Otak Atlet Berbeda dengan Otak Awam
Untuk menjadi juara, atlet tidak hanya dituntut memiliki kondisi fisik yang prima, tetapi juga otak yang cemerlang.
Untuk menang, atlet harus menjadi yang tercepat, terkuat, dan terbaik dalam mencapai target. Saat menang, mereka tetap dipaksa berusaha lebih keras lagi sampai mendekati batas kemampuan manusia demi bisa mempertahankan prestasinya. Kondisi itu tak hanya membuat atlet dituntut memiliki fisik yang kuat, tetapi juga otak yang hebat.
Menjadi atlet tidak hanya dibutuhkan kondisi fisik yang prima. Mereka juga harus memiliki otak yang cemerlang untuk mengatur posisi tubuh, mencermati setiap gerak lawan, hingga menjaga fokus dalam rentang waktu tertentu. Kemampuan otak atlet yang cemerlang akan sangat membantu mereka untuk menjadi juara.
Saat ini, ketika kemampuan manusia sudah mendekati batasnya, prestasi atlet tetap bisa ditingkatkan dengan melatih kemampuan kognitifnya. Keterampilan berpikir ini juga bisa membantu atlet untuk memiliki mental yang tangguh dan daya juang tinggi. Namun, peningkatan keterampilan kognitif atlet ini belum banyak diperhatikan dalam pembinaan atlet sejak dini.
Namun, bagaimana sebenarnya peran otak dalam menunjang prestasi atlet?
Emily Cooke dalam tulisannya di Livescience, 10 Agustus 2024, menyebut bahwa atlet memiliki kemampuan otak yang berbeda dengan awam atau nonatlet. Kondisi itu salah satunya ditunjukkan dengan kemampuan atlet profesional dalam memproses isyarat visual yang lebih baik dibandingkan atlet amatir, apalagi nonatlet.
Kemampuan memproses isyarat visual yang baik itu umumnya dimiliki atlet yang bertanding dalam tim, seperti pemain sepak bola, bola basket, atau hoki. Alamiah pertandingan membuat para atlet dituntut untuk bisa mengolah informasi visual secara cepat agar bisa mengambil keputusan yang tepat.
Penelitian Jocelyn Faubert yang diunggah di Scientific Reports, 31 Januari 2013, menemukan bahwa atlet profesional dalam olahraga tim merupakan pemelajar visual yang sangat baik. Mereka mampu menyelesaikan tugas untuk menguji fokus serta melacak obyek yang bergerak di layar dengan lebih baik.
Kemampuan atlet profesional mengolah isyarat visual itu lebih tinggi dibandingkan pemain amatir dalam jenis olahraga yang sama, yaitu atlet di tingkat perguruan tinggi atau atlet di pusat pelatihan. Sementara kemampuan pemain amatir melakukan uji yang sama lebih baik dibandingkan mahasiswa universitas nonatlet.
Baca juga: Atlet, Menawan bahkan Sebelum Berlaga
Hasil studi itu menunjukkan bahwa otak atlet profesional lebih terampil dalam memproses ’pemandangan visual yang sangat dinamis’. Mereka memiliki kemampuan otak yang lebih canggih dalam mengolah informasi tentang benda bergerak di sekitar mereka.
Pengetahuan ini, ungkap Faubert yang merupakan profesor Fakultas Optometri Universitas Montreal Kanada, dapat digunakan untuk menentukan kapan seorang atlet yang cedera bisa kembali menekuni profesinya. Dengan menilai efisiensi atlet dalam memproses informasi visual, risiko atlet akibat terlalu dini bertanding kembali dapat dicegah. Dengan demikian, potensi bahaya yang harus dihadapi atlet dapat diminimalkan.
Prediksi
Atlet juga memiliki kemampuan memprediksi di atas rata-rata. Seorang atlet bisbol harus mampu memukul bola yang bergerak sangat cepat ke arah mereka. Untuk bisa melakukan itu, atlet dituntut memiliki perhitungan yang akurat tentang kecepatan bola sehingga tahu kapan harus mengayunkan tongkat pemukul.
