Program Pembangunan Harus Bertumpu pada Pengetahuan Masyarakat Adat
Pengetahuan, praktik, dan inovasi dari masyarakat adat harus menjadi dasar dalam menjalankan berbagai aspek pembangunan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat adat merupakan penjaga terbaik sumber daya alam dan ekosistem hutan. Oleh karena itu, pengetahuan, praktik, dan inovasi dari masyarakat adat harus menjadi dasar bagi semua pihak dalam menjalankan berbagai aspek pembangunan.
Hal tersebut mengemuka dalam konferensi internasional bertajuk ”Masyarakat Adat: Pengetahuan, Praktik, dan Inovasi” di Jakarta, Jumat (9/8/2024). Konferensi yang diadakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tersebut diselenggarakan dalam rangka Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengemukakan, saat ini kondisi dan ruang hidup masyarakat adat di sejumlah wilayah di Indonesia masih terancam akibat proyek pembangunan, termasuk industri ekstraktif. Padahal, masyarakat adat merupakan penjaga terbaik sumber daya alam dan ekosistem hutan.
Selama ini, memang masyarakat adat banyak disebut di berbagai kebijakan. Namun, tingkat partisipasi masyarakat adat masih menjadi masalah.
”Masyarakat adat bukan penyebab krisis iklim, tidak merusak bumi, tidak menambang, dan tidak membuat emisi. Akan tetapi, masyarakat adat yang terancam. Saat ini, hutan-hutan pun akan digunakan untuk perdagangan karbon yang hasilnya untuk negara,” ujarnya.
Menurut Rukka, selama satu dekade terakhir terdapat 11 juta hektar wilayah adat yang dirampas oleh sejumlah pihak. Sementara konflik wilayah adat di sejumlah daerah di Indonesia yang masih aktif sampai sekarang mencapai 100 kasus.
Ia menekankan, pengetahuan, praktik, dan inovasi dari masyarakat adat harus menjadi dasar bagi semua pihak dalam menjalankan berbagai aspek pembangunan. Di sisi lain, para pihak yang selama ini terlibat dalam perusakan alam hingga mengancam masyarakat adat juga perlu disadarkan atas perlakuannya tersebut.
Deputi III Sekretaris Jenderal AMAN Annas Radin Syarif mengatakan, hampir 70 persen wilayah adat yang sudah dipetakan merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi dan ekosistem esensial. Sebanyak 111 spesies mamalia ditemukan di wilayah adat dengan keanekaragaman hayati tinggi tersebut.
”Kita perlu memastikan keamanan wilayah adat ini. Selama ini, memang masyarakat adat banyak disebut di berbagai kebijakan. Namun, tingkat partisipasi masyarakat adat masih menjadi masalah. Ketentuan preservasi dalam Undang-Undang Konservasi juga tidak sama dengan yang diinginkan masyarakat adat,” tuturnya.
Selain partisipasi, AMAN juga menyoroti aspek perekonomian dan pembangunan yang dinilai masih belum sepenuhnya berihak pada masyarakat adat. Oleh karena itu, perekonomian masyarakat adat berbasis lanskap budaya perlu dikembangkan sehingga aspek ekonomi ini tidak melanggar prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada di masyarakat adat.
”Kami mengelola wilayah adat dengan energi terbarukan dan saat ini juga dikembangkan di beberapa daerah, seperti Sumba serta Kalimantan. Dalam waktu dekat, kami menganalisis ada 7 juta hektar wilayah adat yang perlu direhabilitasi. Upaya ini tidak hanya menjaga, tetapi juga meningkatkan kontribusi masyarakat adat terhadap biodiversitas,” katanya.
Luas wilayah adat
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, hingga Agustus 2024, luas wilayah adat di 32 provinsi dan 166 kabupaten/kota yang sudah diregistrasi mencapai 30,1 juta hektar atau meningkat 1,9 juta hektar dibandingkan dengan data Maret 2024. Sementara peta wilayah adat yang sudah diakui pemerintah daerah (pemda) baru seluas 4,8 juta hektar.
Selain itu, luas hutan adat yang telah teregistrasi mencapai 23,2 juta hektar. Dari luasan tersebut, penetapan hutan adat dari pemerintah baru sebesar 265.250 hektar.
Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, dari jumlah tersebut, 22 juta hektar peta wilayah berada di kabupaten/kota ataupun provinsi yang telah memiliki peraturan daerah. Ketentuan pengakuan wilayah adat di tingkat pemda ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
”Masih ada 3 juta hektar lebih wilayah adat di kabupaten yang belum memiliki kebijakan daerah. Kami berharap kementerian dan lembaga bisa mendorong pemerintah daerah untuk segera membentuk peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat beserta wilayahnya,” ucapnya.