Indonesia Bisa Memenuhi Kebutuhan Gizi Sekaligus Menurunkan Emisi
Sebagai negara kepulauan, pangan laut seharusnya menjadi pilihan utama untuk menutupi defisit protein daripada daging.
Indonesia memiliki tingkat konsumsi daging sangat rendah. Defisit protein hewani ini berkontribusi terhadap masalah malanutrisi. Indonesia bisa mengoptimalkan potensi kacang-kacangan dan polong-polongan serta pangan laut untuk menutup defisit protein ini, sekaligus mengurangi emisi karbon.
Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan, konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada 2023 hanya 1,7 kilogram (kg) per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan konsumsi rata-rata di negara anggota OECD yang sebesar 13,8 kg per kapita. Argentina memiliki konsumsi daging sapi tertinggi, mencapai 30,8 kg per kapita, disusul Amerika Serikat 25,8 kg per kapita.
Dibandingkan negara ASEAN lain, konsumsi daging sapi di Indonesia juga relatif kecil. Malaysia dan Vietnam, misalnya, masing-masing mengonsumsi 5,4 kg per kapita per tahun. Sementara Filipina 2,3 kg per kapita.
Konsumsi daging ayam di Indonesia juga tergolong rendah, yaitu 8 kg per kapita per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dari rata-rata negara OECD yang mencapai 21,9 kg per kapita. Vietnam mengonsumsi 10,6 kg daging ayam per kapita, sedangkan Malaysia 29,9 kg per kapita per tahun.
Banyak studi menunjukkan, tingginya konsumsi daging dikaitkan dengan lambatnya pertumbuhan anak atau stunting di populasi berpendapatan rendah. Ini, misalnya, dilaporkan Nancy F. Krebs dari University of Colorado Denver dan tim di Food Nutrition Bulletin tahun 2011.
Stunting tentu saja tidak hanya disebabkan rendahnya konsumsi daging. Beberapa penelitian menunjukkan, stunting atau tengkes di Indonesia berkaitan erat dengan faktor penentu sosial ekonomi, seperti rendahnya pendidikan orangtua, infrastruktur sanitasi yang tidak memadai, dan pencemaran lingkungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam kajiannya ”Red and Processed Meat in the Context of Health and the Environment” tahun 2023 menyebutkan, daging merah memiliki peran penting untuk memenuhi asupan gizi di fase penting kehidupan, termasuk sebelum dan selama kehamilan dan dalam 1.000 hari pertama antara pembuahan dan ulang tahun kedua seorang anak.
Hal ini karena daging merah kaya akan vitamin dan mineral yang sangat mudah diserap tubuh, terutama zat besi dan vitamin B12, serta senyawa penting lainnya untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan yang baik. Meskipun konsumsi daging merah bukan satu-satunya sumber senyawa ini, ada beberapa wilayah dan populasi tertentu di mana daging merah menjadi sumber utama yang mudah diserap tubuh.
Baca juga: Tekan Risiko ”Stunting” dengan Pangan Lokal
Di sisi lain, WHO juga mengingatkan bahwa konsumsi daging merah, terutama bagi orang dewasa, berisiko meningkatkan penyakit tidak menular. Pada tahun 2015, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) mengklasifikasikan daging merah sebagai karsinogen Kelompok 2A, yang berarti daging merah ”mungkin bersifat karsinogenik bagi manusia”. IARC memperkirakan, risiko kanker meningkat sebesar 17 persen per 100 g daging merah yang dikonsumsi per hari.
Laporan penelitian terbaru dari para peneliti Cleveland Clinic yang dipublikasikan di NPJ Precision Oncology, bagian dari jurnal Nature (2024), menunjukkan, konsumsi daging merah dan daging olahan terbukti meningkatkan risiko kanker usus besar pada anak-anak muda. Sebaliknya, mengurangi asupan daging olahan terbukti secara signifikan bisa mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, kanker kolorektal, hingga diabetes di masyarakat.
