Momentum Membangkitkan Gastronomi Lokal di KCBN Muarajambi
Di tengah revitalisasi KCBN Muarajambi, warga di desa-desa sekitarnya menggali kembali kekayaan gastronomi lokal.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
MUARO JAMBI, KOMPAS — Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional atau KCBN Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, bukan sekadar memugar struktur candi dan menata kawasannya. Revitalisasi ini juga menjadi momentum membangkitkan kekayaan gastronomi lokal di desa-desa sekitarnya.
Gastronomi tidak cuma menyangkut kuliner, tetapi juga memuat pengetahuan sejarah dan budaya. Potensi gastronomi banyak ditemui di delapan desa penyangga KCBN Muarajambi, yaitu Desa Baru, Dusun Mudo, Muaro Jambi, Danau Lamo, Kemingking Dalam, Kemingking Luar, Tebat Patah, dan Teluk Jambu.
Di tengah revitalisasi yang sedang berlangsung, warga di desa penyangga menggali kembali gastronomi lokal di desa masing-masing. Di Desa Tebat Patah, misalnya, warga masih mengolah makanan berbahan ikan gabus. Ikan tersebut berasal dari lubuk larangan yang terletak di sekitar permukiman warga.
Lubuk larangan merupakan kawasan di sepanjang aliran sungai atau kolam yang telah disepakati secara adat untuk tidak diambil ikannya dalam jangka waktu tertentu. Ikan di lubuk tersebut tidak diambil selama setahun.
Setelah itu, warga akan menjalani tradisi Bekarang (menangkap ikan) secara bersama-sama. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, seperti serkap dan sauk-sauk.
”Kami menganggap ini momentum untuk membangkitkan gastronomi lokal. Selain itu, tentu juga berharap meningkatkan perekonomian masyarakat,” ujar Kepala Desa Tebat Patah, Taufik, saat menghadiri lokakarya gastronomi lokal di desa tersebut, Kamis (15/8/2024).
Lokakarya itu digelar menjelang Kenduri Swarnabhumi di Desa Tebat Patah pada 24 Agustus mendatang. Dalam lokakarya, puluhan ibu mendapat pelatihan dari komunitas Pasar Dusun Karet (Paduka) yang berpengalaman memanggungkan gastronomi lokal. Mereka dilatih tentang penyajian makanan tradisional.
Gastronomi tidak cuma menyangkut kuliner, tetapi juga memuat pengetahuan sejarah dan budaya. Potensi gastronomi banyak ditemui di delapan desa penyangga KCBN Muarajambi.
Penyajian makanan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Berbagai jenis dedaunan dimanfaatkan untuk alas piring, gelas, dan sendok. Pemakaian peralatan makanan berbahan plastik diminimalkan.
”Nyai-nyai menimba ilmu tentang penyajian makanan yang ramah lingkungan. Mereka juga belajar merangkai cerita yang berhubungan dengan makanan yang disajikan. Bahan makanan diambil dari lingkungan sekitar,” tuturnya.
Taufik menambahkan, upaya mengangkat kembali gastronomi lokal juga diharapkan sejalan dengan pelestarian lingkungan. Ia mencontohkan, dengan melestarikan pangan lokal, warga didorong untuk menanam bahan-bahan makanan tersebut agar berkelanjutan.
”Ini menjadi pola bagi masyarakat untuk melestarikan budaya dan menjaga lingkungan. Kami masih terus menggali pangan lokal yang dikonsumsi orangtua terdahulu,” ucapnya.
Suryani (49), peserta lokakarya, mengatakan, pangan lokal di Tebat Patah diyakini mempunyai berbagai khasiat. Mengonsumsi ikan gabus, misalnya, membantu mempercepat pemulihan luka.
”Nyai kami dulu selalu makan ikan gabus setelah melahirkan. Hal ini masih dilakukan hingga sekarang,” ujarnya.
Desa Kemingking Dalam mencoba mengangkat kembali pangan lokal sayur rebung bambu mayan. Rebung bambu jenis ini mempunyai daging tebal dan rasa lebih gurih. Sayur pucuk pakis juga menjadi hidangan khas warga desa tersebut.
Kepala Desa Kemingking Dalam Adi Hendra menuturkan, bambu mayan mulai sulit didapat. Padahal, dulu, tanaman-tanaman ini banyak tumbuh di pinggir sungai dan kebun warga.
”Kami akan coba galakkan menanam bahan-bahan makanan tradisional. Mungkin dampaknya belum tentu dirasakan oleh generasi sekarang, tetapi oleh generasi anak cucu kami,” ucapnya.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, pemberdayaan gastronomi lokal dibarengi dengan narasi sejarah dan budaya yang menyertainya. Hal inilah yang membedakannya dengan penyajian kuliner pada umumnya.
”Warga tidak perlu minder dengan makanan tradisional. Ini bisa naik daun lagi dengan cara masakannya tetap tradisional, tetapi penyajiannya disesuaikan dengan konteks kekinian. Cerita di balik makanan itu justru yang membuatnya menarik,” ujarnya.