat itu, yang ada di pikiran Ays adalah bagaimana menyelesaikan wawancara secepatnya, pamit, dan meninggalkan tempat tersebut. Sebagai jurnalis yang dituntut harus mendapat berita, Ays merasa berada di posisi serba salah.
”Aku enggak lapor karena pejabat tersebut memiliki power, bahkan berpengaruh di kota Samarinda. Jadi, takut efeknya di kehidupanku,” ujarnya.
Sementara itu, perusahaan media tempatnya bekerja belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) mengenai penanganan kekerasan seksual di lingkungan kerja. Ingin menceritakan kepada teman-teman, dia merasa kurang nyaman. Apalagi, sebagian besar teman-teman wartawan adalah laki-laki.
Dia juga memilih tidak melaporkan kasus yang dialaminya ke organisasi wartawan di daerah karena khawatir kasusnya malah tersebar ke mana-mana.
”Makanya enggak pernah ada laporan kekerasan seksual di dunia wartawan di Kota Samarinda. Selama aku kerja, ya,” tuturnya berharap ada SOP penanganan kekerasan seksual sebab perempuan jurnalis rentan menjadi korban.
Karena itu, ketika Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan, Ays mengaku senang lantaran hal itu bisa menjadi kekuatan bagi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Meski demikian, implementasinya tidak mudah.
Pengalaman Ays sejalan dengan kajian oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia yang menemukan para korban kekerasan seksual di tempat kerja menghadapi berbagai tantangan untuk memperoleh keadilan.
Selain faktor pribadi (individu korban), keluarga korban, lingkungan, pelaku, instansi/perusahaan, aparat penegak hukum, dan pendamping korban, juga terdapat persoalan dalam penanganan perkara kekerasan seksual di pengadilan.
Bahkan, meski ada putusan pengadilan terhadap terdakwa, hak dan kepentingan korban kekerasan seksual di tempat kerja pada pemulihan dan perlindungan belum mendapat perhatian pascaputusan pengadilan. Ganti rugi berupa restitusi dan layanan rehabilitasi serta pemulihan bagi korban juga terkendala.
Kajian yang berlangsung pada November 2023 hingga April 2024, yang didukung American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI), juga termasuk mengkaji penanganan kasus oleh pengadilan dan hakim serta memeriksa kecukupan langkah perlindungan dan pemulihan bagi korban.
Hasil kajian tersebut disampaikan tim peneliti BRIN dalam Diseminasi dan Diskusi bertema ”Kekerasan Seksual di Tempat Kerja”, di Jakarta, Rabu (28/8/2024). Lokakarya ini dibuka Kepala Organisasi Riset ilmu Pengetahuan Ilmu Sosial Humaniora BRIN Ahmad Najib Burhani.
Rekomendasi kebijakan
Dari temuan itu, tim peneliti Pusat Riset Hukum BRIN menyampaikan rekomendasi kepada pelaksana kebijakan di tingkat pusat dan daerah serta institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung). Salah satunya adalah minta Presiden mempercepat penerbitan semua aturan turunan UU TPKS.
Kementerian Ketenagakerjaan juga direkomendasikan mengubah Keputusan Menaker Nomor 88 Tahun 2023 menjadi Peraturan Menaker yang mengikat dan memberi daya paksa para pihak, seperti perusahaan/pengusaha, untuk menangani kasus kekerasan di tempat kerja.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, Tonggak Awal Penghapusan Kekerasan Seksual
Khusus kepolisian, kajian BRIN menemukan ada perkara TPKS yang dihentikan penyidikan karena ada upaya perdamaian (restorative justice). Di sisi lain, ada daerah tidak setuju jalan penyelesaian perkara lewat jalan perdamaian.
”Ada perbedaan pemahaman antara penyidik dan jaksa dalam penentuan ketercukupan alat bukti dan penanganan perkara. Perlu pelatihan dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi penyidik menangani kasus kekerasan seksual,” ujar Penny Naluria Utami, peneliti dari Pusat Riset Hukum BRIN.