Saat atlet memprediksi kapan bola datang dan kapan pemukul harus diayunkan, aktivitas otak di bagian korteks ekstrastriata ventral kiri berubah secara bervariasi. Studi Yin-Hua Chen dan rekan di jurnal Cerebral Cortex, 15 Maret 2023, menyebut perubahan aktivitas otak itu kemungkinan dipicu oleh kemampuan prediksi unik pemukul dengan menghubungkan antara isyarat visual tentang gerakan pelempar dan jalur lintasan bola.
Riset ini juga menunjukkan bahwa penyelam profesional memiliki bagian otak yang disebut sulkus temporal superior (STS) lebih tebal dibandingkan penyelam pemula. STS adalah wilayah otak yang berperan dalam menentukan persepsi terhadap gerakan makhluk hidup di sekitarnya, baik flora-fauna laut maupun penyelam lain, serta maksud atau tujuan di balik gerakan tersebut. Pola aktivitas otak ini juga berlaku untuk banyak cabang olahraga lain.
Atlet, di semua cabang olahraga, juga dituntut memiliki fokus dan perhatian tinggi. Dalam kasus sepak bola, pemain harus berusaha keras untuk bisa menggiring bola ke satu arah tertentu. Namun, saat didekati lawan, dia harus bisa mengubah arah bola itu secara tiba-tiba. Situasi ini menuntut pemain sepak bola bisa membagi perhatian mereka dengan tepat. Mereka juga harus mampu menerapkan perubahan cara pikir dengan cepat dan dinamis.
Keterampilan kognitif untuk mengalihkan perhatian dengan cepat ini sejatinya sangat dibutuhkan dalam melakukan tugas atau aktivitas harian. Contoh sederhana saat Anda membersihkan rumah sambil menjaga anak atau memasak sambil menerima panggilan telepon.
Studi Nicole E Logan dan rekan di International Journal of Sport and Exercise Psychology, 21 Juni 2022, membuktikan, keterampilan kognitif atlet jauh lebih baik dibandingkan nonatlet. Kemampuan lebih tinggi ditemukan pada atlet yang dilatih dalam olahraga tim yang memerlukan latihan aerobik atau latihan interval intensitas tinggi (HIIT). Keterampilan kognitif menonjol itu diperoleh karena atlet terbiasa mengalokasikan perhatian secara tepat.
Hebatnya, keterampilan kognitif atlet itu bisa berlanjut di sepanjang hidup mereka. Direktur Pusat Kognitif dan Kesehatan Otak Universitas Northeastern Boston Amerika Serikat Art Kramer mengatakan, manusia umumnya memiliki materi putih di otak yang akan memburuk seiring bertambahnya usia. Materi putih adalah serabut saraf yang menghubungkan sel saraf ke berbagai wilayah.
Namun, perburukan kondisi materi putih itu tidak ditemukan pada atlet, setidaknya pada atlet lintasan dan lapangan asal Kanada, Olga Kotelko. Kotelko adalah pemegang 30 rekor dunia dan memenangi lebih dari 750 medali sepanjang kariernya. Atlet ini meninggal dalam usia 95 tahun pada 2014.
Analisis otak Kotelko saat dia berusia lebih dari 90 tahun menunjukkan materi putih di otaknya masih sangat utuh. Kondisi itu mirip dengan otak perempuan lain yang berumur 30 tahun lebih muda tetapi kurang aktif bergerak. Kotelko juga memiliki daya ingat lebih baik dan lebih cepat dalam menanggapi tugas kognitif dibandingkan nonagenarian atau orang berumur 90-99 tahun lainnya.
Namun, hasil itu memang tidak bisa dijadikan kesimpulan karena hanya diambil dari satu atlet saja. Perlu diingat bahwa tidak semua atlet profesional mampu bertahan hidup hingga usia tua atau tetap memiliki ingatan dan keterampilan kognitif yang tajam di usia 90-an. Hingga kini, ilmuwan masih mencari tahu olahraga apa yang bisa mendatangkan manfaat terbaik bagi otak.
