Memahami Peringatan Gempa Besar "Megathrust" di Jepang dan Indonesia
Dibandingkan Jepang, risiko gempa bumi dan tsunami Indonesia lebih tinggi karena lemahnya kapasitas mengurangi risiko.
Para ilmuwan gempa bumi dari Badan Meteorologi Jepang atau JMA mengeluarkan peringatan bahwa negara itu harus bersiap menghadapi kemungkinan gempa besar suatu hari nanti, yang dapat menewaskan ratusan ribu orang. Sekalipun konteksnya berbeda, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG juga menyampaikan peringatan serupa untuk Indonesia.
Peringatan tentang kemungkinan terjadinya gempa besar ini dikeluarkan JMA setelah gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,1 mengguncang lepas pantai Pulau Kyushu pada Kamis (8/8/2024). Gempa tersebut menyebabkan delapan orang terluka dan memicu tsunami kecil yang mencapai pesisir Kyushu dan Shikoku. Tsunami setinggi 50 sentimeter diamati di sebuah pelabuhan di kota Miyazaki.
”Peringatan gempa besar,” demikian JMA menyampaikan pengumumannya. ”Jika gempa besar terjadi di masa mendatang, guncangan kuat dan tsunami besar akan terjadi.”
Baca juga: Gempa ”Berskala Sangat Besar” Intai Jepang, Ancam Ratusan Ribu Jiwa
Menurut JMA, ”Kemungkinan gempa besar baru lebih tinggi dari biasanya, tetapi ini bukan indikasi bahwa gempa besar pasti akan terjadi selama periode waktu tertentu.”
Peringatan dari JMA kali ini menyangkut ”zona subduksi” Palung Nankai yang berada di antara dua lempeng tektonik di Samudra Pasifik, tempat gempa besar pernah terjadi di masa lalu. Gempa M 7,1 kali ini dikhawatirkan memicu gempa lebih besar di segmen ini.
Palung Nankai berada di bawah laut sepanjang 800 kilometer, membentang dari Shizuoka, sebelah barat Tokyo, hingga ujung selatan Pulau Kyushu. Palung ini sebelumnya telah menjadi lokasi gempa dahsyat berkekuatan M 8 atau M 9 setiap satu atau dua abad. Gempa yang disebut megathrust ini telah diketahui dapat memicu tsunami berbahaya di sepanjang pantai selatan Jepang.
Pada tahun 1707, segmen Palung Nankai pecah sekaligus, memicu gempa bumi yang masih menjadi gempa terkuat kedua di negara ini yang pernah tercatat. Gempa tersebut, yang memicu letusan terakhir Gunung Fuji, diikuti oleh dua megathrust atau zona subduksi Nankai yang dahsyat pada 1854, lalu sepasang tahun 1944 dan 1946.
Jika gempa besar kembali terjadi di zona kegempaan ini, hal itu dapat memengaruhi sebagian besar garis pantai Pasifik Jepang. Beberapa studi dan simulasi yang dibuat para ilmuwan di Jepang menyebutkan, gempa dan tsunami di zona ini bisa mengancam sekitar 300.000 jiwa dalam skenario terburuk.
Berada di atas empat lempeng tektonik utama, kepulauan Jepang yang berpenduduk 125 juta orang itu mengalami sekitar 1.500 gempa setiap tahun, sebagian besar di antaranya gempa kecil. Bahkan dengan gempa lebih besar, seperti terjadi pekan lalu, dampaknya cenderung kecil berkat teknik pembangunan tahan gempa dan prosedur peringatan dini gempa (earthquake early warning system) yang dijalankan dengan baik.
Dampak kerusakan dan korban jiwa akibat gempa bumi dan tsunami tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya magnitudo. Namun, faktor terpenting adalah bagaimana kita menyiapkan diri dan mengurangi risiko.
Ancaman "megathrust" di Indonesia
Berada di zona kegempaan seaktif Jepang, Indonesia juga berada dalam ancaman gempa besar. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, Indonesia juga memiliki segmen megathrust yang ”tinggal menunggu waktu” lepas. ”Misalnya, megathrust Selat Sunda dan megathrust Mentawai-Siberut sangat berpotensi terjadi gempa besar,” katanya.
Peringatan Daryono ini disampaikan ke sejumlah media sehingga memicu keriuhan di media sosial. Namun, sebagaimana disampaikan Daryono, ”kapan terjadinya gempa itu, tidak ada yang tahu”.
Menurut Daryono, gempa megathrust tinggal menunggu waktu ini bisa dimaknai bahwa di zona ini ada potensi gempa signifikan, tetapi belum bisa diprediksi kapan terjadinya. ”Mengapa dikatakan ada potensi gempa? Karena ada sejarahnya, ada sumber gempanya, dan ada aktivitas kegempaannya hingga saat ini yang dapat dimonitor oleh BMKG,” katanya.
Zona gempa di selatan Jawa bagian barat dan tenggara Sumatera diketahui sangat aktif akibat pertemuan lempeng Indo-Australia dan subduksi di bawah lempeng Sunda. Berdasarkan data BMKG, di sepanjang busur megathrust Jawa telah terjadi gempa besar yang diikuti tsunami setidaknya delapan kali dalam dua abad terakhir, yaitu pada 1804 di selatan Jawa Tengah, 1818 di selatan Jawa Timur. Kemudian pada 1840 di selatan Jatim dan Yogyakarta, 1857 di selatan Jawa Barat, 1859 di selatan Jatim, 1921 di selatan Jateng, 1994 di selatan Jatim, dan 2006 di selatan Jabar.
