Beban Ganda Gizi, Tengkes pada Anak dan Obesitas pada Dewasa
Angka tengkes dan obesitas di Indonesia masih tinggi. Penyelesaiannya membutuhkan intervensi secara multisektor.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dihadapkan dengan beban ganda masalah gizi di masyarakat. Saat ini, angka tengkes atau stunting pada anak masih tinggi. Di sisi lain, angka obesitas, terutama pada usia dewasa, juga meningkat.
Merujuk pada data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, angka tengkes kini masih sebesar 21,6 persen. Itu artinya 1 dari 5 anak di Indonesia mengalami tengkes. Kondisi tersebut hampir serupa dengan angka obesitas pada usia dewasa, usia 18 tahun ke atas, yang mencapai 21,8 persen.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada Siswanto Agus Wilopo dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (10/8/2024), mengatakan, masalah tengkes dan obesitas disebabkan oleh faktor bersifat multidimensional. Itu sebabnya, penyelesaiannya pun harus melibatkan multisektor.
”Penyebab stunting bersifat multidimensional atau saling berkaitan antara kemiskinan, akses pangan, pola asuh, dan pola pemberian makan pada anak balita,” tuturnya.
Sementara pada obesitas muncul lebih banyak karena gaya hidup masyarakat. Itu mulai dari kurangnya aktivitas fisik, kurangnya konsumsi buah dan sayur, serta tingginya konsumsi gula, garam, dan lemak.
Penyebab stunting bersifat multidimensional atau saling berkaitan antara kemiskinan, akses pangan, pola asuh, dan pola pemberian makan pada anak balita.
Masalah gizi, termasuk tengkes dan obesitas, harus segera dituntaskan. Masalah kesehatan ini akan menjadi beban negara untuk jangka panjang. Anak yang mengalami tengkes akan berisiko mengalami penurunan produktivitas di masa depan, sedangkan orang dengan obesitas berisiko mengalami penyakit katastropik dengan biaya tinggi, seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal, di kemudian hari.
Terkait dengan penanganan tengkes, Siswanto menyampaikan, intervensi yang berfokus pada kesehatan ibu dan bayi menjadi sangat penting. Kesehatan ibu perlu dilihat tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental.
”Apabila ibu tidak sehat, anak juga akan ikut tidak sehat. (Demikian juga) Jika mental ibu tidak sehat, akan memengaruhi peran pengasuhan pada anak,” kata Siswanto.
Hal lain yang juga harus diperhatikan yakni pada penanganan kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil dan perempuan usia subur. Perbaikan asupan gizi dan pemberian tablet tambah darah harus dipastikan terimplementasi dengan baik.
Secara terpisah, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, intervensi untuk pengentasan tengkes akan dilakukan dengan basis data yang kuat. Informasi mengenai keluarga di Indonesia telah dilakukan melalui pendataan keluarga.
Menurut dia, data ini amat penting sebagai referensi dalam intervensi program. Intervensi yang dijalankan berbasis data akan lebih akurat dan tepat sasaran.
”Data itu harus bisa bicara. Data itu harus bisa menggantikan kata-kata. Data itu harus membuat kita senang atau sedih atau cemas atau gelisah. Data yang mati tidak bisa membuat orang menjadi terkesiap,” tuturnya.
Merujuk pada pendataan keluarga yang dilakukan BKKBN, jumlah keluarga berisiko stunting (KRS) telah menurun. Pada 2022, jumlah KRS secara nasional sebanyak 13.511.649, kemudian turun menjadi 11.896.367 tahun 2023 dan menurun pada semester 1-2024 menjadi 8.682.170.
Sebuah keluarga dikategorikan sebagai KRS jika antara lain memiliki calon pengantin, ibu hamil, keluarga memiliki anak baduta (bawah dua tahun), keluarga memiliki anak balita, serta keluarga tidak memiliki jamban dan akses air minum sehat. Keluarga dapat dikategorikan KRS jika merupakan pasangan usia subur (PUS) dengan kondisi empat terlalu atau terlalu muda usia hamil, terlalu tua usia untuk hamil, terlalu dekat jarak anak, terlalu banyak anak, serta bukan pengguna alat kontrasepsi modern.
Alat kontrasepsi
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada yang juga dokter spesialis kandungan dan kebidanan subspesialis uroginekologi, Muhammad Nurhadi Rahman, menuturkan, upaya pencegahan tengkes bisa diupayakan pula melalui penggunaan alat kontrasepsi pada ibu yang baru bersalin atau disebut KB setelah persalinan. Alat kontrasepsi yang diberikan bisa berupa alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau IUD.
”Untuk pemasangan KB AKDR bisa langsung setelah persalinan dan alat kontrasepsi lainnya baik dilakukan 28 hari setelah melahirkan, bukan setelah 48 hari setelah melahirkan. Jika dilakukan saat 48 hari, sudah terlambat karena dimungkinkan ibu sudah hamil lagi,” ujar Nurhadi.
Selain itu, pencegahan tengkes bisa dilakukan pula dengan memperkuat edukasi, sosialisasi, dan pencegahan saat mempersiapkan pernikahan. Bagi calon pengantin, pemeriksaan kesehatan dan pemenuhan kecukupan gizi sebaiknya dilakukan 90 hari atau tiga bulan sebelum pernikahan. Hal itu penting agar setelah menikah sudah dalam kondisi siap hamil.
Selain itu, kebersihan diri dan organ reproduksi serta sanitasi yang sehat perlu diperhatikan. Bagi perempuan, kesehatan organ reproduksi bisa dilakukan dengan memperhatikan waktu penggunaan celana dalam dan penggunaan pembalut saat haid. Pastikan untuk mengganti celana dalam dan pembalut supaya tidak ada bakteri yang tumbuh.