Benarkah Pernikahan Itu Menakutkan?
Kasus perselingkuhan, kekerasan dan ketegangan pernikahan banyak muncul di media sosial. Semenakutkan itukah pernikahan?
Perselingkuhan, kekerasan, penelantaran hingga ketegangan relasi mertua dan menantu terus menghiasi media sosial. Tidak hanya menjadi tanda rentannya relasi pernikahan di era digital, masifnya paparan informasi ini juga menimbulkan ketakutan sebagian orang muda untuk menikah. Namun, benarkah semua pernikahan itu menakutkan?
Skandal perselingkuhan rumah tangga pemain sepak bola dengan anak politisi ramai dibicarakan warganet seiring demonstrasi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pekan ini. Meski rumor itu sudah dibantah oleh mereka yang terlibat, hal itu menimbulkan kesan mendalam pada sebagian orang muda tentang sulitnya kesetiaan.
Kecantikan, popularitas, hingga kemapanan ekonomi nyatanya tidak membuat mereka bisa dicintai secara penuh. Lantas, bagaimana nasib mereka yang serba pas-pasan dalam urusan tampang, keuangan, ataupun status sosial? Pikiran anak muda, seperti dalam curahan hati mereka di media sosial, mereka pasti lebih sulit diterima apa adanya.
Tak hanya itu, seminggu sebelumnya, video kekerasan seorang selebgram oleh suaminya juga menggemparkan media sosial. Kasus ini memunculkan tagar ”marriage is scary” yang menggambarkan kekhawatiran banyak anak muda dalam memilih pasangan ataupun memutuskan untuk menikah. Mereka khawatir, harapan-harapan mereka tentang pasangan ideal yang mereka idamkan hanyalah semu.
Baca juga: Perempuan Makin Rentan dengan Kekerasan dalam Relasi Intim
Dalam berbagai konten yang diunggah, perempuan muda umumnya khawatir mendapatkan suami yang toksik, suka main kasar, dan tidak menghargai istri. Mereka juga takut mendapatkan suami yang tidak mau membantu pekerjaan rumah dan pengasuhan anak, tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga, hingga suami yang lebih mementingkan ibu atau keluarga asalnya.
Sementara laki-laki muda umumnya khawatir memperoleh istri yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, atau mengasuh anak, tidak menurut suami, dan tidak menghargai keluarga suami. Mereka juga menginginkan istri yang bisa membantu ekonomi keluarga hingga tidak mengekang suami.
Psikolog klinis yang juga peneliti hubungan romantis dan dosen Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor, Sabtu (17/8/2024), mengatakan, sah-sah saja setiap orang memiliki harapan atau kriteria terhadap calon pasangan mereka. ”Namun, jangan terjebak pada kondisi demografis dan normatif saja,” katanya.
Untuk mewujudkan harapan akan pasangan ideal tersebut, calon pengantin umumnya hanya terfokus soal syarat umum calon pasangan, mulai dari suku, agama, pendidikan, atau pekerjaan. Namun, mereka sering kali luput melihat keterampilan sosial mereka, seperti cara mereka berinteraksi, mengelola emosi, berkomunikasi, memperlakukan pasangan, bahkan menggunakan uang.
Saat calon pasangan terbiasa memberikan komentar merendahkan, membatasi pergaulan dengan teman, bahkan sudah menunjukkan perilaku kekerasan saat bertengkar, seperti mengancam atau membanting barang, itu sudah harus menjadi perhatian. Saat pasangan sulit terbuka dan jujur dengan pasangan, itu juga menjadi alarm.
Keterampilan sosial itu lebih penting karena akan sangat menentukan jalannya pernikahan. Karena itu, Pingkan tidak sependapat jika pernikahan dianggap menakutkan, tetapi lebih memilih menyebutnya menantang. Ibarat mendaki gunung, untuk bisa mencapai puncak, butuh pengetahuan dan keterampilan cukup. Jika tidak, aktivitas itu justru membahayakan. Namun, saat berhasil, akan sangat membahagiakan.
”Pernikahan memang bukan hal mudah, tetapi tidak juga menakutkan. Pernikahan itu menantang,” tambahnya.
Ketakutan atas pernikahan sebagian anak muda merupakan konsekuensi atas masifnya paparan kasus perkawinan dan hubungan romantis lain yang berakhir dengan tidak bahagia di media sosial. Kondisi itu berdampak lebih dahsyat jika mereka memiliki trauma atas pernikahan orang lain, terutama pada orang yang memiliki kelekatan utama dengan mereka, seperti perceraian orangtua atau melihat langsung perkawinan yang penuh kekerasan.