”Jika kita cermati catatan sejarah tahun 1800 ini, hanya di wilayah selatan Banten dan Selat Sunda yang belum terjadi gempa besar diikuti tsunami,” katanya.
Baca juga: Selat Sunda Rawan Tsunami
Katalog Tsunami Soloviev dan Go (1974) menyebutkan, gempa dengan M 7,5 yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda pernah terjadi pada 1757. Mengutip kajian Hanifa (2014) dan Rahman (2021), Daryono mengatakan, kesenjangan aktivitas gempa besar (seismic gap) di Selat Sunda dan Banten diperkirakan sudah mencapai 267 tahun.
Penelitian Pepen Supendi dari BMKG dan tim yang dipublikasikan di Natural Hazards pada 2022 menyebutkan, zona megathrust di selatan Jawa bagian barat hingga tenggara Sumatera ini menyimpan sumber potensial gempa dengan kekuatan hingga M 8,9. Pemodelan menunjukkan, gempa di zona bisa memicu tsunami hingga 34 meter, melebihi ketinggian tsunami Aceh 2024.
Temuan ini melengkapi kajian sebelumnya yang ditulis Sri Widiyantoro dari Institut Teknologi Bandung dan tim di jurnal Nature (2020). Menurut kajian yang didasarkan pada penghitungan data GPS di Jawa ini, tinggi tsunami di selatan Jawa maksimum hingga 20 meter dan rata-rata 4,5 meter.
Dalam laporannya saat itu, Sri menyebutkan, celah seismik yang memanjang di selatan Jawa bagian barat ini bisa pecah secara terpisah atau bersamaan saat terjadi gempa. Jika segmen di selatan Jawa bagian barat saja yang lepas, gempa bumi bisa berkekuatan M 8,9 dengan periode ulang 400 tahun.
Penentuan periode ulang 400 tahun ini berdasarkan penghitungan Emile A Okal di Geophysical Journal International (2012) dan kajian Ron Harris di Society of Exploration Geophysicist (2019). Untuk periode ulang yang sama, segmen di Jateng dan Jatim bisa memicu gempa M 8,8. Jika kedua segmen pecah dalam satu gempa, akan berkekuatan M 9,1 atau setara gempa Aceh pada 2004.
Sebagaimana megathrust Selat Sunda, zona kegempaan di megathrust Mentawai, menurut Daryono, juga tinggal menunggu waktu. Gempa besar di sepanjang subduksi Sumatera sudah terjadi setidaknya empat kali sejak tahun 2000-an. Gempa Lampung-Bengkulu berkekuatan M 7,9 pada 2000, gempa dan tsunami Aceh M 9,2 tahun 2004, gempa dan tsunami Nias M 8,5 tahun 2005, gempa dan tsunami Bengkulu M 8,4 tahun 2007, serta gempa dan tsunami Pagai M 7,8 tahun 2010.
Baca juga: Rentetan Gempa di Megathrust Mentawai Dikhawatirkan Memicu Gempa M 8,9
"Jika kita cermati data catatan gempa subduksi Sumatra tersebut, maka hanya wilayah Mentawai-Siberut yang belum terjadi gempa besar dan tsunami," kata dia.
Padahal, dalam Katalog Tsunami Soloviev dan Go (1974) disebutkan bahwa gempa yang menyebabkan tsunami pernah terjadi di Mentawai terjadi pada 1797 dengan magnitudo 8,5. Tsunami yang disebabkan gempa ini melanda hingga Kota Padang. ”Kesenjangan aktivitas gempa besar di Mentawai Siberut hingga saat ini diperkirakan sudah mencapai 227 tahun,” kata Daryono.
Informasi mengenai potensi gempa bumi besar yang bisa terjadi di zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai ini sebenarnya sudah berulang kali diinformasikan. Di luar zona ini, Indonesia juga dikepung banyak jalur sesar, termasuk yang berada di daratan, di dekat pusat permukiman. Sebagian ancaman itu bahkan belum dipetakan dengan baik dan bisa terjadi tiba-tiba, kapan saja.
Dibandingkan dengan Jepang, risiko gempa bumi dan tsunami di Indonesia dinilai lebih tinggi karena lemahnya kapasitas dalam pengurangan risiko bencana. Rangkaian gempa kecil yang berulang kali terjadi telah memicu kerusakan dan korban signifikan, bagaimana jika gempa dari zona megathrust terjadi.
Sebagai perbandingan, gempa M 9,1 diikuti tsunami yang bersumber dari megathrust Samudra Hindia di segmen Aceh-Andaman yang lepas pada 26 Desember 2004 telah memicu sekitar 200.000 korban jiwa di Indonesia. Sementara itu, gempa M 9 diikuti tsunami di Sendai, Jepang, pada 11 Maret 2011 menewaskan sepersepuluhnya, yaitu sekitar 20.000 jiwa.
Dampak kerusakan dan korban jiwa akibat gempa bumi dan tsunami tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya magnitudo. Namun, faktor terpenting adalah bagaimana kita menyiapkan diri dan mengurangi risiko, misalnya dengan memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami, memperkuat bangunan hingga tahan gempa, serta meningkatkan pengetahuan dan kesigapan untuk menyelamatkan diri.