Menjaga Maestro Seni Tradisi, Mencegah Bencana Budaya
Merosotnya moral dan etika manusia tidak terlepas dari melunturnya budaya. Maka, maestro dengan nilainya harus dijaga.
PEKANBARU, KOMPAS — Kesenian tradisi di daerah-daerah terus mengalami kemunduran karena tergerus modernitas. Padahal, memori tentang pengetahuan kebudayaan masa lalu memiliki nilai-nilai kehidupan yang tak terhitung harganya. Menjaga maestro dan menyebarkan nilainya ke anak muda menjadi cara untuk melindungi kebudayaan.
Maestro tradisi lisan asal Kabupaten Rokan Hulu, Riau, Taslim bin Faham (73), menyatakan bahwa tradisi lisan Riau dalam kondisi terancam punah. Salah satunya seni koba, jenis sastra lisan yang masih hidup di Rokan Hulu, tetapi kini berada di ambang kepunahan.
Taslim mengungkapkan, sedikit anak muda sekarang yang menekuni koba. Dia menjadi salah satu tukang koba yang masih bertahan. Padahal, tahun 1960-1970-an, koba menjadi seni yang digandrungi masyarakat Riau di kala ada acara pernikahan, panen padi, dan acara-acara adat lainnya.
”Koba ini sebenarnya ceritanya banyak untuk anak muda. Tetapi, karena keterbatasan pengetahuan atau jarang ditampilkan, koba ini seakan-akan banyak hanya diketahui oleh orang-orang tua,” kata Taslim yang juga bergelar adat melayu Riau, yakni Datuk Mogek Intan, di Pekanbaru, Riau, Jumat (9/8/2024).
Koba atau bokoba adalah tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya dinyanyikan. Cerita koba berisikan tentang kehidupan, alam, manusia, hewan, makhluk halus dan makhluk-makhluk ajaib, dewa, kesaktian, kayangan, ketampanan dan kecantikan, keperkasaan, dan terkadang diselingi kisah yang lucu.
Setiap koba memiliki irama dendangnya masing-masing, seperti di wilayah Rokan (hulu dan hilir) terkenal gaya Rantau Kopar yang mendayu dan merayu. Istilah bokoba memiliki arti bercerita dengan diiringi alunan gendang bebano.
”Cerita untuk menyindir raja-raja yang kurang disiplin dalam kepemirintahannya pun ada,” ujar Taslim.
Bencana budaya tidak tampak. Ia menyusup dalam kehidupan berbentuk peningkatan kriminalitas, kekasaran, serta kesantunan dan etika yang dilanggar.
Menurut Taslim, sampai sekarang belum tampak munculnya tukang koba generasi baru. Kenyataan itulah yang membuat Taslim gundah dan memotivasi dirinya untuk mempertahankan seni sastra lisan dari nenek moyangnya di tengah gempuran seni hiburan modern.
Baca juga: Inovasi Tradisi Menjemput Generasi Muda
Taslim mengakui, menjadi tukang koba memang tidak mudah. Setiap akan tampil, seorang tukang koba harus benar-benar sehat. Selain itu, saat sudah duduk bersila memegang bebano dan mulai bokoba, mereka tidak boleh meninggalkan panggung untuk alasan apa pun sampai pertunjukan selesai. Sementara pertunjukan koba bisa berlangsung berjam-jam.
”Mulai dari duduk bersila melipat kaki satu kali hingga sampai terakhir subuh tidak boleh berhenti bokoba. Kalau penontonnya berkurang pun, tetap menggelora saat bokoba,” ucapnya.
Taslim mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2014 sebagai maestro seni tradisi lisan 2014 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dari situ, dia bisa lebih menggerakkan anak muda untuk kembali mengenal tradisinya melalui Rumah Seni Sastra Lisan Koba di Rokan Hulu.
Bencana budaya
Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pusat Pudentia MPSS menegaskan, menjaga maestro sama dengan menjaga nilai-nilai budaya Indonesia. Nilai-nilai ini bukan sekadar dengan menyediakan tempat latihan dan panggung acara bagi para maestro, melainkan juga menumbuhkan tradisi tersebut untuk hidup menjadi bagian dari masyarakat.
