Urgensi Pertobatan Ekologis untuk Alam yang Lebih Baik
Paus Fransiskus mengingatkan solusi terhadap krisis lingkungan harus mencakup aspek moral, sosial, dan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan lingkungan, seperti pemanasan global, polusi udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lain di bumi. Pertobatan ekologis kini menjadi penting mengingat dampak negatif dari aktivitas manusia terhadap alam semakin nyata.
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Datu Hendrawan, menyampaikan, sejak Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Laudato Si, istilah pertobatan ekologis semakin populer. Pertobatan ekologis merupakan konsep yang mengajak orang untuk menjalani kehidupan lebih seimbang dengan alam dan untuk mempertanggungjawabkan diri secara sosial dan spiritual terhadap lingkungan.
Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk lebih menghargai alam.
Baca juga: ”Ekonomi Fransiskus” Jalan Memanusiawikan di Tengah Ketersingkiran
Ensiklik ini memiliki judul lengkap Laudato Si: on care for our common home. Artinya, Terpujilah Engkau Tuhan: Memelihara Rumah Kita Bersama. Ensiklik ini merupakan ensiklik kedua Paus Fransiskus yang diterbitkan Takhta Suci Vatikan pada 18 Juni 2015.
”Ensiklik ini menarik. Di sana ada penekanan pada persoalan lingkungan hidup yang lingkupnya sangat lebar dan bersifat global. Dokumen tersebut tidak hanya berbicara pemanasan global atau perubahan iklim saja, tetapi juga berbicara tentang banyak manusia yang menjadi korban dari berbagai macam keserakahan manusia lainnya,” kata Datu dalam diskusi daring dengan tema ”Memaknai Kunjungan Paus: Pertobatan Ekologis” pada Kamis (22/8/2024) malam.
Datu melanjutkan, dokumen Laudato Si dipertegas Paus Fransiskus dengan diterbitkannya Laudate Deum, yang merupakan seruan mendesak untuk mengatasi krisis iklim. Dalam surat ini, Paus Fransiskus menyatakan bahwa krisis iklim adalah nyata dan tidak dapat disangkal. Adapun krisis ini disebabkan oleh aktivitas manusia.
”Di sini juga ditekankan adanya dosa struktural. Sebab, kerusakan lingkungan bukan hanya ditimbulkan oleh satu orang individu saja, melainkan berbagai umat. Bahkan, banyak manusia yang tidak sadar telah merusak alam dan mereka terus mengulanginya lagi di lain hari. Jadi, pertobatannya itu perlu yang bersifat komunal,” ujar Datu.
Indonesia dan dunia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Ada tiga krisis yang saat ini mengancam, yakni krisis iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Situasi itu membutuhkan respons cepat. Banyak ahli berpandangan, jika tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan umat manusia, pada 2050 anak-anak muda akan menghadapi beragam bencana ekologis.
Keadilan sosial
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Wahyu Eka Setiawan menambahkan, manusia tidak bisa dipisahkan dengan sistem ekologi. Sebab, sistem ekologi terbagi menjadi beberapa sistem, seperti air, tanah, dan batu.
”Manusia menanam dan belajar dari alam, kemudian alam memberi pengetahuan. Lingkungan memberikan input pengetahuan dan manusia mengembangkannya. Apa yang terjadi pada manusia hari ini adalah bagaimana manusia memaknai alam sebelumnya,” tutur Wahyu.
Di sisi lain, Wahyu menekankan pentingnya keadilan sosial dalam konteks ekologi. Dalam pelestarian lingkungan juga harus mempertimbangkan kesejahteraan manusia, dengan menaruh perhatian khusus kepada kaum miskin dan tersingkir yang sering kali menjadi korban degradasi lingkungan.
Saat ini, manusia tidak dihadapkan pada dua krisis yang terpisah, satu krisis lingkungan dan satu krisis sosial, tetapi satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan. Perlu strategi untuk mencari solusi dalam memerangi kemiskinan atau memulihkan martabat mereka yang terpinggirkan, tetapi pada saat yang sama juga melindungi alam.
”Solusi terhadap krisis lingkungan harus mencakup aspek moral, sosial, dan ekonomi. Kemudian, harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas,” ujar Wahyu.
Di Indonesia, ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis ekologis masih terlihat. Hal ini seperti adanya berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan secara serampangan. Wahyu mencontohkan, pemerintah tetap meneruskan program Food Estate. Program yang digadang-gadang jadi sumber pengadaan pangan nasional itu ternyata justru memicu persoalan baru, seperti pembukaan lahan hutan, pengabaian masyarakat adat, dan memicu konflik agraria.
Selain itu, hilirisasi nikel juga memicu banyak persoalan sosial. Hilirisasi nikel ini mengakibatkan ribuan, bahkan puluhan ribu, petani dan nelayan kehilangan mata pencarian.
Akar masalah krisis ekologi dan implementasi pertobatan ekologis tidak mungkin tercapai jika hanya pada tataran individu saja. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat luas harus bekerja sama dalam mengentaskan masalah ini. Sebab, perubahan merupakan inti dari pertobatan.