Generasi Z yang lahir antara 1997-2012 atau tahun 2024 ini berumur 12 tahun-27 tahun adalah generasi yang sering dicap sulit berkomitmen, termasuk dalam urusan hubungan romantis. Namun, Pingkan justru menilai keterpaparan informasi ekstrem dan trauma masa lalu itulah membuat mereka enggan berkomitmen dalam relasi romantis.
Baca juga Gen Z Ogah Pacaran Rumit
Lebih bahagia
Informasi perkawinan di media sosial umumnya bersifat ekstrem. Di satu ujung, kabar pernikahan yang penuh penderitaan dan tidak membahagiakan mudah ditemukan dan bisa ditemukan pada kelompok sosial mana pun. Sementara di ujung yang lain, perkawinan yang membahagiakan ala pangeran dan putri kerajaan jadi idaman banyak orang.
Secara statistik, jumlah perceraian di Indonesia tahun 2023 sudah mulai turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya meski penurunannya belum serendah jumlah perceraian sebelum pandemi. Artinya, jika ukuran pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang tidak berakhir dengan perceraian, maka jauh lebih banyak orang yang merasa bahagia dengan perkawinannya.
Namun, tahun 2023 juga merupakan tahun dengan jumlah perkawinan terendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, makin banyak anak muda menunda perkawinan mereka untuk berbagai alasan.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, pernikahan masih dianggap sebagai ”keberhasilan” atau pencapaian. ”Pernikahan membuat seseorang bisa diterima secara sosial,” kata Pingkan. Orang yang menikah dianggap berhasil memenuhi tugas perkembangan mereka.
Selain sebagai status sosial, pernikahan juga dianggap sebagai ibadah, penyempurna keimanan, serta bernilai positif bagi kehidupan dan masyarakat. Pernikahan juga membuat seseorang bisa berbagi peran dan harta serta relasi mereka diakui secara legal oleh negara, termasuk jika memiliki anak.
Nilai sosial tentang pernikahan ini memang bisa diperdebatkan, tetapi setidaknya masyarakat menilai pernikahan itu lebih baik. ”Walau ada badai, pernikahan pasti memiliki keuntungan,” katanya.
Berbagai studi juga membuktikan, mereka yang menikah memiliki kualitas hidup dan kesehatan mental lebih baik. Mereka lebih bahagia dibandingkan dengan yang menikah, tetapi bercerai atau mereka yang tidak menikah. Namun, hasil studi ini memiliki syarat dan ketentuan berlaku. Dengan demikian, kebahagiaan pernikahan itu sangat bergantung pada kualitas pernikahan yang dijalani.
Jika dalam pernikahan itu mendapatkan pasangan yang mendukung, bisa menghadapi masalah bersama-sama, menjadi teman bicara yang penuh kasih sayang, dan mampu mengatasi berbagai persoalan hidup, maka pernikahan itu lebih membahagiakan.
Sebaliknya, pernikahan menjadi berisiko, bukan rugi, jika dilakukan tanpa pengetahuan cukup, penuh kekerasan, dan ketimpangan beban rumah tangga. Kekecewaan dan stres sehari-hari yang tidak tertangani tidak hanya bisa berdampak pada mental pasangan, tetapi juga kesehatan fisik mereka.
Jajak pendapat Gallup, lembaga survei di Amerika Serikat yang mengukur kebahagiaan dari perkawinan, yang melibatkan lebih dari 2,5 juta orang dewasa di AS antara 2009 hingga 2023 secara konsisten menunjukkan mereka yang menikah lebih bahagia 12 persen-24 persen dibandingkan dengan yang tidak menikah. Kesenjangan ini konsisten terjadi pada semua kelompok usia, ras, etnis, jenis kelamin, dan pendidikan.
Uniknya, seperti ditulis CNN, 28 Februari 2024, jika selama ini kebahagiaan lebih tinggi diasosiasikan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ternyata hal itu tidak berlaku dalam pernikahan. Orang dewasa menikah yang tidak sekolah menengah di AS, setara SMP-SMA di Indonesia, justru merasa lebih bahagia dengan pernikahan yang dijalani dibandingkan dengan orang dewasa tidak menikah yang memiliki gelar pascasarjana.
Jajak pendapat di Amerika Serikat sejak 2009-2023 secara konsisten menunjukkan orang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan yang menikah, tetapi bercerai atau lajang yang tidak menikah.
