Pesan-pesan dari Pulau Dewata
Ratusan karya gelaran Indonesia Bertutur menyeruak di tengah ramainya kunjungan pelancong mancanegara di Pulau Dewata.
Temaram senja menerpa Pulau Peninsula, Nusa Dua, Bali, Jumat (16/8/2024) petang. The Observatory, grup band asal Singapura, mengawali pentas dengan lantunan musik meditatif.
Suasana teduh semakin terbangun ketika musik kontemplatif itu beradu dengan pemutaran video hutan hijau sebagai latar belakang panggung. Benar-benar syahdu!
Perlahan, ritme musik mulai dinamis. Alunannya mengikuti gerak video seekor serangga yang tengah merayap di antara serasah dedaunan.
Band bergenre art rock ini mulai bereksplorasi dengan alat musiknya masing-masing. Dharma sang gitaris tak puas hanya sekadar memetik gitar. Ia juga menggesek gitarnya dengan bow (alat penggesek biola/cello).
Sementara, Yuen Chee Wai pelan-pelan menguatkan tabuhan drumnya dengan sesekali memberi efek suara mengejutkan. Musik The Observatory yang atonal (tidak terikat oleh kunci nada tertentu) semakin memuncak di bawah panduan instrumen elektronik Cheryl Ong.
Alunan musik yang awalnya bernuansa meditatif berubah semakin dinamis dan mencapai klimaks dalam deru musik remix. Suasana keteraturan itu tiba-tiba berubah menjadi cheos!
Perubahan suasana ini juga tergambar dari video yang mengiringi musik The Observatory. Kedamaian hutan hijau tiba-tiba beralih menjadi serangga yang melata tak tahu arah, hingga akhirnya memuncak pada kekacauan dalam nuansa merah merona.
Kepiawaian band ini memainkan ritme emosi, membuat para penonton di hamparan rumput Pulau Peninsula tak beranjak. Selain anak-anak muda, banyak turis mancanegara turut menikmatinya.
Baca juga: Indonesia Bertutur Mengomunikasikan Ekspresi Budaya kepada Generasi Muda
Sine-orkestra Samsara
Selepas makan malam, masih di Pulau Peninsula tetapi di panggung yang berbeda, penonton kembali disuguhi sine-orkestra Samsara, sebuah pertunjukan orkestra yang mengiringi film bisu hitam putih garapan sutradara senior, Garin Nugroho.
Samsara mengangkat tema praktik pesugihan secara mistis di Bali pada era tahun 1930-an. ”Tahun 1930 adalah era yang sangat luar biasa di Bali. Era turisme pertama di Bali, era industri dan era bergabungnya aspek ilmu pengetahuan, musik, fashion, dan percampuran seni,” papar Garin.
Untuk menyuguhkan konteks tersebut, pada musik, Garin mengolaborasikan dua komposer, I Wayan Sudirana dengan Kasimyn (Aditya Surya Taruna)-Gabber Modus Operandi. Pada film, ia menggabungkan sosok-sosok kuat, mulai dari aktor Ario Bayu dan Gus Bang Sada, pebalet keturunan Australia-Indonesia Juliet Widyasari Burnett, koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani, desainer kostum Retno Galih Damayanti, dan sebagainya.
”Indonesia Bertutur adalah perpaduan antara warisan budaya, kebudayaan alternatif, dan kebudayaan populer. Hari ini, tiga kebudayaan penyangga warisan dunia melebur dalam Indonesia Bertutur melalui Samsara,” jelas Garin.
Menurut Garin, era mistis tahun 1930 di Bali masih berlanjut hingga kini. Kisah-kisah tentang ketamakan manusia atas dasar cinta, hingga seseorang rela melakukan hal-hal mistis demi mendapatkan keinginannya masih saja ada. Samsara hanyalah representasi semata.
Malam itu, untuk pertama kalinya Samsara tampil di ”kampung halaman” sebelumnya dipentaskan di Esplanade Concert Hall, Singapura. ”Ini adalah tantangan luar biasa bagi saya, karena di film ini tidak ada dialog dan semuanya disampaikan lewat tubuh sebagai medium. Project ini sangat berbeda dengan film-film yang pernah saya perankan,” ungkap Ario Bayu.