Kerusakan ekologis merupakan hal krusial yang seharusnya menjadi perhatian utama. Sayangnya, isu tentang kerusakan ekologis kurang begitu eksis dalam masyarakat. Padahal, kerusakan ini terjadi di tingkat global ataupun lokal.
Tanaman, hewan, dan makhluk hidup atau mati di alam semesta ini dikatakan Paus merupakan saudara bagi umat manusia. Maka dari itu, umat manusia wajib untuk tidak sekadar mengakui keberadaan mereka, tetapi juga wajib merawat alam semesta ini. Paus Fransiskus menegaskan bahwa bumi dan alam semesta sebagai rumah bersama.
Baca juga: ”Laudato Si”: Bertobatlah, Kerusakan Alam Sudah di Depan Mata
Tobat ekologis harus dimulai dengan penegakan etika lingkungan, lalu pembangunan harus dilaksanakan dengan kajian matang. Kajian dari sisi kemanfaatan, kesesuaian dengan regulasi perundangan, pandangan ilmuwan, hingga persetujuan dari publik tidak boleh lagi ditinggalkan. Kemudian, pembangunan tidak boleh lagi dilakukan secara ugal-ugalan.
Manusia perlu menekan prilaku konsumtif yang merupakan bentuk keserakahan dalam memanfaatkan alam demi kepuasan pribadi. Melihat realitas kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta yang semakin lama semakin rusak, manusia seharusnya berpikir untuk dapat membuat sesuatu yang bermanfaat untuk alam.
Koordinator Arsitek Komunitas (Arkom) Puspitaningtyas Sulistyowati juga setuju bahwa krisis ekologi berpotensi menyebabkan krisis kemanusiaan lainnya, termasuk dapat menyebabkan ketidakadilan. ”Ada manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain di bumi. Harusnya bumi menjadi tempat tinggal yang adil untuk semua. Namun, sudahkah semuanya mendapatkan keadilannya masing-masing?” ujar perempuan yang akrab disapa Tyas ini.
Kesadaran beberapa individu tidak dapat mengubah perilaku sebagian menusia atau kelompok yang masih aktif melakukan pencemaran. Kebiasaan ini kemudian dijadikan budaya mengabaikan keselamatan ekologi sehingga berimplikasi terhadap bencana alam dan perubahan iklim.
Prinsip peduli lingkungan sia-sia ketika masih banyak manusia yang terbiasa membuang sampah sembarangan, melakukan pembuangan emisi gas, ataupun menebang pohon. Meski manusia sadar bahwa perubahan suhu bumi semakin meningkat, nyatanya kebiasaan mencemari lingkungan masih sering dilakukan.
Hal ini terjadi seiring perilaku manusia modern yang lebih mementingkan aspek ekonomi daripada aspek ekologi. Dalam artian, manusia saat ini tega mewarisi generasi berikutnya dengan kondisi bumi yang semakin sulit diselamatkan.
Agenda kedatangan Paus
Seperti diketahui, kurang dari dua minggu lagi, Paus Fransiskus akan menginjakkan kaki di Indonesia. Dalam rangkaian kunjungannya ke Indonesia pada 3-6 September 2024, Paus Fransiskus akan melakukan sejumlah agenda di Jakarta. Selain memimpin misa akbar di Gelora Bung Karno, Paus Fransiskus juga diagendakan bertemu dengan para pemuda dan kelompok difabel di Graha Pemuda, kompleks Gereja Katedral, Jakarta Pusat.
Selain di Graha Pemuda, Paus Fransiskus juga akan mengadakan pertemuan dengan para uskup, imam, diakon, pelaku hidup bakti, seminaris, dan katekis di Gereja Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga. Gereja yang pertama kali dibangun dengan arsitektur neogotik pada 1800-an dan diresmikan pada 1901 ini juga menjadi bangunan cagar budaya.
Agenda Paus lainnya ialah mengunjungi Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Gereja Katedral dengan Masjid Istiqlal. Terowongan bawah tanah ini sampai sekarang masih dalam tahap penyelesaian, termasuk pemasangan karya seni berupa patung tangan yang berjabat, lampu atau pencahayaan, serta alunan musik.
Romo Yustinus Sulistyadi yang juga pengarah panitia acara mengatakan, saat bertemu dengan para pemuda dan kelompok difabel di Graha Pemuda, Paus Fransiskus akan menggemakan nilai-nilai persaudaraan yang universal. Paus juga tidak hanya akan berbicara terkait eksklusivitas dalam iman katolik.
”Bagaimanapun, Paus menjadi tokoh yang berbicara secara internasional persoalan etis lintas bangsa. Jadi, ketika bertemu dengan para tokoh, Paus juga tidak akan berbicara tentang Katolik. Sebab, semua manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, hidup bersama di bumi sehingga perlu terus dirawat,” tuturnya (Kompas.id, 22/8/2024).
Yustinus menggarisbawahi, Paus Fransiskus merupakan seorang pemimpin Katolik yang berasal dari Argentina. Kondisi ini membuat Paus memahami berbagai persoalan yang dihadapi negara dunia ketiga, mulai dari aspek ekonomi, politik, lingkungan, sosial, hingga budaya.