Menurut dia, jika para maestro tidak dijaga dengan baik, tradisi budaya akan kehilangan arah. Nilai-nilai kebaikan bermasyarakat yang diajarkan nenek moyang zaman dalam tradisi kebudayaan sebagai identitas kebangsaan yang khas harus dijaga agar tidak terjadi bencana budaya.
Baca juga: Mengenalkan Seni Tradisi Melayu Riau ke Dunia
Bencana budaya memang tidak tampak. Ia perlahan menyusup dalam kehidupan dalam bentuk peningkatan kriminalitas, kekasaran, serta pelanggaran kesantunan dan etika. Bahkan, terjadi kerusakan lingkungan terkait dengan krisis iklim karena budaya menjaga alamnya ditinggalkan akibat ulah manusia.
”Itulah pentingnya menjaga maestro ini. Kita bisa membantu maestro menarasikan nilai-nilai budaya agar menjadi narasi yang kuat untuk bisa disandingkan atau dibandingkan dengan program-program lain. Nilainya memperkuat jati diri kita karena dia yang punya dasarnya,” kata Pudentia.
Anak-anak muda yang mengkreasikan seni tradisi menjadi lebih kekinian pun tidak menjadi persoalan. Sebab, kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis mengikuti perkembangan zaman. Namun, nilai-nilai budaya yang dirawat para maestro ini harus terus dilindungi.
”Tetapi, kreasi baru ini akan dites lagi. Kalau umur dia bertahan sampai 50 tahun ke depan, kita baru mengatakan itu menjadi sebuah tradisi yang baru,” ucapnya.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kemendikbudristek, Restu Gunawan mengatakan, menjaga maestro membutuhkan ekosistem kebudayaan yang baik pula. Komitmen semua pihak, mulai dari seniman, pelaku budaya, masyarakat khususnya anak muda, hingga pemerintah daerah didorong untuk mendokumentasikan nilai-nilai budaya dari para maestro agar tetap lestari.
”Yang paling bertanggung jawab mempertahankan kebudayaan itu, ya, masyarakatnya sendiri. Itu terdiri dari pemerintah daerah, komunitas lokal, sekolah-sekolah, sampai masyarakatnya harus tumbuh bersama kebudayaannya,” kata Restu.
Baca juga: Eksistensi Tradisi Lisan Bertahan dari Kepunahan
Kemendikbudristek pun telah aktif menjaga para maestro melalui pemberian penghargaan kebudayaan bagi individu yang secara tekun dan gigih mengabdikan diri pada jenis seni yang langka atau nyaris punah serta mewariskan keahliannya kepada generasi muda, seperti yang dilakukan Taslim. Selain uang dan penghargaan, para maestro mendapat tunjangan per bulan selama hidup.
Perluasan ruang publik
Selain itu, perluasan ruang publik sebagai titik temu ekosistem kebudayaan juga harus diperbanyak sebagai implementasi dari konsep cipta kawasan pemajuan kebudayaan. Misalnya dengan merevitalisasi bangunan lama sebagai ruang kreasi publik.
”Nah, kita sebenarnya bisa saja untuk yang maestro-maestro dan para pelestari yang menggawangi kebudayaan di daerah-daerah ini, kan, bisa kita masukkan ke dalam program itu,” ujar Restu.
Salah satu upaya yang tengah berlangsung adalah residensi pemajuan kebudayaan yang mengajak para pelaku budaya dalam dan luar negeri untuk mengikuti residensi tradisi lisan di Riau, tari topeng Losari di Cirebon, dan olahraga tradisi jemparingan di Yogyakarta.
Adapun para pelaku budaya internasional yang ikut pada program ini berasal dari Australia, Meksiko, Italia, India, Kanada, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Belanda, Malaysia, Kolombia, India, Ekuador, Thailand, Yunani, Mesir, Filipina, Jordania, dan Polandia.
Baca juga: Syair Madihin Pengingat Identitas Orang Banjar
Nantinya, mereka akan menghasilkan karya kolaborasi menciptakan bentuk-bentuk pelestarian budaya berupa karya kreasi baru atau bentuk lainnya. Hasil dari kolaborasi tersebut nantinya akan ditampilkan di halaman Museum Fatahillah, Jakarta, pada akhir Agustus 2024.