Dari aspek lingkungan, menurut penelitian M. Li dan tim di jurnal Nature Food (2022), sistem pangan global menyumbang sekitar 15,8 GtCO2e, setara dengan 30 persen emisi gas rumah kaca dunia. Emisi ini dihasilkan dari proses produksi, distribusi, konsumsi, hingga sampah makanan.
Produksi daging dan susu di peternakan diketahui menjadi penyumbang besar emisi dibandingkan sumber pangan dari nabati. Selain dari besarnya lahan yang dibutuhkan untuk menopang pakan, kotoran ternak ruminansia, termasuk sapi mengeluarkan gas metan yang merupakan gas rumah kaca kuat.
Xiamoming Xu dari University of Illinois dan tim di Nature Food pada 2021 menghitung, perbedaan emisi antara produksi daging dan nabati sangat mencolok. Produksi 1 kg gandum mengeluarkan 2,5 kg emisi. Sementara produksi 1 kg daging sapi mengeluarkan 70 kg emisi.
Kabar baiknya, kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus mendapat manfaat kesehatan dengan mengubah pola konsumsi. Para ahli yang tergabung dalam Komisi EAT-Lancet pada tahun 2019 pun merekomendasikan pola konsumsi rendah daging merah untuk kesehatan tubuh dan lingkungan. Pola makan sehat Planet EAT-Lancet ini mirip dengan pola makan vegetarian, sekalipun tetap memperbolehkan sedikit produk susu dan protein hewani, seperti ikan, telur, dan daging.
Baca juga: Mitigasi Iklim dan Tetap Sehat dengan Meninggalkan Daging
Mengubah pola konsumsi
Studi terbaru di Nature Climate Change pada Selasa (13/8/2024) menunjukkan, berapa banyak dan apa yang kita makan dan di mana itu diproduksi dapat menciptakan perbedaan besar dalam emisi gas rumah kaca. Yanxian Li dari University of Groningen yang menjadi penulis pertama laporan ini.
Kajian ini menganalisis distribusi emisi yang terkait 140 produk makanan di 139 negara. Mereka menemukan, emisi dari pangan tahunan global akan turun sebesar 17 persen jika penduduk dunia mengadopsi diet kesehatan Planet EAT-Lancet. Untuk mencapai itu, peneliti merekomendasikan pengurangan pasokan global kalori daging merah sebesar 81 persen, semua gula sebesar 72 persen, umbi-umbian 76 persen, dan biji-bijian 50 persen. Sementara itu, kacang-kacangan dan polong-polongan perlu ditingkatkan sebesar 438 persen, lemak tambahan 62 persen, dan sayur-sayuran serta buah-buahan 28 persen.
Baca juga: Substitusi Daging Merah dengan Kacang Bisa Menjaga Asupan Protein dan Tulang
Para peneliti juga menganalisis data ketimpangan kebiasaan konsumsi makanan dari sejumlah negara ini sebagai sarana untuk membandingkan emisi gas rumah kaca akibat produksi pangan di antara negara-negara yang sama. Di banyak negara, kelompok konsumen dengan pengeluaran yang lebih tinggi umumnya menyebabkan lebih banyak emisi makanan karena asupan daging merah dan susu yang lebih tinggi. Kelompok ini disebut sebagai konsumen berlebihan.
Oleh karena itu, para peneliti lebih menyarankan pengurangan konsumsi daging merah terutama untuk kalangan konsumen berlebihan ini. Jika mereka beralih ke pola makan kesehatan Planet EAT-Lancet, emisi gas rumah kaca global yang terkait dengan produksi pangan dapat dikurangi hingga 32,4 persen.
Yuli Shan, anggota penulis dari School of Geography, Earth and Environmental Sciences, University of Birmingham, mengatakan, upaya menurunkan emisi melalui perubahan pola konsumsi ini terutama harus dilakukan kalangan kaya yang cenderung mengonsumsi daging merah berlebih.
”Perubahan pola makan ini akan membantu mencapai manfaat kesehatan dan iklim yang signifikan,” katanya.
