Seruan ”Pertobatan Ekologis” di Tengah Kerusakan Lingkungan Kalimantan
Ensiklik ”Laudato Si” yang di dalamnya terdapat seruan pertobatan ekologis relevan di tengah kerusakan Kalimantan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si, yang di dalamnya terdapat seruan pertobatan ekologis relevan di tengah kerusakan lingkungan Kalimantan dan krisis iklim dunia. Perekonomian dan teknologi hendaknya mendukung kehidupan melayani sesama, tidak semata meraup keuntungan.
Hal itu mengemuka dalam siniar atau podcast di Paroki Keluarga Kudus Pontianak, Keuskupan Agung Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (2/8/2024) malam. Podcast tersebut sudah tiga kali dilaksanakan sebagai salah satu cara menyambut dan memaknai kunjungan Paus Fransiskus ke Tanah Air pada September. Podcast kali ini membahas ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si, yang di dalamnya juga terdapat seruan pertobatan ekologis.
Pastor Rekan di Paroki Keluarga Kudus Pontianak Keuskupan Agung Pontianak Gregorius Kukuh Nugroho CM yang menjadi pembicara menuturkan, ensiklik Laudato Si pada 2015 sangat relevan dengan kondisi di Kalimantan Barat. Umat di Kalimantan Barat dekat dengan alam dan menyaksikan kerusakan lingkungan di sekitarnya.
”Melalui ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengajak kita agar kita memperhatikan semua yang ada di sekitar kita, tidak ada yang dikecualikan, mulai dari lingkungan, manusia, dan alam. Inilah yang ingin ditegaskan,” ujarnya.
Gregorius menambahkan, Paus memilih nama Fransiskus yang berasal dari nama Santo Fransiskus Asisi. Fransiskus Asisi sangat kental menjadikan alam sebagai saudara, saudara Bumi, saudara Matahari, dan sebagainya.
Melalui Laudato Si, kata Gregorius, Paus Fransiskus juga ingin mengajak seluruh umat manusia memandang orang lain dari akar dan martabatnya, tidak hanya fungsi ekonomi dan jabatannya. Sebab, setiap manusia saling terhubung. Bila ada kesulitan di negara-negara miskin, negara-negara yang sudah lebih berkembang juga patut memikirkannya.
”Kita dipanggil untuk solider satu sama lain mulai dari lingkungan sekitar. Kepedulian kita digugah,” ujarnya lagi.
Gregorius menuturkan, teknologi dan perekonomian hendaknya mendukung kehidupan untuk melayani sesama, tidak melulu mendapatkan keuntungan. Bahkan, bagaimana kita mendukung mereka yang memiliki keterbatasan.
Di bagian akhir, Gregorius mengajak umat merefleksikan kembali apakah kita sudah sungguh memberi harapan dan membawa sukacita di sekitar kita. Satu Bumi ini adalah satu keluarga. Bahkan, mereka yang tidak kita kenal sekalipun memiliki martabat yang luhur.
Kerusakan lingkungan
Kompas mencatat potret seriusnya masalah kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalimantan Barat mencatat, banjir terjadi 16 kali dan menjadi jenis bencana paling banyak terjadi di Kalbar, Januari-Maret 2024. Sebanyak 29.230 keluarga atau 102.671 orang dan 24.765 rumah terdampak banjir dalam periode tersebut.
Bahkan, baru-baru ini kabut asap kembali terjadi di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya akibat kebakaran lahan gambut. Kualitas udara sempat memburuk yang mengancam kesehatan manusia akibat akar masalahnya tidak terselesaikan.
Kompas juga mencatat terdapat jutaan daerah aliran sungai di Kalbar dalam kondisi kritis. Belum lagi ada masyarakat yang ”tersingkir” dari tanahnya sendiri karena alih fungsi lahan menjadi investasi berbasis hutan dan lahan.
Deforestasi juga masih menjadi tantangan. Berdasarkan hasil analisis Auriga Nusantara, deforestasi Indonesia pada 2023 mencapai 257.384 hektar. Deforestasi terbesar tercatat di wilayah Kalimantan Barat sebesar 35.162 hektar.
Clemens Osimo Vetharo Perhijudipo (17), salah satu umat Paroki Keluarga Kudus, menuturkan, ia berupaya menghayati semangat ensiklik Laudato Si dalam kehidupan sehari-hari yang sederhana tetapi nyata. Dia mengaku sebagai salah satu aktivis pencinta lingkungan di SMAN 10 Pontianak tempatnya bersekolah.
”Beberapa minggu lalu, saya berpartisipasi dalam gerakan penanaman pohon. Ini langkah nyata saya menyikapi bencana kabut asap yang kerap terjadi di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya. Beberapa pekan ke depan, saya berencana membantu pemadaman jika masih ada kebakaran lahan,” ujarnya.
Selain aktif di kegiatan pencinta lingkungan, Clements juga aktif di Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Keluarga Kudus. Ia bergabung dalam organisasi ini karena membuka ruang pewartaan tidak hanya di dalam lingkungan Gereja, tetapi juga di luar gereja, termasuk melalui media sosial.
Langkah-langkah kecil namun nyata juga berupaya diterapkan Dominique Koyongian (35), Koordinator Komsos Paroki Keluarga Kudus yang sehari-hari berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris. Sebagai guru, ia berupaya memberi contoh kepada siswa-siswanya di SD Marie Joseph agar membuang sampah pada tempatnya.
”Upaya tersebut memang perlu dilakukan berkali-kali. Saya juga memberi contoh kepada mereka,” ujar Dominique.