Hasil kajian ini juga dipaparkan peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, yakni Budi Suhariyanto, Penny Naluria Utami, Tatik Sunatri; dan peneliti dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, Temi Indriati Miranda.
Kemudian kajian ini mendapat tanggapan dari Mega Yolanda (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Alimatul Qibtiyah (Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan), dan Heru Wibowo Sukaten (Mahkamah Agung).
Tantangan psikologis dan sosiologis
Heru mengakui ada hambatan bagi korban TPKS dalam membawa kasusnya ke pengadilan, antara lain psikologis dan sosiologis. Karena itu, MA mengeluarkan kebijakan soal pemidanaan, yakni Surat Edaran (SE) MA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya.
Perlu pelatihan dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi penyidik menangani kasus kekerasan seksual.
Surat edaran ini menegaskan pada tindak pidana, antara lain ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat, dan lingkungan hidup. Mahkamah Agung berharap pengadilan menjatuhkan pidana setimpal dengan berat dan sifatnya tindak pidana itu.
”Jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat,” kata Heru.
Bagi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), animo publik yang banyak melaporkan kasus TPKS di tempat kerja ke institusi penegak hukum merupakan kemajuan. Karena itu, perlu ada pemahaman sama terkait tafsir UU TPKS di kalangan penegak hukum.
”TPKS terjadi di banyak perusahaan, lalu di pemerintahan dan di sektor kesehatan. Sektor pendidikan yang seharusnya tempat pengembangan potensi juga masih terjadi. Penting untuk cek mekanisme dan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan di dunia usaha,” papar Alimatul.
Baca juga: RUU TPKS Harus Implementatif
Padahal, lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual membawa harapan baru. Selain meningkatkan perlindungan korban, penerapan regulasi ini bisa menciptakan lingkungan kerja lebih aman, bebas kekerasan seksual, dan memfasilitasi perempuan berdaya secara ekonomi.
Kondisi tersebut ditemukan BRIN ketika melakukan kajian atas tantangan dan hambatan yang dihadapi korban kekerasan seksual di tempat kerja dalam melaporkan insiden kepada otoritas, mengevaluasi respons hukum.
Kajian yang berlangsung pada November 2023 hingga April 2024, yang didukung American Bar Association Rule of Law Initiative (ABA ROLI), juga termasuk mengkaji penanganan kasus oleh pengadilan dan hakim, serta memeriksa kecukupan langkah-langkah perlindungan dan dukungan pemulihan bagi korban.
Mutiara Ika, dari Perempuan Mahardhika yang selama ini mengadvokasi korban kekerasan seksual di kalangan perempuan pekerja, menilai kajian BRIN didukung ABA ROLI penting karena menyoal tentang situasi kekerasan seksual di tempat kerja yang sarat dengan ketimpangan relasi kuasa jender dan pekerjaan.
Hasil kajian tersebut masih sama dengan kajian banyak lembaga tentang kekerasan seksual beberapa tahun lalu, seperti faktor individu membuat korban sulit untuk melaporkan. ”Yang terbaru adalah komitmen negara dan berbagai instansi muncul untuk memastikan korban mendapat keadilan,” ujarnya.
Selain itu, UU TPKS ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 88/2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Namun, sosialisasi tentang keputusan menteri ketenagakerjaan tersebut dinilai belum maksimal.
Problemnya adalah bagaimana komitmen dan aturan tersebut digunakan untuk mengubah budaya hukum yang masih menganggap bahwa kekerasan seksual adalah hal wajar dan terjadi karena kesalahan korban.
Oleh karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan perlu mengawasi perusahaan agar membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sesuai amanat keputusan menteri ketenagakerjaan. Lahirnya UU TPKS seharusnya jadi momentum meningkatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.