Biaya tinggi dan keterjangkauan yang rendah tetap menjadi hambatan terbesar bagi kelompok miskin ini untuk memilih pola makan yang lebih sehat.
Di sisi lain, negara-negara berpendapatan rendah menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencapai pola makan yang lebih sehat. Penduduk miskin sering memilih makanan yang lebih murah, padat kalori dengan manfaat gizi yang lebih sedikit.
Biaya tinggi dan keterjangkauan yang rendah tetap menjadi hambatan terbesar bagi kelompok miskin ini untuk memilih pola makan yang lebih sehat. Ini berarti upaya kebijakan harus difokuskan pada upaya untuk menyediakan makanan padat gizi yang lebih terjangkau dan mudah diakses, terutama untuk kelompok pengeluaran yang lebih rendah. Dalam konteks ini, daging jelas menjadi pilihan tidak mudah untuk di Indonesia.
Potensi pangan laut
Hingga saat ini, Indonesia masih defisit protein daging—dan susu—sehingga harus bergantung pada impor. Kondisi lahan pertanian yang terbatas di Indonesia tidak mendukung ternak skala besar.
Data Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2021, impor daging sapi Indonesia senilai 785,1 5 juta dollar AS dengan volume 211.430 ton. Berdasarkan nilainya, impor daging sapi naik 26,51 persen dari tahun 2020 yang sebesar 585,99 juta dollar AS.
Alih-alih meningkatkan impor daging untuk mengejar defisit protein hewani, Indonesia bisa memanfaatkan sumber makanan laut yang menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dan lebih padat nutrisi daripada daging. Ketersediaan daging yang relatif terbatas sebaiknya diprioritaskan pada anak-anak di masa pertumbuhan dan ibu hamil, sebagaimana disarankan WHO.
Baca juga: Masa Depan Pangan Laut Kita
Sementara itu, untuk populasi umum, sebaiknya didorong mengonsumsi protein laut. Tak hanya bisa menjadi alternatif sumber protein yang baik, makanan laut juga ramah iklim. Studi di Communications Earth & Environment pada 2022 menunjukkan, banyak sumber makanan laut menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dan lebih padat nutrisi daripada daging sapi, babi, atau ayam.
Penelitian Peter Tyedmers, ekonom ekologi di Universitas Dalhousie di Halifax, Kanada, dan tim menunjukkan bahwa kebijakan untuk mempromosikan makanan laut sebagai pengganti protein hewani lainnya dapat meningkatkan ketahanan pangan di masa depan dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Dalam kajian ini, para peneliti menganalisis 41 spesies makanan laut dan menetapkan skor kepadatan nutrisi dengan memperhitungkan nutrisi penting, seperti lemak dan vitamin tertentu. Hasil penelitian menunjukkan, setengah dari spesies makanan laut menawarkan lebih banyak nutrisi dan lebih sedikit emisi dibanding daging sapi, babi, dan ayam.
Salmon merah (Oncorhynchus gorbuscha) tangkapan liar dan salmon sockeye (Oncorhynchus nerka), bersama dengan ikan pelagis kecil, seperti herring dan makarel, ikan teri, dan bivalvia yang ditangkap di alam liar, adalah pilihan terbaik untuk sumber protein padat nutrisi dan rendah emisi.
Data-data saintifik ini seharusnya menjadi dasar bagi transformasi pangan ke depan. Tak hanya memenuhi kebutuhan gizi, pemenuhan pangan ke depan juga harus mengurangi dampaknya pada emisi gas rumah kaca.
Sebagai negara kepulauan, potensi pangan laut bisa menjadi pilihan utama untuk menutupi defisit protein daripada meningkatkan konsumsi daging yang bergantung pada impor. Ini membutuhkan perbaikan rantai pasok, termasuk rantai dingin produk perikanan sehingga bisa mencapai konsumen dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau.
Selain potensi pangan laut, Indonesia juga bisa mengoptimalkan kacang-kacangan dan polong-polongan, yang keberagamannya di Indonesia sangat tinggi, termasuk dari sumber liar alias wild food.