Komitmen Pengendalian Rokok Masih Lemah dalam 10 Tahun Pemerintahan Jokowi
Komitmen pengendalian rokok di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih lemah sehingga angka perokok masih tinggi.
JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan terkait pengendalian rokok sudah banyak diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Namun, evaluasi yang komprehensif serta implementasi yang kuat dinilai masih belum berjalan secara optimal. Hasil penurunan prevalensi perokok yang diharapkan pun belum tercapai.
Diharapkan pada pemerintah berikutnya, komitmen untuk pengendalian rokok bisa lebih kuat dalam upaya melindungi masyarakat, terutama untuk generasi muda.
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PJKS-UI) Aryana Satrya, pengendalian rokok di Indonesia dalam 10 tahun terakhir pada era pemerintah Presiden Joko Widodo dinilai belum optimal. Hal itu utamanya karena lemahnya komitmen dalam pengendalian tembakau, terutama terkait sikap Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
”Ratifikasi FCTC itu tidak sekadar menandatangani FCTC, tetapi itu berarti membuat pemerintah harus lebih komitmen dalam mengendalikan tembakau. Itu seperti peringatan kesehatan di kemasan harus lebih besar bahkan harus polos tidak bergambar. Cukai juga harus tinggi sehingga tujuan menurunkan prevalensi perokok bisa berkurang,” tuturnya dalam seminar web bertajuk ”Dinamika Kebijakan Pengendalian Rokok di Indonesia: Evaluasi Era Presiden Joko Widodo” di Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Ratifikasi FCTC itu tidak sekadar menandatangani FCTC. Namun, itu berarti membuat pemerintah harus lebih komitmen dalam mengendalikan tembakau.
Ia menyebutkan, sikap Indonesia yang belum meratifikasi FCTC menyebabkan pengendalian rokok tidak optimal. Komitmen dalam melindungi masyarakat dari bahaya rokok juga menjadi lemah.
Lemahnya komitmen dalam pengendalian rokok di Indonesia setidaknya dapat dilihat dari sistem monitoring prevalensi perokok yang masih terbatas. Monitoring prevalensi perokok hanya dilakukan lima tahun sekali lewat Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan sebelumnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Monitoring terhadap prevalensi perokok juga jarang dilakukan.
Selain itu, implementasi peraturan kawasan tanpa rokok belum berjalan baik. Sanksi yang tegas tidak berlaku bagi pelanggar serta belum ada komitmen anggaran dalam implementasi dan pengawasan kawasan tanpa rokok di setiap daerah.
Baca juga: Rapor Merah Indonesia dalam Pengendalian Tembakau
Komitmen pengendalian yang masih lemah terlihat pula dari peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok yang tidak efektif untuk menurunkan keinginan masyarakat untuk merokok. Gambar peringatan kesehatan bergambar tidak strategis karena tertutup oleh pita cukai.
Tidak hanya itu, pengawasan dan pembatasan iklan, promosi, dan sponsor rokok pun belum optimal. Rokok juga masih mudah dijangkau oleh anak-anak dan masyarakat yang kurang mampu. Kenaikan tarif cukai belum sesuai dengan standar WHO. Tarif cukai rokok belum konsisten naik setiap tahun dalam 10 tahun terakhir. Pada 2022, misalnya, dilakukan penundaan kenaikan cukai rokok karena adanya pertimbangan tertentu.
”Kebijakan pengendalian rokok di Indonesia selama 10 tahun terakhir masih belum optimal. Tantangan eksternal terbesar dari kebijakan pengendalian rokok, yaitu masih adanya campur tangan industri melalui lobi politik dan bantuan CSR kepada daerah,” kata Aryana.
Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) 2023 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada 84 poin. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara ranking satu dari sembilan negara lain di Asia Tenggara pada TII Index dalam lima tahun terakhir.
Indonesia pun menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC. Jumlah perokok di Indonesia juga termasuk yang paling tinggi di antara negara lain di Asia Tenggara.
Mengutip data Tobacco Control Atlas: ASEAN Region edisi kelima yang diterbitkan oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca), jumlah perokok di Indonesia mencapai 65,7 juta orang. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Filipina (16,5 juta), Vietnam (15,6 juta), Thailand (10,6 juta), Malaysia (4,8 juta), dan Singapura (323.000).
Jumlah perokok pemula usia 10-19 tahun di Indonesia dilaporkan bertambah 16,8 juta orang per tahun. Jumlah itu hampir setengah dari semua perokok baru di Asia Tenggara. Indonesia pun menjadi negara dengan tingkat perokok tertinggi di dunia dengan 63 persen laki-laki dewasa dan 38,3 persen remaja yang merokok.
Baca juga: Pastikan Implementasi Aturan Produk Tembakau di PP Kesehatan Konsisten
Tim Kerja Pengendalian Penyakit akibat Tembakau Kementerian Kesehatan, Benget Saragih mengakui jika upaya pengendalian tembakau belum optimal. Upaya pengendalian tembakau membutuhkan komitmen dari berbagai sektor, tidak hanya dari sektor kesehatan. Sementara komitmen tersebut belum seragam dari semua sektor terkait.
”Kementerian Kesehatan sudah mendorong agar ratifikasi FCTC bisa segera dilakukan. Namun, itu sangat bergantung pada komitmen dari pimpinan negara. Kementerian Kesehatan sudah mempersiapkan apa saja yang harus dilakukan jika kita sudah berkomitmen dalam FCTC sehingga kita tinggal menunggu agar itu bisa segera ditandatangani,” tuturnya.
Kepemimpinan baru
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyampaikan, upaya pengendalian tembakau pada era kepemimpinan Joko Widodo patut mendapatkan nilai merah. Sebab, upaya-upaya strategis yang bisa menenangkan prevalensi perokok serta mencegah adanya perokok pemula tidak dilakukan dengan baik.
”Kita sempat sudah berikan rekomendasi untuk melarang rokok elektrik sejak awal saat wabah rokok elektrik belum terjadi seperti saat ini. Saat itu bahkan beberapa negara sudah punya sikap untuk melarang rokok elektrik. Namun, itu tidak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sehingga kita akhirnya melewatkan momen itu hingga kini sudah menjadi wabah,” tuturnya.
Meski begitu, Tulus menyampaikan, di masa akhir pemerintahan Joko Widodo telah diterbitkan aturan baru, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang 17 Tahun 2023 terkait Kesehatan. Aturan itu telah memperkuat upaya pengendalian tembakau di masyarakat, mulai dari larangan penjualan rokok batangan, larangan iklan rokok di media digital, perluasan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, serta aturan rokok elektrik.
Ia berharap agar aturan tersebut bisa terimplementasi dan diawasi dengan baik, terutama pada era pemerintah berikutnya oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto. ”Jangan sampai aturan ini seperti macan ompong yang substansinya sudah bagus, tetapi tidak bisa diimplementasikan dan tidak efektif dijalankan,” katanya.
Baca juga: Keberanian Prabowo-Gibran Melawan Industri Pengancam Kesehatan Dinanti
Hal itu disampaikan pula oleh ekonom yang juga Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Faisal Basri. Ia berharap agar presiden terpilih bisa lebih tegas untuk mengendalikan tembakau dan melindungi masyarakat dari ancaman produk tembakau. Lobi-lobi dari industri rokok harus dihapuskan.
”Kepemimpinan presiden sangat penting dalam upaya pengendalian tembakau. Jadi, komitmen itu harus diperlihatkan dari visi presiden untuk melindungi masyarakat dari rokok. Kondisi kini sudah darurat,” ujarnya.