Penghapusan Jurusan SMA Akan Menghapus Hegemoni Anak IPA
Kini tak boleh ada lagi anggapan siswa IPA lebih baik dari IPS atau sebaliknya. Semua siswa bisa berkarya sesuai minat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang sekolah menengah atas dan sederajat diyakini akan menghilangkan dominasi siswa IPA serta diskriminasi pada murid jurusan IPS dan Bahasa di dunia pendidikan Indonesia. Dengan begitu, siswa-siswi memiliki kesetaraan dalam berkarya di bidangnya masing-masing.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Wilayah Bogor Bambang Aryan Soekisno mengungkapkan, semua sekolah menengah atas (SMA) di wilayahnya sudah menerapkan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional.
Oleh karena itu, setiap sekolah wajib memberikan bimbingan kepada siswanya dalam memilih mata pelajaran pilihan, melaksanakan sosialisasi kepada orangtua, serta mendampingi siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakatnya.
Dengan kebijakan baru ini, kesempatan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat dapat meningkatkan fokus membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi. Sebab, semua lulusan SMA dan SMK kini dapat melamar ke semua program studi di perguruan tinggi melalui jalur tes tanpa dibatasi jurusan di sekolah.
Implementasinya perlu diperkuat, terutama pada pemenuhan jumlah guru dan mata pelajaran pilihan, serta penyelarasan dengan kebijakan SMA dengan perguruan tinggi.
”Dulu ada pandangan anak IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) lebih baik daripada anak IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Ini kita hilangkan ketika tidak ada penjurusan, ini sudah kami rasakan di sini. Justru persiapan secara fokus dan mendalam sulit dijalankan kalau masih ada penjurusan,” kata Bambang dihubungi pada Jumat (2/8/2024).
Dia mencontohkan, ketika siswa berminat akan melanjutkan pendidikan ke bidang teknik, maka saat memasuki kelas XI, dia akan diarahkan oleh gurunya untuk memilih mata pelajaran pilihan yang berkaitan, seperti Matematika tingkat lanjutan dan Fisika, tanpa pelajaran Biologi.
Contoh lain ketika anak ingin menjadi dokter, dia akan diarahkan mengambil pelajaran Biologi dan Kimia tanpa pelajaran Matematika tingkat lanjut.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Yogi Anggraena pada Kamis (1/8/2024) menyatakan, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya menyelaraskan dunia pendidikan dengan kebutuhan zaman. Setiap sekolah diharapkan memenuhi kebutuhan siswa dengan fleksibel dan kontekstual.
Penghapusan jurusan di SMA/MA ini juga demi keberlangsungan siswa setelah lulus karena tidak semua siswa bakal melanjutkan studi di jalur akademik, seperti ke perguruan tinggi. Mereka yang memiliki bakat di bidang olahraga, misalnya, tidak perlu dipaksa mengambil paket pelajaran IPA, IPS, atau Bahasa.
”Begitu pula jika ada anak yang tidak akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi karena berbagai faktor bisa dibekali kemampuan-kemampuan vokasinya. Kalau lanjut studi ke perguruan tinggi, maka anak mengambil mata pelajaran yang ia butuhkan,” ucap Yogi.
Sesuai minat
Dengan Kurikulum Merdeka, layanan pendidikan akan berpihak kepada peserta didik. Pemilihan mata pelajaran pilihan yang fleksibel akan memberikan kesempatan untuk belajar sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan yang akan mendukung kompetensi siswa untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Di sisi lain, lanjut Bambang, kebijakan ini membuat jumlah siswa pada setiap mata pelajaran menjadi berbeda dan ada kecenderungan siswa memilih satu mata pelajaran tertentu. Akibatnya, apabila tidak dibatasi, akan ada guru yang kekurangan jam mengajar.
”Misalnya, pelajaran Bahasa Arab yang jarang dipilih akan membuat guru Bahasa Arab menjadi kekurangan jam mengajar. Pemetaan terus dilakukan beberapa kali untuk mendapatkan kombinasi menu atau paket mata pelajaran,” ujarnya.
Bambang meyakini, kebijakan ini mendorong para siswa untuk mengeksplorasi serta bisa melakukan refleksi minat dan bakat untuk proyeksi kariernya. Namun, implementasinya perlu diperkuat, terutama pada pemenuhan jumlah guru dan mata pelajaran pilihan, serta penyelarasan dengan kebijakan SMA dengan perguruan tinggi.
Namun, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir menilai, penghapusan penjurusan di SMA bisa memicu masalah baru jika tak disiapkan dengan baik. Mutu sumber daya manusia dan infrastruktur sekolahnya juga perlu dibenahi untuk beradaptasi dengan perubahan sistem ini.
Pihak PGRI meminta Kemendikbudristek untuk mengkaji lebih jauh terkait dengan kebijakan ini secara akademik, tidak hanya berdasarkan pada capaian sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka. Selain itu, perubahan sistem berjenjang harus diperhatikan karena akan berdampak pula saat murid mendaftar kuliah.
”Setiap perubahan kebijakan sebaiknya disertai dengan kajian akademik, bukan opini dan asumsi saja. Harus ada pengkajian secara komprehensif agar anak-anak tidak menjadi bahan percobaan,” kata Dudung.