RUU Lain Disahkan dalam Hitungan Hari, RUU PPRT 20 Tahun Tak Kunjung Kelar
Perjuangan pekerja rumah tangga mendapat pengakuan tak kunjung berujung. Mereka terus mengetuk hati Puan Maharani.
Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat untuk membela wong cilik dipertanyakan. Hingga di pengujung periode 2019-2024, nasib Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tak jelas. Proses legislasinya hingga kini mandek di tangan wakil rakyat. Padahal, hampir 20 tahun berlalu.
Perintah dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai Puan Maharani untuk melanjutkan proses legislasi tak kunjung turun. Berhenti begitu saja. Tidak ada penjelasan mengapa pimpinan DPR tidak mau Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) berlanjut.
Berbeda dengan RUU lain yang disambut antusias oleh DPR, bahkan ada yang dibahas dalam hitungan hari, RUU PPRT justru sebaliknya.
RUU yang diajukan sendiri oleh DPR sebagai RUU inisiatif justru berhenti di tangan DPR. Berganti-ganti periode, RUU ini tak pernah sampai pada pembahasan.
”Kami terus mendesak pimpinan DPR untuk menuntaskan pembahasan di sisa waktu periode ini. Menyandera RUU PPRT berarti menyandera PRT yang bekerja dalam situasi rentan kekerasan dan perbudakan,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT (JALA PRT) pada Kamis (22/8/2024).
RUU yang akan memberikan pengakuan pada pekerja rumah tangga, para perempuan dari kelompok marjinal, sepertinya sulit menjadi undang-undang. Bahkan, ketika DPR dipimpin seorang perempuan, perjalanan RUU PPRT pun belum berujung.
Baca juga: RUU PPRT Menanti DPR Menuntaskan Kerjanya…
Sekitar dua tahun lalu (2022), Ketua DPR sempat mengetok palu sidang di rapat paripurna memutuskan proses RUU tersebut berlanjut. Pemerintah pun menyambut. Bahkan, ada tim percepatan RUU PPRT.
Hanya dalam hitungan bulan, Draf RUU beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PPRT diselesaikan cepat, kemudian diserahkan ke DPR.
Tapi, yang terjadi selanjutnya proses legislasi RUU PPRT berhenti total. Para anggota DPR yang ditanya hanya bisa menjawab ”menunggu sikap Mbak Puan”. Tapi, waktu terus berlalu, perintah Puan Maharani untuk melanjutkan proses legislasi RUU PPRT tak kunjung datang.
Baca juga: DPR Didesak Berhenti Menyandera RUU Perlindungan PRT
Berbagai cara telah dilakukan PRT bersama organisasi JALA PRT dan organisasi perlindungan perempuan, juga didukung Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta organisasi agama dan mahasiswa.
Tak hanya aksi mogok makan, merantai diri di depan gerbang kompleks parlemen Senayan, surat terbuka bahkan film untuk Puan Maharani berisi balada dari para PRT, sepertinya tak mampu menggugah hati pimpinan DPR. Suara Puan pun seperti terkunci rapat.
Sementara kasus demi kasus penyiksaan pada PRT terus terjadi. Beberapa kasus penyiksaan PRT pun viral di media sosial. Seperti yang dialami Isabela Elu (20), PRT asal Nusa Tenggara Timur yang bekerja di sebuah rumah di daerah Jakarta Barat, berhari-hari kelaparan, dikurung majikannya.
Forum Diskusi Denpasar 12 sampai-sampai menggelar diskusi daring nonstop, dalam sebulan terakhir setiap Rabu topik diskusi yang diangkat berfokus isu RUU PPRT. Pada Rabu (21/8/2024), diskusi tersebut kembali membedah RUU PPRT dengan topik ”Kajian Hukum Terhentinya Proses Legislasi RUU PPRT di DPR, Bagaimana solusinya?”.
”Sebetulnya kita semua berharap pada sidang paripurna kemarin setelah pembukaan masa sidang setelah reses, di tanggal sidang 16 Agustus kita berharap ada kemajuan dari DIM yang sudah disampaikan oleh pemerintah dari sejak 2023,” ujar Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR.
