Naskah Nusantara tersebar di banyak tempat sehingga sulit diakses. Digitalisasi naskah kuno memperluas pemanfaatannya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Naskah kuno Nusantara merupakan aset khazanah pengetahuan bangsa. Naskah-naskah ini disimpan di dalam dan luar negeri, oleh perseorangan, komunitas, dan instansi pemerintah. Digitalisasi naskah dilakukan untuk memperluas akses pemanfaatannya demi mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
Naskah Nusantara menyimpan beragam ilmu pengetahuan, di antaranya sejarah, kesusastraan, kesenian, pertanian, arsitektur, doa, pengobatan, dan ilmu perbintangan tradisional yang diwariskan para leluhur. Namun, sebagian naskah-naskah itu belum mudah diakses.
Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) E Aminudin Aziz mengatakan, Perpusnas menyimpan sekitar 12.000 naskah Nusantara. Padahal, naskah Nusantara yang teridentifikasi mencapai 82.000 naskah.
Naskah-naskah lainnya tersimpan di berbagai tempat, termasuk di luar negeri, seperti di Inggris, Jerman, Perancis, Mesir, dan Arab Saudi. Sebagian naskah sudah didigitalkan sehingga bisa diakses dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Pengarusutamaan naskah Nusantara dilakukan dengan beragam cara. Kekayaan informasi dan pengetahuan dalam naskah bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Setelah didigitalkan, naskah diunggah di laman Perpusnas sehingga dapat diakses secara terbuka.
”Bagi kami, masa lalu adalah pembelajaran untuk menatap masa depan. Jadi, makna pengarusutamaan adalah memberikan akses seluas-luasnya,” ujar Aminudin dalam gelar wicara bertema ”Kerja Bersama Pengarusutamaan Naskah Nusantara”, di Jakarta, pada Rabu (7/8/2024).
Kekayaan manuskrip tersebut juga menjadi bekal dalam mendukung literasi. Perpusnas, misalnya, memanfaatkan naskah kuno itu sebagai bahan buku bacaan. Bukan hanya buku teks, melainkan juga komik yang disertai gambar-gambar untuk menarik minat anak membaca.
”Karena anak-anak kalau membaca hanya ada teksnya, tanpa gambar, itu gampang suntuk dan bosan. Maka, sekarang ada 140 buku dalam bentuk komik yang diproduksi berdasarkan naskah-naskah kuno,” ucapnya.
Naskah kuno Sunda
Dalam gelar wicara itu, Perpusnas menerima 536 naskah kuno Sunda yang diserahkan oleh Yayasan Ngariksa Budaya Indonesia. Naskah tersebut merupakan koleksi R Haris Sukanda Natasasmita dan Viviane Sukanda Tessier yang dihimpun pada tahun 1970-1980-an.
Akuisisi ini menambah koleksi 467 naskah manuskrip Sunda yang telah dimiliki Perpusnas. Dengan demikian, totalnya saat ini menjadi 1.003 naskah.
”Itu semua diserahkan atas inisiatif mereka sendiri, bukan paksaan atau tekanan dari Perpusnas. Ini betul-betul keinginan tulus dari mereka menyerahkan kepada negara agar bisa dimanfaatkan. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih,” ucapnya.
Ketua Yayasan Ngariksa Budaya Indonesia Lukman Hakim Saifuddin menuturkan, melalui penyerahan naskah kuno Sunda itu, pihaknya ingin mendorong negara untuk lebih proaktif dalam menjaga, memelihara, dan merawat naskah Nusantara. Sebab, manuskrip tersebut merupakan kekayaan khazanah masa lalu yang sangat berharga.
Naskah-naskah lainnya tersimpan di berbagai tempat, termasuk di luar negeri, seperti di Inggris, Jerman, Perancis, Mesir, dan Arab Saudi. Sebagian naskah sudah didigitalkan sehingga bisa diakses dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
”Saya sering ditanya apa sebenarnya masalah utama bangsa kita. Tentu banyak jawabannya. Namun, setidaknya tantangan utama bangsa ini adalah bagaimana mengatasi ketercerabutan dari masa lalunya. Jadi, bagaimana kita tidak terputus dengan nilai-nilai dan kearifan para leluhur,” katanya.
Menatap masa depan
Lukman menyebutkan tiga tujuan penyerahan naskah kuno Sunda itu. Pertama, pihaknya menganggap Perpusnas sebagai institusi yang lebih mapan dalam memperluas akses terhadap naskah tersebut sehingga dapat dimanfaatkan masyarakat luas.
Tujuan kedua adalah melanjutkan tradisi tokoh-tokoh terdahulu yang pernah menyerahkan manuskrip kepada negara. Lukman mencontohkan Presiden ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah memberikan naskah kuno terkait eksistensi pesantren kepada Perpusnas.
Adapun tujuan ketiga adalah ikut mendukung pengarusutamaan naskah Nusantara. Apalagi, pihaknya berharap ada pusat basis data yang terintegrasi terkait manuskrip. Dengan begitu, berbagai pihak, seperti peneliti, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum, bisa dengan mudah mengaksesnya.
”Oleh karena itu, menjaga, memelihara, merawat naskah-naskah kuno pada hakikatnya adalah memelihara, menjaga, dan merawat keragaman budaya bangsa ini. Itu berarti menjaga dan merawat keindonesiaan kita. Marilah menatap masa depan dengan tetap merawat masa lalu,” tutur mantan menteri agama itu.
Digitalisasi naskah kuno tak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh berbagai pihak melalui beragam program. Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea), misalnya, fokus pada program pelestarian dan penyelamatan manuskrip-manuskrip yang disimpan masyarakat Asia Tenggara.
Sementara Principal Investigator Dreamsea Oman Fathurahman memaparkan, dalam tujuh tahun terakhir, pihaknya telah mendatangi 168 pemilik manuskrip kuno di Asia Tenggara. Naskah-naskah tersebut kemudian didigitalkan dan menghasilkan 571.584 gambar.
”Kami menyelamatkan 8.570 manuskrip. Jika dibandingkan dengan koleksi manuskrip Perpusnas yang berjumlah 12.000 naskah, berarti mencapai dua pertiganya. Jadi, ini merupakan kerja sama atau kolaborasi dengan komunitas,” ucapnya.
Menurut kurator utama British Library, Annabel Teh Gallop, 500 naskah Nusantara di perpustakaan itu telah didigitalkan. Proyek digitalisasi dimulai sejak 2013 yang bekerja sama dengan berbagai pihak.
”Di British Library tidak ada anggaran khusus untuk mendigitalkan koleksi. Jadi, setiap naskah yang didigitalkan harus dicari anggaran dari luar, baik dari yayasan maupun penderma individu,” ucapnya.