Indonesia dan Vatikan, Sahabat Lama dalam Perjuangan Menjunjung Kemanusiaan dan Perdamaian
Persahabatan Indonesia dan Vatikan mengakar jauh sejak masa revolusi pada 1947.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
Vatikan merupakan satu dari sepuluh negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia bakal menegaskan kembali komitmen kedua negara terhadap perdamaian dunia dan kemanusian.
Pengajar di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya, RD Edi Laksito, Kamis (8/8/2024) malam, mengatakan, hubungan Indonesia dan Vatikan dimulai sejak masa revolusi. Pada 1947, Paus Pius XII mengutus Mgr George de Jonghe D’ardoye ke Jakarta untuk menjadi Delegatus Apostolik bagi Indonesia.
”Itu atas permintaan para pemimpin Gereja Katolik di Indonesia. Saat itu, Gereja di seluruh Indonesia memilih memihak Republik,” kata Edi saat diskusi daring bertajuk Cangkrukan Memaknai Kunjungan Paus yang diadakan Pusat Pastoral Keuskupan Surabaya.
Mgr D’ardoye juga menjadi salah satu dari sepuluh utusan negara yang hadir dalam penyerahan kedaulatan RI di Jakarta pada 1949. Satu tahun setelah itu, hubungan diplomatik Indonesia dan Vatikan mulai terjalin secara resmi yang ditandai dengan berdirinya Internunsiatur Apostolik, kedudukan diplomatik perwakilan Takhta Suci di suatu negara.
Menurut Edi, Indonesia dan Vatikan memiliki kesamaan impian untuk mewujudkan perdamaian dunia dan keadilan sosial. Kesamaan itu yang menjadi fondasi kokoh dan modal bertumbuh bagi hubungan persahabatan kedua negara.
”Ideologi Indonesia adalah Pancasila, itu sangat diapresiasi Vatikan,” ujar Edi.
Sebelumnya, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Antonius Subianto Bunjamin juga mengatakan bahwa kuat dugaan nilai-nilai Pancasila dan kerukunan di Indonesia sampai ke telinga Paus dari laporan sekretaris negara di Vatikan. Dalam Pancasila terkandung nilai yang menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, rukun, adil, dan makmur (Kompas.id 3/8/2024).
Ini sejalan dengan keinginan Paus Fransiskus untuk menjunjung persaudaraan yang bersifat universal serta melintasi sekat-sekat suku, ras, ataupun agama. Kunjungan Paus ke Indonesia mengusung tema firman, persaudaraan, dan bela rasa.
”Kunjungan Paus adalah momentum bagi umat Katolik untuk menghadirkan Tuhan lewat kehidupan beriman yang terbuka. Api kemanusiaan hendaknya menyala abadi dalam semangat membangun Indonesia yang berkeadilan dan cinta terhadap orang kecil yang terpinggirkan,” ucap Edi.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti independen Ahalla Tsauro mengatakan, persahabatan Indonesia dengan Vatikan adalah relasi yang harus senantiasa dipelihara. Kedua negara punya modal dan tekad yang sama untuk memperkuat dialog antaragama demi mewujudkan perdamaian dunia.
”Dialog antaragama adalah salah satu hal yang paling penting dalam menguatkan relasi kedua negara. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar dan Vatikan adalah pusat Gereja Katolik,” kata Ahalla.
Selain itu, Ahalla secara khusus juga menyoroti kepedulian Paus Fransiskus kepada lingkungan hidup yang tecermin dalam Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan pada 2015. Ensiklik dikeluarkan Paus sebagai Pemimpin Gereja Katolik sedunia untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap suatu isu yang penting dan mendesak.
Dalam Laudato Si, Paus Fransiskus menyampaikan pesan agar semua orang lebih serius menyikapi permasalahan ekologi. Masyarakat lemah dan miskin merupakan golongan yang paling menderita akibat krisis iklim.
Dalam banyak kesempatan, salah satunya konferensi iklim internasional atau COP28, menurut Ahalla, perwakilan Gereja Katolik juga sering menyuarakan dampak lingkungan yang menyengsarakan orang banyak. Inisiatif untuk memperhatikan masyarakat lemah seperti ini perlu terus didorong.
”Kedatangan Paus dapat dilihat sebagai momentum untuk memperkuat komitmen kedua terhadap perjuangan menjunjung perdamaian, HAM, dan kelestarian lingkungan,” ucap Ahalla.