”Ras, usia, jenis kelamin, dan pendidikan memang penting. Namun, dalam menjalani hidup, pernikahan tampaknya lebih penting dari semua itu,” kata profesor sosiologi yang juga Direktur Proyek Nasional Perkawinan Universitas Virginia AS Bradford Wilcox. Penjelasannya sederhana, ”Kita adalah makhluk sosial. Dan seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia terprogram untuk terhubung,” tambahnya.
Meski demikian, perbedaan tingkat kebahagiaan antara orang yang menikah dan tidak menikah itu, menurut terapis pernikahan dan keluarga di AS Ian Kerner, kemungkinan terkait dengan apa yang diharapkan seseorang dari pernikahan mereka atau pasangannya.
”Selama saya praktik lebih dari satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran secara bertahap dari ’pernikahan romantis’ ke ’pernikahan yang penuh kasih sayang’. Artinya, masyarakat saat ini lebih memilih pasangan seperti sahabat karib dibandingkan dengan pasangan untuk berbagai gairah,” katanya. Kondisi itu membuat orang lebih memilih pasangan berdasarkan kualitas yang dapat meningkatkan stabilitas dan kepuasan mereka dalam jangka panjang.
Persiapan menikah
Karena pernikahan adalah hal yang menantang, bukan menakutkan, maka pernikahan membutuh kesiapan. Bukan soal tentang tema resepsi atau berapa jumlah orang yang ingin diundang, tetapi mempersiapkan fisik, mental, dan pikiran kita dalam mengarungi bahtera pernikahan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyarankan pernikahan dilakukan saat seorang laki-laki minimal berumur 25 tahun dan perempuan minimal 21 tahun. Usia ideal menikah ini lebih tua enam tahun untuk laki-laki dan dua tahun untuk perempuan dibandingkan batas usia minimal menikah yang diperbolehkan undang-undang.
Baca juga: Tingginya Angka Perkawinan Usia Anak di Indonesia
Pada usia ideal untuk menikah itu, seseorang diharapkan sudah memiliki kematangan fisik, mental, dan finansial untuk mengatasi berbagai masalah dan tantangan hidup serta membangun hubungan yang baik dengan pasangan.
Selain itu, orang yang akan menikah harus memahami apa tujuan mereka menikah. Tujuan ini bersifat sangat pribadi dan tidak bisa dijadikan patokan umum. Wajar jika seseorang ingin menikah karena ingin menyempurnakan ibadah, memiliki keluarga yang harmonis, tidak menua sendirian, atau memiliki kemapanan finansial.
Setelah visi dimiliki, maka perlu dicari nilai untuk mecapai visi tersebut. Jika seseorang menikah karena ingin membangun keluarga yang berpendidikan, nilai-nilai akademis, kejujuran, dan integritas perlu ditegakkan dalam keluarga. ”Visi dan nilai itulah yang akan menjadi pegangan mereka selama pernikahan,” ujar Pingkan.
Meski demikian, kalaupun seseorang memutuskan untuk tidak menikah, maka itu juga tidak menjadi masalah. Toh, seseorang tetap bisa bahagia meski tidak menikah.
Studi memang menunjukkan mereka yang menikah lebih bahagia. Namun, kepala ekonomi Gallup yang menulis hasil jajak pendapat tentang kebahagiaan dan pernikahan, Jonathan Rothwell, menilai sulit untuk memastikan bahwa pernikahan adalah penyebab utama kebahagiaan lebih tinggi yang dimiliki seseorang.
Kualitas pernikahan dapat bervariasi berdasarkan keadaan individu, perubahan masyarakat, ataupun pandangan budaya tentang pernikahan. Masyarakat yang mengganggap pernikahan sebagai kebutuhan praktis memiliki tingkat kebahagiaan lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang lebih membebaskan individu memilih status dan pasangan mereka.
Sementara psikolog asal Boston, AS, Monica O’neal, yakin lajang memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang menikah, tetapi tidak bahagia. Pada dasarnya, konsep komitmen dalam hubungan romatis atau pernikahan menyiratkan pengalaman untuk terikat dengan orang lain. Keterikatan itu membuat kita bisa merasa aman dan terjamin, tetapi juga ada risiko dan kesulitan yang harus dihadapi.
Baca juga Kapan Nikah... Kapan Nikah... Kapan Nikah...
Hal yang pasti, lanjut Pingkan, jangan pernah memutuskan untuk menikah atau tidak menikah atas dasar trauma atau pikiran yang salah tentang pernikahan. Menikah memiliki risiko yang sama besar dengan tidak menikah. Karena itu, keputusan untuk menikah atau melajang perlu dipikirkan secara jernih dan matang.
Jadi, mau ambil risko yang mana?