Cek Kantin Sekolah, Ada Jajanan Anak Mengandung Mikroplastik
Pengawasan pangan di kantin sekolah perlu diperkuat karena ada temuan mikroplastik yang dikonsumsi anak setiap hari.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Mikroplastik telah terbukti bersifat ubiquitous atau berada di mana-mana. Berbagai penelitian telah menemukan mikroplastik di lingkungan, dalam tubuh hewan, dan manusia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat sumber ilmu paling ideal pun tak terhindar dari kontaminasi mikroplastik.
Penelitian terbaru dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Yayasan Gita Pertiwi, dan Ecoton pada Juli 2023 hingga Februari 2024 menunjukkan beberapa jajanan di sekolah terbukti mengandung mikroplastik berbahaya bagi kesehatan anak-anak. Ini dijual tidak hanya di jajanan kaki lima di luar sekolah, tetapi juga di kantin sekolah.
Jajanan di kantin sekolah, seperti nasi goreng, aneka gorengan, dan roti kemasan, mengandung mikroplastik berjenis fiber dan fragmen. Mikroplastik ini berasal dari kemasan plastik yang digunakan untuk membungkus makanan tersebut.
Panganan sebaiknya dikemas dengan bahan-bahan organik, seperti daun pisang, daun waru, besek, ataupun wadah-wadah kaca dan logam.
Jajanan sekolah sering kali dibungkus dengan kertas minyak, plastik bening, dan bahan sekali pakai lainnya. Tak terkecuali botol plastik, sedotan plastik, styrofoam, bungkus plastik bening, saset, kertas minyak, mika, dan gelas plastik. Semua bahan ini merupakan sumber utama mikroplastik yang terdeteksi dalam makanan anak-anak.
”Mikroplastik ini berukuran sangat kecil, tak kasatmata, di mana temuan kami paling kecil itu berukurang 17 mikrometer (μm) dan yang terbesar 465 μm,” kata Ni Made Dyah Rahma Yanti, Manajer Program Sekolah Ekologis PPLH Bali, saat dihubungi, Selasa (27/8/2024).
Hasil penelitian pada sampel nasi goreng yang dibungkus dengan plastik mika mengandung 2 jenis mikroplastik, yaitu fiber dengan ukuran 101 µm dan 8 µm serta fragmen dengan ukuran 77 µm. Pada nasi bungkus yang dibungkus dengan kertas minyak ditemukan empat buah mikroplastik berubah fiber dengan ukuran 216 µm, 299 µm, 349 µm, dan 793 µm.
Kemudian, pada sampel sosis yang dibungkus dengan plastik bening mengandung mikroplastik jenis fiber dan filamen dengan ukuran 761 µm, 365 µm, 562 µm, dan 2.856 µm untuk fiber dan 124 µm untuk filamen. Sementara pada sampel permen dengan kemasan sachet single layer ditemukan mikroplastik jenis fragmen dengan ukuran 99 µm.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel dari kantin di empat sekolah di Tuban, Gianyar, dan Sanur, Bali. Sampel diambil dari kantin sekolah dengan pembungkus aslinya berupa kertas minyak, plastik bening, mika, dan permen dengan bungkus plastik single layer.
Pengambilan sampel dilakukan pagi hari kemudian langsung dibawa ke Laboratorium Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, untuk dianalisis skala laboratorium pada 3-6 Januari 2024. Analisis sampel dilaksanakan dengan metode destruksi basah kemudian diamati dengan mikroskop stereo.
Dari temuan ini, Dyah mendorong pemangku kepentingan untuk lebih ketat mengawasi makanan yang dikonsumsi anak di sekolah walaupun kebiasaannya sulit dihilangkan. Keberadaan mikroplastik dalam bahan makanan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan manusia.
Selain itu, cemaran mikroplastik juga harus menjadi isu penting bagi semua orang untuk segera ditangani. Terlebih lagi, penelitian Universitas Cornell, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia diperkirakan mengonsumsi mikroplastik dari makanan yang tercemar 15 gram per kapita per bulan.
Ini membuat Indonesia menduduki peringkat teratas dalam daftar konsumsi mikroplastik per kapita global bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Filipina.
”Sayangnya belum banyak pihak yang mengetahui keberadaan mikroplastik pada berbagai komponen, seperti pada tubuh manusia, di lingkungan, hingga penganan yang dikonsumsi sehari-hari,” tutur Dyah.
Edukasi harus terus digencarkan. Ganti semua peralatan berbahan plastik, terutama plastik sekali pakai di kantin sekolah dengan alat-alat yang steril, seperti menggunakan peralatan kaca dan logam stainless steel serta mengurangi penggunaan alat-alat berbahan plastik.
Seluruh warga sekolah, mulai dari siswa, guru, wali murid, komite, pemerintah, hingga petugas kantin sekolah, harus memiliki kesadaran bahaya plastik. Terutama petugas kantin perlu mendapat pembinaan tentang cara pengolahan hingga pengemasan panganan untuk mengurangi cemaran mikroplastik.
”Penganan sebaiknya dikemas dengan bahan-bahan organik, seperti daun pisang, daun waru, besek, ataupun wadah-wadah kaca dan logam, serta menghindari penggunaan plastik sekali pakai,” ujarnya.
Apabila pengemasan maupun penyajian makanan dan minuman masih menggunakan bahan plastik, hindari mengemas dan menyajikan penganan saat masih panas atau di atas suhu 60 derajat celsius. Hal ini karena suhu panas pada makanan dapat mendegradasi komponen kimia penyusun plastik dan berpindah mengontaminasi makanan.
Pemerintah telah membuat empat aturan untuk mewujudkan kantin sehat di sekolah, mulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, Keputusan Menteri Kesehatan No 942/2003, Kepmenkes No 1429/2006, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 57/2009. Bahkan, sudah ada Surat Edaran Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 12/2009 yang melarang penggunaan plastik sekali pakai di lingkungan sekolah.
”Ini bisa menjadi dampak besar bagi kesehatan dan kecerdasan anak didik kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, adanya kantin sehat sebagai suatu wadah bagi anak didik membeli makanan higienis yang sesuai dengan kesehatan anak-anak, termasuk keseimbangan gizinya,” kata Juandanilsyah, Kepala Publikasi, Komunikasi dan Advokasi Direktorat SMA Kemendikbudristek.
Pihak sekolah harus membuat aturan kepada penjual makanan untuk tidak memakai plastik, styrofoam, sedotan plastik serta aluminium foil dalam menyajikan makanan. Makanan yang dijual pun harus mengandung gizi seimbang dan memperhatikan segi higienitas, bukan makanan cepat siap saji.
Kepala sekolah dan petugas dari luar sekolah, seperti puskesmas, Tim Pembina UKS, hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebaiknya melakukan pengawasan minimal dua kali seminggu. Orangtua pun diminta turut aktif mengawasi.