Menerawang subak
Sekitar dua jam dari pesisir Nusa Dua, karya-karya para perupa juga hadir di tengah riuh rendah kunjungan wisatawan mancanegara di Ubud. Di Arma Museum & Resort, seniman muda Sharon Joetama mencuri perhatian dengan karyanya yang berjudul ”Out of Focus”.
Setelah mengikuti Temu Seni Fotografi dalam pre-event Indonesia Bertutur 2023, Sharon mencoba merefleksikan masa lalu, masa kini, dan masa depan subak. Ia memotret sawah lalu mengemasnya di dalam kotak frame akrilik berikut air dan tanah yang ia ambil langsung dari sawah.
Pada karya 1, Sharon memotret hamparan sawah dengan latar belakang deretan bangunan yang mulai merangsek masuk ke areal persawahan. Begitu foto itu dibalik, tampak foto sawah yang terendam lumpur bercampur sampah plastik.
Berikutnya pada karya 2, ia memotret sawah terasering dengan latar belakang pemancar besi dan rumah. Begitu foto diputar, kembali Sharon menyuguhkan kejutan. Ia memotret hamparan besi-besi cor lengkap dengan potongan-potongan besi dan endapan batu bata bangunan yang ia masukkan ke dalam kotak akrilik.
Melalui karyanya, Sharon memberikan tawaran kepada audiens tentang bagaimana dampak nyata dari masifnya pembangunan. Tentu, penilaian dan pilihan selanjutnya ia serahkan kepada para penikmat karya.
Masih di Ubud, di Museum Puri Lukisan, perupa Indah Arsyad menyuguhkan karya instalasi video imersif bertajuk ”Amrta”. Salah satu seniman peserta Residensi Visaraloka dalam Indonesia Bertutur 2024 ini mengeksplorasi aliran air menjadi harmoni suara yang kemudian dipadukan dengan video tari Calonarang.
Aliran air masuk ke rongga-rongga bambu, lalu mengangkat pemukul-pemukul kenong (alat musik gamelan) dan bambu, sehingga menghasilkan harmoni suara. Air bukan hanya menjadi sumber kehidupan, tetapi juga memunculkan harmoni kehidupan.
Di tempat yang sama, perupa Yudha Kusuma Putera menampilkan karya ”Simulasi Lanskap Kali Oya” yang ia padukan dari fotografi cetak duratrans, akrilik, bebatuan, dan kabel. Instalasi ini menampilkan foto lanskap Sungai Oya di Gunungkidul, Yogyakarta, dari atas dan batu-batu kecil yang diasah di atasnya.
Untuk melihat lebih detail batu-batu itu, Yudha menyertakan kaca pembesar yang biasanya digunakan untuk memeriksa batu akik. Di sini, ia hendak mengajak siapa pun untuk masuk lebih intim kepada keindahan alam yang terwakili, bahkan melalui benda-benda kecil.
Tetap relevan
Beberapa pentas dan karya di atas adalah bagian dari perhelatan Indonesia Bertutur 2024 yang diinisiasi oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kegiatan yang telah diselenggarakan dua kali sejak 2022 ini menjadi sarana untuk menjelajahi cagar budaya dan warisan budaya tak benda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dan gagasan yang tetap relevan dengan kehidupan hari ini.
Indonesia Bertutur 2024 diselenggarakan di Batubulan, Ubud, dan Nusa Dua, Bali, pada 7–18 Agustus 2024, dengan mengangkat tema mengenai Subak, yang mengandung berbagai nilai dan pengetahuan berharga, dan telah menjadi warisan budaya dunia. Kegiatan ini melibatkan sekitar 900 seniman dan pelaku budaya dan menampilkan lebih dari 100 karya dari beragam bidang seni dan tradisi.
Baca juga: 900 Pelaku Budaya Tampilkan Karya di Indonesia Bertutur
"Indonesia Bertutur lebih banyak memberikan keleluasaan kepada semua orang untuk bisa mengekspresikan warisan budaya kita agar menjadi relevan dengan anak-anak muda sekarang. Apa saja boleh ditampilkan, mulai dari pertunjukan kontemporer, instalasi, video mapping, dan sebagainya. Jadi, Indonesia bertutur memberikan ranah itu. Prinsipnya, orang yang ingin berekspresi harus tetap berdasarkan identitas budaya, tidak keluar dari sana,” kata Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru, Ditjen Kebudayaan, Ahmad Mahendra.