Pemberian Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan Merusak Kehidupan Bernegara
Upaya pemerintah memberikan konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan dinilai telah merusak kehidupan bernegara.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah yang memberikan izin konsesi pertambangan kepada organisasi masyarakat keagamaan dinilai telah merusak kehidupan bernegara. Pemberian izin konsesi pertambangan ini pun dikhawatirkan akan membuat ormas keagamaan tidak lagi kritis terhadap berbagai kebijakan negara.
Koordinator Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Ayu Rikza mengemukakan, Presiden Joko Widodo pertama kali menawarkan konsesi mineral dan batubara kepada kelompok muda saat memberikan pidato dalam acara Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Desember 2021.
”Apa yang disampaikan ini ternyata berlanjut dan disambut dengan baik sinyal pemberian konsesi tersebut oleh Pengurus Besar NU. Tawaran konsesi ini dinilai sebagai niat baik negara,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ”Kuasa Negara Membajak Ormas Keagamaan dalam Menciptakan Keadilan Sosial” di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Upaya negara memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan akhirnya terwujud melalui ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diterbitkan pada Mei 2024. Pasal 83A PP tersebut menyebutkan bahwa ormas keagamaan bisa mengelola pertambangan.
Bahkan, saat masyarakat berunjuk rasa menentang revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada Kamis (22/8/2024) lalu, Presiden justru membahas izin tambang untuk NU. Hasil pertemuan tersebut, pemerintah memberikan izin pertambangan kepada NU seluas 26.000 hektar bekas proyek tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur.
Menurut Ayu, kondisi tersebut tidak hanya berpotensi merusak perekonomian dan lingkungan, tetapi juga kehidupan bernegara. Sebab, mengelola tambang bukanlah ranah ormas keagamaan. Negara juga seolah sudah membuat skenario menjadikan ormas keagamaan sebagai perantara untuk mengonsolidasikan kekuasaan bagi kepentingan elite.
”Masyarakat telah mengkritik keras apa yang dilakukan ormas keagamaan, terutama PBNU, dalam pemberian konsesi tambang ini. Sikap PBNU justru dianggap tidak berpihak kepada umat yang tertindas dan hubungannya semakin erat dengan penguasa,” tuturnya.
Anggota Kader Hijau Muhammadiyah, Ananul Nahari Hayunah, menyayangkan sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menerima konsesi tambang dari negara. Padahal, Muhammadiyah merupakan ormas keagamaan yang cukup fokus dalam isu lingkungan.
Ananul menyebut, Kader Hijau Muhammadiyah telah membuat kertas posisi yang menyarankan agar PP Muhammadiyah menolak konsesi pertambangan dari negara. Akan tetapi, kertas posisi tersebut diabaikan hingga akhirnya PP Muhammadiyah menerima izin konsesi pertambangan, tetapi dengan sejumlah pertimbangan.
Di tingkat internasional ada pertarungan antara rezim energi fosil dan energi terbarukan dan hal ini tecermin dalam politik kita. Kita sepertinya akan memilih energi fosil dengan alasan cadangan sumber daya alam yang masih banyak.
PP Muhammadiyah menerima tambang dengan pertimbangan dari hasil Majelis Tarjih. Padahal, hasil Majelis Tarjih cenderung lebih menolak pertambangan karena aktivitasnya menyebabkan kerusakan lingkungan dengan tingkat yang cukup parah, regulasi tidak berkeadilan, dan mayoritas tidak memperhatikan hak-hak masyarakat di sekitarnya.
”Banyak anggota di akar rumput khawatir Muhammadiyah tidak kritis lagi setelah menerima konsesi tambang. Penerimaan konsesi tambang ini juga dikhawatirkan menggerus pandangan politik Muhammadiyah dalam kehidupan bernegara,” katanya.
Rezim energi fosil
Indonesia Team Lead Interim 350.org Firdaus Cahyadi menilai pemberian konsesi tambang ke ormas keagamaan dengan alasan nasionalisme merupakan sebuah kebohongan. Pemberian konsesi ini dianggap sebuah upaya pemerintah untuk memperkuat energi fosil di tengah desakan dunia yang kian gencar meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
”Di tingkat internasional ada pertarungan antara rezim energi fosil dan energi terbarukan dan hal ini tecermin dalam politik kita. Kita sepertinya akan memilih energi fosil dengan alasan cadangan sumber daya alam yang masih banyak,” ucapnya.
Kebijakan pemerintah yang masih bertumpu pada energi fosil dibandingkan energi terbarukan ini juga dinilai tidak akan membawa kesejahteraan. Padahal, hasil penelitian Celios dan 350.org menunjukkan, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.
Firdaus menambahkan, pemberian izin konsesi kepada ormas keagamaan merupakan sebuah bentuk penundukan masyarakat sipil. ”Akan berbahaya ketika Muhammadiyah dan NU tiba-tiba berbicara krisis iklim atau energi terbarukan karena akan merugikan oligarki,” ungkapnya.