Tetapi ternyata, hasil rapat para pimpinan DPR masih belum memasukkan RUU PPRT sebagai agenda yang bisa dibawa ke paripurna dan dimasukkan sebagai RUU yang disiapkan untuk dilakukan tindak selanjutnya.
Dari sisi anggota legislatif, menurut Lestari, soal substansi sudah selesai sehingga tidak ada perlu lagi ada pembahasan dan sosialisasi. ”Ngapunten, saya menggunakan kata kebangetan kalau orang enggak ngerti kenapa undang-undang ini sangat diperlukan,” ujar Lestari dalam diskusi yang dipandu Arimbi Heroepoetri, aktivis perempuan.
Karena itu, pada kesempatan tersebut, Lestari mengajak semua pihak agar tidak lelah mengawal proses RUU PPRT dan terus-menerus mempertanyakan kenapa proses RUU PPRT hingga kini terhenti di meja pimpinan DPR.
”Dari informasi yang saya dapatkan dari Wakil Ketua DPR, Bapak Rahmat Gobel, dalam hal ini adalah Wakil Ketua DPR. Beberapa catatan masih ada di meja pimpinan yang menyebutkan ada beberapa pasal yang masih belum bisa diterima oleh pemangku kebijakan,” papar Lestari.
Mouliza Kristhopher Donna Sweinstani, Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai hingga kini ada beberapa RUU yang belum selesai di DPR, termasuk RUU yang bersentuhan dengan kepentingan perempuan. Pada periode 2019-2024, kurang dari 5 persen RUU yang terkait dengan perempuan.
”Bahkan, seperti RUU PPRT, nasibnya ini sudah carry over (RUU yang tidak selesai di periode sebelumnya dilanjutkan ke periode selanjutnya) dari zaman dulu. Jadi, ini seolah-olah menjadi undang-undang yang carry over turun menurun,” papar Mouliza.
Kepentingan perempuan ditinggalkan
Padahal, jika dilihat dari kacamata perspektif jender, urgensi dari RUU PPRT diusulkan karena banyak pelanggaran hak, terutama terhadap perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga, seperti kekerasan, masalah upah, masalah jam kerja, tidak diberi makan, pelecehan, dan penyiksaan.
”Yang jadi pertanyaan, kenapa kepentingan perempuan itu sering ditinggalkan dalam pembahasan RUU? Padahal, sebetulnya tujuannya itu kan untuk menghadirkan jaminan hak-hak perempuan melalui pengesahan rancangan undang-undang. Tapi, ternyata itu semua tidak berjalan mulus dan butuh waktu yang lama,” ujar Mouliza.
Ada sejumlah alasan mengapa RUU PPRT belum juga disahkan DPR. Salah satu titik persoalannya adalah masih ada kesalahpahaman perspektif, bagaimana seharusnya perempuan ada dalam sebuah pembangunan ekonomi, terutama pembangunan ekonomi dalam sebuah negara.
Selain itu, masih adanya anggapan bahwa soal PRT tidak perlu diatur dengan undang-undang. Misalnya, cukup diatur di tingkat Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau yang lainnya, atau bahkan di peraturan daerah.
Berlarut-larutnya proses legislasi RUU PPRT juga kemungkinan karena ada anggapan bahwa RUU PPRT tidak menghasilkan keuntungan elektoral. Tidak tertutup kemungkinan juga ada konflik kepentingan pribadi di kalangan DPR sendiri.
Dukungan pengesahan RUU PPRT juga disuarakan Nursyahbani Katjasungkana (Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK), Pratiwi Febri (Ketua Riset dan Pengembangan Organisasi-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI), Atang Irawan (pakar hukum tata negara), dan Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika).
Kini, nasib RUU PPRT tinggal menghitung hari. Para PRT menanti komitmen DPR. ”PRT merasa diperlakukan sangat tidak adil, tidak dipedulikan, dan dipinggirkan. RUU lain bisa dibahas secepat kilat. Sementara RUU PPRT disandera,” ujar Lita.