Akrobatik
Tak hanya itu keterampilan dalam memproses informasi visual dan memprediksi, atlet yang harus melakukan gerakan akrobatik, seperti atlet senam, loncat indah, atau lompat tinggi, harus pandai merangkai gerakan tanpa memikirkannya secara sadar. Kemampuan otak untuk mengingat gerak motorik guna melakukan aktivitas tertentu secara tidak sadar itu dikenal dengan nama ”memori otot”.
Studi Rhys Yewbrey dan rekan di The Journal of Neuroscience, 8 Maret 2023, mengungkapkan, otak merencanakan dan mengoordinasikan gerakan berulang, seperti yang dilakukan atlet terlatih atau musisi profesional, dengan cara ”menghubungkan” dan ”membuka” informasi terkait gerakan tersebut.
Jika kita bisa melatih peningkatan keterampilan kognitif atlet sejak mereka masih berada di level atlet yunior, mereka akan lebih terampil pada tahun-tahun berikutnya.
Pada awalnya, urutan langkah yang dilakukan dan waktunya diprogram secara terpisah di otak. Namun, dengan latihan rutin, berbagai elemen yang menghasilkan gerak akrobatik itu terintegrasi secara halus menjadi satu aktivitas otak yang terkoordinasi. Proses ini melibatkan jaringan neuron di korteks, lapisan luar otak, yang mengatur gerakan.
Sementara itu, pesenam yang bertanding di nomor balok keseimbangan dituntut memiliki keterampilan propriosepsi yang luar biasa. Keterampilan ini menuntut pesenam untuk mampu merasakan tubuh mereka saat melayang di udara.
Keberadaan jaringan neuron yang kompleks di otak kecil memungkinkan atlet untuk mengoreksi arah gerak tubuh mereka di udara atau menjaga keseimbangan tubuhnya di atas balok saat trik atau rencana gerakan mereka tidak berjalan sesuai rencana. Jika ”jaring pengaman” ini tidak berfungsi baik, sang pesenam bisa hilang kendali atas tubuh mereka di udara hingga menimbulkan cedera mematikan.
Dengan berbagai keterampilan otak yang harus dimiliki atlet tersebut, mendorong latihan otak pada atlet sejak dini akan memberi banyak keuntungan dalam olahraga. ”Saat ini kita sudah berada dalam kondisi ’titik’ dalam melatih atlet, yaitu saat tubuh manusia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi. Namun, sejatinya, masih banyak yang bisa dilakukan dengan kognisi manusia,” kata ilmuwan olahraga di Universitas Western Sydney Australia, Kylie Steel.
Baca juga: Biomekatronika Dapat Diaplikasikan untuk Mengidentifikasi Bakat Atlet
Karena itu, Steel dan rekannya di The Conversation, 17 Juli 2024, menilai pelatih perlu lebih fokus pada pelatihan yang meningkatkan kemampuan kognitif atlet, baik keterampilan dalam mengambil keputusan maupun daya ingat. Keterampilan ini perlu diberikan sejak usia dini atau di awal-awal tahun kehidupan atlet karena di masa itu, otak mereka lebih lentur.
Pada anak yang berlatih sepak bola, bentuk latihan kognitif itu dapat diberikan dengan mendorong mereka menendang bola dengan sisi kaki yang tidak biasa digunakan dalam menendang. Jika anak terbiasa menendang bola dengan kaki kanan, latihlah agar mereka bisa juga menendang sama baiknya dengan kaki kiri.
Jika kita bisa melatih peningkatan keterampilan kognitif atlet sejak mereka masih berada di level atlet yunior, mereka akan lebih terampil pada tahun-tahun berikutnya. Karena itu, pelatihan atlet di masa depan tidak seharusnya terfokus pada peningkatan fisik semata, tetapi yang tidak kalah penting adalah meningkatkan keterampilan otaknya.