Politik Memunculkan Sisi Terburuk dalam Diri Manusia
Orang-orang kerap mengubah moral mereka atau berperilaku tidak etis saat terlibat atau masuk dalam ranah politik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Sebagian besar rakyat Indonesia saat ini menghadapi kekecewaan atas perubahan sifat dan sikap para pemimpin ataupun politisi yang lebih berpihak kepada kepentingan kelompoknya. Padahal, dahulu rakyat menaruh harapan yang besar terhadap pemimpin dan politisi tersebut untuk perubahan serta kesejahteraan yang lebih baik.
Perubahan karakter ini terlihat ketika pemimpin atau politisi mulai membuat kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat luas. Imbasnya, rakyat yang sudah muak menunjukkan perlawanannya dengan berunjuk rasa dan turun ke jalanan.
Perubahan karakter dan moral seseorang memang kerap terjadi saat mereka terjun ataupun hanya sekadar berbincang tentang isu politik. Politik yang dinamis membuat orang-orang yang dulu memegang erat moral dan etika bisa dengan mudah meninggalkan keyakinannya tersebut.
Politik membuat kita melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita lakukan dan menoleransi hal-hal yang biasanya tidak akan kita toleransi. Terkadang, politik memunculkan sisi terburuk dalam diri kita.
Hal ini juga telah coba dijabarkan oleh para peneliti dari Universitas Nebraska-Lincoln, Amerika Serikat. Laporan hasil penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal Political Psychology, Januari 2024, menunjukkan, ada keinginan orang untuk mengubah moral mereka atau berperilaku tidak etis saat terlibat dalam ranah politik.
Selain itu, studi ini juga mengungkap permusuhan terhadap kelompok atau pihak lawan merupakan faktor pendorong ambiguitas moral tersebut. Dengan kata lain, orang-orang, khususnya politisi, akan dengan mudah memunculkan sifat buruk mereka kepada kelompok yang berseberangan atau tidak sejalan.
Kesimpulan para peneliti ini diperoleh dari survei yang melibatkan empat sampel orang dewasa dengan total 2.472 responden. Survei tersebut mencakup skala perilaku moral nonpolitik dan politik serta skala toleransi moral politik dan nonpolitik.
Penelitian ini dilakukan sebagai tindak lanjut studi sebelumnya oleh para peneliti dari Universitas Nebraska-Lincoln. Studi sebelumnya berfokus pada eksplorasi terkait bagaimana keterlibatan politik dan ideologi mendorong nilai serta perilaku moral seseorang.
Kyle Hull, Asisten Profesor Ilmu Politik di Universitas Nebraska-Lincoln yang juga penulis studi ini, mengemukakan, orang-orang lebih bersedia terlibat dalam perilaku dan penilaian yang tidak bermoral jika berada di ranah politik. Perilaku tersebut dapat dilakukan semua orang tanpa memandang usia ataupun ideologi.
”Ironisnya, banyak dari perilaku tersebut hanya didorong oleh rasa tidak suka yang tulus terhadap pihak lain yang berseberangan,” ujarnya seperti dikutip dari situs resmi Universitas Nebraska-Lincoln, Selasa (27/8/2024).
Pada dasarnya, dalam studi ini para peneliti melibatkan orang yang sama dan mengajukan pertanyaan yang hampir serupa. Peneliti pun menemukan bahwa orang lebih toleran secara moral terhadap politisi yang mereka sukai. Hal ini serupa dengan perilaku toleransi untuk seorang teman.
Politik kebencian
Dalam iklim politik yang semakin terpolarisasi, para peneliti menyoroti hasil studi tersebut yang dapat memicu politik kebencian. Bahkan, kebencian dan ketidaksukaan terhadap pihak yang berseberangan bisa memicu orang melakukan tindakan amoral.
”Politik membuat kita melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita lakukan dan menoleransi hal-hal yang biasanya tidak akan kita toleransi. Terkadang, politik memunculkan sisi terburuk dalam diri kita,” kata Hull.
Kevin Smith, peneliti ilmu politik Universitas Nebraska-Lincoln yang juga terlibat dalam studi ini, menuturkan, politik kebencian dapat dipicu dari perilaku politisi dan media. Seseorang akan lebih mudah mengesampingkan moral ketika mereka menempatkan satu partai dan kelompoknya sebagai pihak yang jahat.
”Jika itu benar, orang-orang mungkin akan menggunakan standar yang berbeda untuk perilaku moral di kehidupan pribadi dan dunia politik. Politik tidak menjadikan orang kiri atau kanan, muda atau tua, dan kaya atau miskin sebagai penjahat. Namun, politik tampaknya menjadikan kita semua sebagai penjahat,” tuturnya.